Pembukaan Satu hal yang sangat saya ingat dari membaca Ihya' Ulumuddin Bab Keutamaan Ilmu adalah bahwa dengan berilmu (ilmu agama) manusia dapat mengetahui amalan apa yang mudah atau ringan tetapi memberikan keutamaan, pahala, dan manfaat yang besar berkenaan dengan ibadah. Hal ini sesuai dengan Al Qur'an dan hadist. Allah berfirman: "Dan berjihadlah kamu pada Jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak Menjadikan untuk kamu dalam agama satu kesempitan..." (QS Al Hajj [22]: 78), di mana terkait kesempitan ini maksudnya adalah bahwa Allah tidak menetapkan satu hukum agama yang menyulitkan atau memberatkan manusia. Allah berfirman: "Allah Menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak Menghendaki kesukaran bagimu." (QS Al Baqarah [2]: 185). Agama Islam sejalan dengan fitrah manusia sehingga semua tuntunannya mudah dilaksanakan. Apabila dalam satu situasi atau kondisi terjadi hal-hal yang menjadikan seseorang mengalami kesulitan dalam melaksanakan tuntunannya, tuntunan yang terasa memberatkan itu dapat diringankan dengan tuntunan yang lain. Dalam agama, selalu ada jalan untuk meringkan tuntunan agama yang terasa berat. Nabi Muhammad bersabda, “Sesungguhnya Allah Swt. tidak mengutusku untuk mempersulit atau memperberat, melainkan sebagai seorang pengajar yang memudahkan.” (HR. Muslim, dari ‘Aisyah) Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda, "Sesungguhnya agama (Islam) itu mudah, dan tidaklah seseorang memberat-beratkan agama ini melainkan ia pasti dikalahkannya. Maka berlaku luruslah kalian, berlaku wajarlah (dalam beribadah), bergembiralah, dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) di waktu pagi dan sore, dan sedikit di waktu malam." (HR. Bukhari) Dari ‘Abdullah (bin Mas’ud), ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan.” Beliau bersabda demikian tiga kali. (HR. Muslim) Dari Anas bin Malik, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, "Sebaik-baik agama kalian adalah yang paling mudah." (HR. Thabaraniy) Pedoman tersebut memunculkan beberapa prinsip dalam pengamalan agama, yaitu pertama, menjalankan syari’at Islam boleh secara bertahap. Dalam hal ini, seorang muslim tidak serta-merta diharuskan menjalankan kewajiban agama dan amalan-amalan sunnah secara serentak. Kedua, adanya anjuran untuk memanfaatkan aspek rukhshah (keringanan dalam praktek beragama). Aspek rukhshah ini terdapat dalam semua praktek ibadah, khususnya bagi mereka yang lemah kondisi tubuhnya atau berada dalam situasi yang tidak leluasa. Dan, ketiga, Islam tidak mendukung praktek beragama yang menyulitkan. Ketiga prinsip tersebut perlu diperhatikan dengan satu catatan bahwa ciri Islam sebagai agama yang mudah menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang penuh kasih sayang kepada manusia. Namun demikian, kemudahan yang ada bukan jalan untuk melalaikan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan agama. Misalnya, prinsip rukhshah tidak untuk dijadikan pemakluman atau pemaafan tidak dilaksanakannya kewajiban sebagaimana mestinya sehingga akibatnya adalah diri justru menjadi jauh dari Allah.
***
Tulisan ini berisi evaluasi terhadap gerakan "One Day One Juz". Dengan pembukaan sebagaimana saya tulis di atas, pembaca akan dengan mudah memahami alasan saya bahwa saya mempertimbangkannya termasuk perbuatan berlebih-lebihan dalam beragama berkenaan dengan ibadah membaca Al Qur'an. Saya tidak mengingkari perintah Allah agar orang-orang yang beriman membaca Al Qur'an, tetapi saya mulai bersikap kritis ketika gerakan ini mengusung target membaca Al Qur'an sehari satu juz, sehari khatam Al Qur'an secara berkelompok, dan sebulan khatam Al Qur'an secara individual (lihat http://onedayonejuz.org) mengakibatkan sekarang ini terdapat ribuan orang dalam hari-hari mereka yang sibuk "dikejar setoran tilawah" (baca http://www.bersamadakwah.com). Apakah Nabi mencontohkan cara membaca Al Qur'an yang seperti ini? Apakah ajaran Islam menganjurkan cara membaca Al Qur'an yang seperti ini? 1# Kedudukan Membaca Al Qur'an di antara Amal-amal Qur'ani Lainnya Membaca Al Qur'an memang adalah ibadah yang besar nilainya di hadapan Allah, tetap ia hanyalah satu di antara beragam cara berinteraksi dengan Al Qur'an (Qardhawi, 1999). Dengan kata lain, membaca Al Qur'an bukanlah satu-satunya ibadah yang bisa diamalkan seseorang. Dalam bukunya "Berinteraksi dengan Al Qur'an", Syaikh Yusuf Qardhawi menjelaskan ragam cara berinteraksi dengan Al Qur'an. Pertama, dengan menghafalkan, membaca, dan mendengarkannya. Kedua, dengan memahami Al Qur'an terutama lewat terjemah dan tafsir-tafsir Al Qur'an. Dan ketiga, dengan mengikuti, mengamalkan, dan mendakwahkan isinya. Aktivitas-aktivitas Qur'ani tersebut semua sama baiknya, sama memberikan kebaikannya, tetapi jika dibandingkan, maka orang yang mengamalkan Al Qur'an adalah lebih baik daripada orang yang sekedar memahami tanpa mengamalkan, dan yang memahami jauh lebih baik daripada orang yang sekedar membaca tanpa mengerti apa yang dibaca. Evaluasi pertama terhadap gerakan "One Day One Juz" berkenaan dengan ini. Dengan menetapkan target membaca minimal satu juz (dan dapat lebih banyak lagi jika mengikuti "lelang", yaitu mengambil bagian orang lain dalam kelompok yang tidak menyelesaikan bagiannya demi target sehari khatam satu Al Qur'an), sumber daya waktu, tenaga, dan perhatian seseorang akan terserap hanya untuk aktivitas membaca. Tidak bisa dipungkiri bahwa membaca satu juz Al Qur'an atau lebih per hari pasti memakan sumber daya tersebut secara luar biasa. Jika dalam sebulan yang dilakukan seseorang hanya membaca, membaca, dan membaca, kapankah ia akan menghafalkan, memahami kandungan Al Qur'an, merenungkan maknanya, mengamalkan, atau bertemu orang-orang untuk mengajarkannya? 2# Manfaat Benar-benar Membaca Al Qur'an Membaca Al Qur'an adalah ibadah yang mengandung keutamaan. Allah menjanjikan pahala dan balasan yang besar bagi orang yang membaca Al Qur'an (QS Fathiir [35]: 29-30). Dalam Al Qur'an, dipuji orang-orang (dari kelompok Ahli Kitab) yang membaca ayat-ayat Allah (QS Ali 'Imran [3]: 113). Rasulullah bersabda, "Orang yang membaca Al Qur'an dan pandai dalam membacanya, ia bersama para malaikat yang mulia. Dan yang membaca Al Qur'an dengan mengeja -dan ia membacanya dengan sulit- ia mendapatkan dua pahala." (HR. Muslim). "Bacalah Al Qur'an, karena ia akan datang pada hari Kiamat menjadi penolong bagi para pembacanya." (HR. Muslim). "Siapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah akan mendapatkan satu kebaikan dan satu kebaikan berlipat sepuluh kali. Aku tidak katakan alif lam mim satu huruf, namun alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf." (HR. Tirmidzi). Dan, satu hadist lagi: "Tidak ada rasa iri (yang boleh) kecuali dalam dua hal, yaitu seseorang yang diajarkan Al Qur'an oleh Allah Swt., kemudian ia membacanya pada malam hari dan siang hari, dan tetangganya mendengarkannya, dan berkata, 'Seandainya aku diberikan ilmu seperti yang didapatkan si Fulan, niscaya aku akan melakukan seperti yang ia lakukan,'..." (HR. Ath-Thabrani). Hadist tersebut memunjukkan bahwa keutamaan Al Qur'an bersumber dari didapatkannya pengajaran dan ilmu agama lantaran membaca Al Qur'an. Evaluasi kedua berkaitan dengan ini. Apakah akan didapatkan pembacaan Al Qur'an yang bermakna (lantaran memahami arti atau pengajaran Allah dalam Al Qur'an) jika ketika membaca, tujuan yang dimiliki seseorang adalah mengejar target membaca sebanyak-banyaknya dan, karena waktunya singkat, secepat-cepatnya agar dapat khatam dalam sebulan? Ini masih memungkinkan bagi muslim yang bahasa ibunya adalah bahasa Arab, tetapi bagi muslim Indonesia yang buta bahasa Arab, ceritanya akan sangat berbeda. Bisa jadi pembacaan Al Qur'annya hanya sampai di mulut, tidak sampai di dalam pikiran apalagi hati. 3# Membaca Al Qur'an Ada Etikanya Membaca Al Qur'an tidak sama dengan membaca buku atau koran atau bacaan lainnya karena ia adalah kalam Allah. Karena itu, membaca Al Qur'an memiliki etika zahir dan batin, salah satunya adalah perlu membacanya dengan tartil. Makna membaca dengan tartil adalah dengan parlahan-lahan, sambil memperhatikan huruf-huruf dan barisnya. Allah berfirman, "... Dan bacalah Al Qur'an itu dengan perlahan-lahan." (QS Al Muzzammil [73]: 4). Lantaran perintah itulah, maka membaca Al Qur'an dengan tartil adalah wajib hukumnya. Tujuan membaca dengan tartil adalah agar ada kesempatan untuk men-tadabbur-i Al Qur'an. Tartil membaca Al Qur'an lebih dekat pada penghormatan dan pemuliaan Al Qur'an, serta lebih berpengaruh bagi hati ketimbang yang membaca Al Qur'an dengan tergesa-gesa dan cepat. Ini terutama amat disunnahkan bagi muslim non-Arab yang tidak memahami makna Al Qur'an yang diturunkan dalam bahasa Arab. Membaca satu juz Al Qur'an dengan tartil lebih utama dari membaca dua juz dalam rentang waktu yang sama, tanpa tartil (Qardhawi, 1999). Ibnu Mas'ud berkata, "Jangan membacanya (Al Qur'an) dengan amat perlahan seperti memungut kurma satu-satu, dan jangan pula membacanya dengan amat cepat seperti membaca syair. Namun, berhentilah pada keajaiban-keajaibannya, dan resapkanlah dalam hati kalian. Hendaklah perhatian kalian tidak terfokus pada akhir surat." Evaluasi ketiga berkaitan dengan ini karena para ulama telah bersepakat bahwa membaca sedikit tapi tartil lebih baik daripada membaca banyak, tapi cepat-cepat (tidak tartil). Para ulama berpendapat bahwa pahala membaca Al Qur'an dengan tartil lebih besar, dan akan lebih banyak lagi jika yang tartil itu disertai membaca dengan jumlah yang banyak. Yang diutamakan adalah sedikit tapi tartil, bukan banyak tapi cepat-cepat. Etika ini sangat mungkin dilanggar ketika seseorang punya target membaca banyak dalam waktu yang singkat. Dalam satu artikel tentang Keajaiban One Day One Juz, dengan bangga diceritakan tentang bagaimana seorang peserta gerakan tersebut yang naik motor, kemudian berhenti di tepi jalan dan tilawah sebentar lalu pulang. Seberapa besar kemungkinan kekhusyukan membaca Al Qur'an dapat tercapai jika seperti itu situasinya (dikejar-kejar setoran di tengah-tengah kesibukan hidup lainnya)? Jika yang seperti itu benar terjadi, maka orang tersebut seperti sedang menukar hal yang besar dengan yang kecil. Dalam kebanggaan dirinya mampu membaca banyak, dia sedang rugi. 4# Membumikan Al Qur'an lewat Qira'ah, Tilawah, Tadarus, dan Tadabbur Slogan gerakan "One Day One Juz" adalah tilawah is my style atau tilawah adalah gaya saya. Satu yang saya cermati adalah terjadinya penyempitan dan pendangkalan makna kata "tilawah" menjadi sekedar membaca atau "qira'ah", dan dalam konteks muslim Indonesia yang kebanyakan tak mengerti bahasa Arab, membaca ini bahkan dapat hanya berarti membaca buta tulisan Arab Al Qur'an. Jika boleh berkata gamblang, maka sebenarnya yang terjadi tidak mencerminkan tilawah is my style melainkan qira'ah is my style, yang mana kualitasnya dapat lebih rendah lagi jika sekedar membaca tulisan Arab Al Qur'an tanpa menyentuh maknanya. Gerakan "One Day One Juz" yang lebih berorientasi pada kuantitas pembacaan Al Qur'an ketimbang kualitas baru memenuhi 25% upaya membumikan Al Qur'an, dan dapat bahkan lebih rendah lagi. Inilah evaluasi keempat. Terdapat empat jenis membaca Al Qur'an, yaitu qira'ah, tilawah, tadarus, dan tadabbur. Keempatnya sama-sama diartikan "membaca" dalam bahasa Indonesia, tetapi maknanya berbeda-beda dalam bahasa asalnya. Pertama, qira'ah. Asalnya, kata ini berarti menyatukan (jama’a) huruf atau kalimat atau melafalkan huruf-hurufnya secara terpadu (dalam suatu kalimat). Dari merangkai kata-kata, maka akan terungkap makna yang dari situ akan lahir pemahaman, pengertian, dan pelajaran. Qira'ah adalah aktifitas membaca yang menekankan aspek kognitif/ intelektual. Ia adalah kegiatan membaca secara umum atas teks apa saja. Qira'ah Al Qur'an dapat diartikan sebagai membaca Al Qur'an sebagai sebuah teks atau objek baca. Fokus qira'ah adalah meraih makna atau pengertian dari apa yang dibaca tersebut dan tidak disebut qira'ah jika hanya menekankan pelafalan lisan dan mengeraskan suara. Kedua, tilawah. Kata “tilawah” secara harfiah mengandung makna “bukan sekedar” membaca (qira’ah). Makna awalnya adalah mengikuti (tabi’a) secara langsung dengan tanpa pemisah, yang secara khusus berarti mengikuti kitab-kitab Allah, baik dengan cara qira’ah (intelektual) atau menjalankan apa yang digariskan di dalamnya (ittiba'). Tilawah dapat diartikan sebagai pembacaan yang bersifat spiritual atau aktifitas membaca yang diikuti komitmen dan kehendak untuk mengikuti apa yang dibaca itu. Berbeda dengan qira'ah yang adalah teks apa saja, obyek baca kata tilawah dalam al-Qur'an adalah teks suci dan pasti benar. Ketika seseorang tilawah Al Qur'an, maka aktivitasnya tidak sekedar membaca secara intelektual atau lisan, melainkan ada tindak lanjut nyatanya. Tilawah adalah membaca sesuatu dengan sikap pengagungan. Ketiga, tadarus. Kata tadarus berasal dari kata (darosa) yang berarti membaca (qiro’ah) atau berlatih dan selalu menjaga. Ketika ada imbuhan huruf ta’ dan alif pada kata darasa, maka maknanya berubah menjadi ‘saling membaca’. Dari sinilah dikenal kata “tadarus” atau “mudarasah“. Sehingga dua kata ini dapat diartikan “membaca, menelaah, dan mendapatkan ilmu secara bersama-sama, di mana dalam prosesnya mereka sama-sama aktif”. Tadarus Al Qur'an berarti membaca Al Qur'an dengan tujuan mendapatkan pelajaran atau mempelajari sesuatu dalam apa yang dibaca. Keempat, tadabbur. Kata tadabbur berarti mengurus dan merenungkan kesudahan urusan. Tadabbur Al Qur'an berkaitan dengan sejumlah aktivitas yang mengikuti tadarus Al Qur'an, seperti berefleksi, berpikir, mempertimbangkan, mencermati secara mendalam dan merenungkan serta meresapi kandungan Al Qur'an. Tadabbur Al Qur'an memiliki peran yang sangat penting karena merupakan aktivitas yang mendukung perkembangan intelektual, spiritual dan moral orang yang membaca Al Qur'an. Menurut Ibn Katsir, tadabbur Al Qur'an adalah memahami makna lafal-lafal Al-Qur’an, dan memikirkan apa yang ayat-ayat Al-Qur’an tunjukkan tatkala tersusun, dan apa yang terkandung di dalamnya, serta apa yang menjadikan makna-makna Al-Qur’an itu sempurna, dari segala isyarat dan peringatan yang tidak tampak dalam lafal Al-Qur’an, serta pengambilan manfaat oleh hati dengan tunduk di hadapan nasehat-nasehat Al-Qur’an, patuh terhadap perintah-perintahnya, serta pengambilan ibrah darinya. Menurut Asy-Syaikh Sholeh Fauzan, tadabbur Al Qur'an adalah memikirkan makna ayat-ayat Al-Qu’ran, apa yang ditunjukkannya, rahasia serta berita yang terdapat dari ayat-ayat tersebut, sehingga dapat didapatkan manfaat berupa hidayah, rasa takut kepada Allah, dan ibadah kepada Nya, dan diketahui apa yang harus dilakukan dan apa yang harus ditinggalkan dari perbuatan, perkataan, interaksi sosial, dan yang lainnya. Apa yang dikehendaki Allah dari diturunkannya Al Qur'an adalah agar manusia mengambil pelajaran dari Al Qur'an itu dan mengamalkannya dalam kehidupan lewat membaca Al Qur'an dalam arti tidak sekedar qira'ah, tetapi juga tilawah, tadarus,dan tadabbur Al Qur'an. Gerakan "One Day One Juz" saya nilai pada praktiknya lebih menekankan pada qira'ah meskipun slogannya menjunjung tilawah Al Qur'an. Itu dikarenakan target minimal satu juz per harinya itu berdasarkan satu keyakinan bahwa semakin banyak "membaca" Al Qur'an dan mampu mengkhatamkannya minimal sekali dalam sebulan (berdasarkan sebuah hadist) adalah yang lebih baik dan bahkan terbaik. Yang berbahaya bagi umat adalah jika keyakinan itu dipandang secara luas sebagai keyakinan yang terbenar dan mengabaikan pemikiran ulama lainnya bahwa yang sedikit tetapi tartil adalah lebih baik (karena memungkinkan pembaca Al Qur'an melakukan tadabbur), ketimbang yang banyak tetapi tergesa-gesa dan cepat. Hukum wajib membaca tartil dan perlahan lebih kuat ketimbang membaca cepat untuk mengejar khatam dalam sebulan berdasarkan sebuah hadist nabi, karena bersumber dalam Al Qur'an (QS Al Muzzammil [73]: 4). 5# "One Day One Juz" dan Hadist yang Dijadikan Dasar Argumentasinya "One Day One Juz" mendasarkan gerakannya pada satu hadist Nabi berikut: Dari Abu Burdah dari Abdullah bin ‘Amru ia berkata, Aku berkata: “Wahai Rasulullah, seberapa lama aku harus menghatamkan al-Qur’an?” Beliau menjawab: “Khatamkan setiap bulan.” Aku berkata; “Aku bisa lebih mampu dan lebih baik dari itu.” Beliau bersabda: “Khatamkan dalam duapuluh hari.” Aku berkata; “Aku bisa lebih baik dari itu.” Beliau bersabda: “Khatamkan dalam limabelas hari.” Aku berkata; “Aku bisa lebih baik dari itu.” Beliau bersabda: “Khatamkan dalam sepuluh hari.” Aku berkata; “Aku dapat lebih baik dari itu.” Beliau bersabda: “Khatamkan dalam lima hari.” Abdullah berkata; “Setelah itu beliau tidak memberiku keringanan.” (HR. Tirmidzi) Diketahui bahwa hadist tersebut adalah hadist hasan gharib. Menurut Tirmidzi, hadits hasan gharib adalah hasan (bagus) secara sanad, tapi tidak dikenal/asing (gharib) disebabkan karena perawinya meriwayatkan hadits tersebut seorang diri (bukan hadist yang masyhur). Karena keadaan itulah, maka hadist dengan status tersebut rentan kritik dan berbuah pro dan kontra akan keabsahannya untuk dijadikan argumentasi. Para ulama yang kritis lebih menyukai riwayat hadits masyhur. Jika para ulama hadits sedang berkumpul, mereka tidak menyukai seseorang yang mengeluarkan hadits yang “menarik perhatian”, yaitu hadits yang dalam artian kontroversial, yang tak lain adalah hadits gharib. Ulama menghindari hadist gharib karena khawatir akan pemalsuan yang dilakukan para perawi hadits gharib dan munkar, baik disengaja ataupun tidak, lantaran perawinya yang hanya satu orang. Orang pun perlu berhati-hati karena kesinambungan sanad lebih penting ketimbang kelangkaan isi berita yang menjadikannya populer dan bernilai tinggi di mata awam. Imam Abu Hanifah sempat melontarkan, “Barangsiapa mencari hadits gharib, ia akan didustai." Syu’bah bin Hajjaj (seorang ulama dari golongan tabi’it tabi’in dan seorang yang hafidh dari tokoh hadits) pernah ditanya tentang mengapa ia tidak meriwayatkan hadits dari seseorang yang haditsnya bagus. Maka ia menjawab, “Justru karena bagus itulah, aku menghindarinya." Inilah evaluasi kelima untuk gerakan "One Day One Juz". 6# Berapa Hari Mengkhatamkan Al Qur'an? Salah satu subbab dalam buku Berinteraksi dengan Al Qur'an (Qardhawi, 1999) menjelaskan bahwa memperbanyak membaca Al Qur'an adalah sebuah sunnah, berdasarkan pada QS Ali 'Imran [3]: 113. Dalam membaca Al Qur'an, Nabi Saw. memberikan tuntunan sebagaimana dalam sebuah hadist: Ibnu Abi Daud meriwayatkan dari Muslim bin Mikhraq, ia berkata kepada Aisyah: "Banyak orang yang mengkhatamkan Al Qur'an dalam sehari semalam dua atau tiga kali." Aisyah berkomentar: "Mereka membaca tapi sebenarnya tidak membaca. Aku bersama Rasulullah pernah mengisi semalam penuh, dan beliau membaca surat Al Baqarah, Ali 'Imran, dan An-Nisa'. Setiap kali melewatkan ayat yang mengandung kabar gembira, beliau berdoa dan meminta kebaikan, dan setiap kali melewati ayat ancaman, beliau berdoa dan meminta perlindungan kepada Allah Swt." Banyak ulama memakruhkan mengkhatamkan Al Qur'an dalam waktu kurang dari tiga hari berdasarkan hadist: "Tidak akan mendapatkan pemahaman dari Al Qur'an orang yang membaca dan mengkhatamkan Al Qur'an kurang dari tiga hari." (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Mayoritas yang dilakukan sahabat nabi adalah mengkhatamkan Al Qur'an setiap empat, lima, enam, dan tujuh hari. Ada pula yang setiap delapan dan sepuluh hari, sebulan dan dua bulan, dan ada pula yang lebih dari itu. Bagi orang kebanyakan, dikatakan bahwa seharusnya pembaca Al Qur'an mengkhatamkan Al Qur'an dalam setahun dua kali, jika tidak dapat lebih dari itu. Diriwayatkan dari Abi Hanifah, dikatakan bahwa barang siapa membaca Al Qur'an dalam satu tahun dua kali, maka ia telah menunaikan haknya. Sebab, Nabi Saw. membaca Al Qur'an bersama Jibril pada tahun wafatnya beliau sebanyak dua kali. Ulama lain mengatakan makhruh menunda pengkhataman Al Qur'an lebih dari empat puluh hari tanpa uzur. Jika melihat kebiasaan para sahabat dan Nabi sendiri, terdapat beragam waktu mengkhatamkan Al Qur'an. Namun demikian, menurut An-Nawawi, berapa hari mengkhatamkan Al Qur'an bagi setiap orang dikembalikan kepada orang tersebut. Setiap orang dibolehkan membaca Al Qur'an sesuai kadar yang dengannya ia dapat mencapai kesempurnaan pemahaman apa yang ia baca. Tidak dipungkiri bahwa orang-orang memiliki kesibukan yang berbeda-beda, apakah itu belajar, menyebarkan ilmu pengetahuan, mengurus pemerintahan, dan mengurus kepentingan umum. Hendaknya setiap orang membaca sesuai dengan kadar yang tidak mengganggu tugas kehidupannya tersebut dengan sempurna. Bagi orang yang tidak begitu sibuk atau memiliki waktu luang, hendaknya ia memperbanyak membaca Al Qur'an sedapat mungkin dengan kadar yang tidak membawa kepada kebosanan atau salah dalam membaca. Evaluasi keenam bagi gerakan "One Day One Juz" adalah gerakan ini mempersulit orang dalam membaca Al Qur'an lantaran adanya keharusan (berdasarkan peraturan yang dibuat sendiri) membaca Al Qur'an sehari satu juz demi mencapai target khatam Al Qur'an sebulan sekali secara sendirian dan khatam sehari sekali secara berkelompok. Jika dikatakan ada unsur bid'ah dalam gerakan ini, maka bagiku ini berkenaan dengan keharusan semacam ini yang tidak ada dasarnya dalam ajaran agama dari mencermati keragaman waktu yang dibutuhkan untuk mengkhatamkan Al Qur'an dari para sahabat dan Nabi sendiri. Berapa waktu yang dibutuhkan untuk mengkhatamkan Al Qur'an setidaknya memperhatikan pertama, ada tidaknya uzur dan kedua, kemampuan membaca yang memungkinkan pencapaian kesempurnaan pemahaman apa yang dibaca. Pengetahuan inilah yang sepertinya diabaikan dalam gerakan "One Day One Juz". 7# "One Day One Juz" Melewatkan Kebolehan Adanya Keringanan Karena target sehari satu juz dan sebulan khatam sekali dan keterikatan pada sistem setor bacaan yang dibuatnya, maka tentu saja situasi-situasi yang memungkinkan diberikannya atau dibolehkannya keringanan ibadah menjadi tidak dimasukkan atau dibahas dalam pemaparannya tentang bagaimana membaca Al Qur'an. Jika ada keringanan sehingga sehari boleh kurang dari satu juz, tentu gerakan ini tidak jadi "One Day One Juz" lagi. "One Day One Juz" tersandera namanya sendiri. Tidak begitu salah jika dikatakan kemudian, bahwa pemikiran yang melandasinya menjadi tidak berimbang. Hal ini tercermin dari kampanye-kampanyenya yang berlebihan, beberapa contohnya adalah begini: Pertama, Mengapa melarang diri tidur, padahal ada hadist Nabi yang memberikan keringanan jika mau shalat tetapi mengantuk, boleh tidur dulu. "Jika salah seorang dari kalian mengantuk ketika sedang melaksanakan shalat, maka hendaklah ia pergi tidur. Sebab jika salah seorang dari kalian shalat dalam keadaan mengantuk, maka dimungkinkan ketika ia memohon ampunan justru mencela dirinya." (HR. Tirmidzi, derajatnya hasan shahih) Kedua,
***
Penutup "One Day One Juz" bukan gerakan yang buruk. Tujuannya bahkan sangat baik, yaitu membudayakan (terbiasakan) tilawah sehari satu juz di seluruh lapisan masyarakat muslim dari berbagai kalangan. Meskipun demikian, yang dikehendaki Allah berkenaan dengan Al Qur'an bukanlah diri muslim yang sekedar terbiasa membaca (qira'ah) Al Qur'an dan mampu khatam sebulan sekali, melainkan yang mampu mengambil pelajaran dari Al Qur'an dan dengan itu ia memperbaiki dirinya. Gerakan "One Day One Juz" selain terlalu berat pada praktiknya, sesungguhnya juga terlalu sederhana untuk mengemban misi yang lebih penting, yaitu pembinaan umat. Salah-salah, target-targetnya yang tinggi justru menghabiskan sumber daya para pesertanya berupa waktu, tenaga, dan perhatian yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk melakukan amal lain yang juga disukai Allah, seperti membaca buku (buku ilmu pengetahuan, buku agama), bergaul dengan teman-teman dalam rangka silaturahim dengan sesama, tadabbur alam, dan sebagainya. Mungkin ada yang kemudian membela bahwa gerakan ini adalah gerakan berdasarkan kesukarelaan, bukan paksaan. Siapa yang mampu membaca dan punya komitmen kuat, silakan bergabung. Siapa yang tidak mampu membaca dan kurang berkomitmen, silakan tidak bergabung. Itu benar dan sah-sah saja. Lantas, apa tujuanku menulis ini? Tujuanku adalah mengajak orang-orang menyadari tindakan-tindakannya, menilai sejauh manakah gerakan ini membantu kita untuk mencapai tujuan membaca Al Qur'an yang sebenarnya, dan memutuskan keikutsertaaan secara hati-hati. Setiap tindakan mengandung konsekuensi dan hanya dengan ilmulah kita dapat mengetahui mana amal yang mudah dan ringan dengan keutamaan, pahala, konsekuensi manfaat yang besar dan mana amal yang sulit dan berat dengan keutamaan dan konsekuensi manfaat yang kecil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H