sebelum saya menonton film ini, saya tahu bahwa genre novel yang diadaptasi adalah dari cerita sex, silat, dan mistis. kalau tidak salah ingat, Eka Kurniawan terpengaruh penulis-penulis Indonesia pada zaman 70/80-an. seperti cerita silat datang dari Kho Ping Hoo, cerita sex dari Fredy S., dan cerita mistis dari Abdullah Harahap.
Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya bagaimana novel ini bisa diadaptasi padahal isinya begitu 'jorok' (saya membacanya ketika kelas 2 SMK). Ia membenturkan cerita-cerita yang sering kita hindari.
Cerita yang lahir dari kehidupan yang hancur dan nantinya juga melahirkan kehancuran tiap detiknya. Namun, cinta agaknya mampu 'menarik' manusia dari gelapnya dunia, walau ia begitu membutakan dan mampu membuat siapa saja rela mati, tidak terkecuali Ajo Kawir dan Iteung.
Kisah cinta Ajo Kawir yang tidak bisa ereksi dan menjadi jagoan karena ia tidak takut mati, bertemu Iteung si pengawal dengan ilmu bela dirinya yang tinggi---mereka jatuh cinta dan seolah seperti remaja yang baru kasmaran. Meski Iteung tahu Ajo Kawir tidak bisa ereksi, ia tetap mau menikah dengannya. hal yang kemudian membuat pernikahan tersebut menjadi bencana.
Alur cerita berjalan dengan baik meski ada beberapa yang terkesan memaksakan. seolah kehabisan ide untuk menceritakan sebuah cerita hingga akhirnya dibuat mudah-saja-lah. Hal yang tidak kita temukan di dalam novelnya. namun, hal ini bisa kita maklumi sebab media film tidak seleluasa novel untuk bercerita.
Jujur, jika kita tidak melihat film ini sebagai simbol-simbol yang dapat kita artikan sendiri. Agaknya kita melihat film ini dengan biasa-biasa saja. "Bahkan mereka harus menciptakan hantu untuk menuntaskan ceritanya alih-alih memberikan fase penyelesaian yang masuk akal." Barangkali komentar itu keluar dari penonton filmnya, ketika melihat tokoh Jelita tampak di menjelang penghujung film.
Terlepas dari itu semua, film ini cukup menghibur dengan adegan-adegan yang berani dan dialog-dialog yang tidak biasa kita temukan di film Indonesia pada umumnya. Benar bahwa di novelnya banyak umpatan yang keluar dari para tokoh, yang sayangnya menurut saya pribadi seharusnya bisa lebih baik lagi untuk diucapkan dengan penuh emosi di filmnya.
Seperti permasalahan film Indonesia pada umumnya: dialog yang kurang terdengar jelas. Beberapa saya tidak mendengar dengan jelas apa yang diucapkan tokoh dalam film ini. mungkin kalau ada subtitle (walau bahasa Indonesia), bisa membantu penonton untuk lebih menikmati film.
Terakhir. Film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas adalah film Indonesia yang berisi simbol-simbol perlawanan dan ketidakadilan terhadap dunia. bagaimana kita sebagai manusia, seperti manuknya Ajo Kawir, sangat lemah dihadapkan kejamnya dunia, bahkan sejak kita masih di angan-angan.
Dan film ini bisa sebagai pengingat bahwa trauma masa kecil, apalagi terkait pelecahan seksual, akan menimbulkan bencana di kemudian hari.