[caption id="" align="alignnone" width="570" caption="Wisatawan domestik melaksanaka salat di atas pasir Pantai Sekaroh, Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Provinsi ini sedang gencar membangun fasilitas Wisata Muslim untuk menggaet wisatawan Bali. (Foto: AFP/Relaxnews, 25 Feb. '15)"][/caption]
Populasi umat muslim di Indonesia hampir 200 juta jiwa (199.959.285 jiwa, Badan Pusat Statistik 2014), dan harus bersaing dengan keterbukaan ekonomi ASEAN di 2015 dengan negara-negara “kecil” yang populasinya lebih kecil. Tapi dengan dominasi 85,2% muslim seperti inipun, Indonesia ternyata didahului oleh beberapa negara mempromosikan pariwisata muslim (Muslim tourism), isu yang dalam dua tahun terakhir sudah gencar “dijual” oleh pariwisata negara-negara Asia, dan direspon positif dunia.
Semalam, di tengah upaya menunggu koneksi lancar untuk trailer film terbaru 2014: Siapa di Atas Presiden?, saya “dihadang” banner iklan pariwisata Jepang yang dengan mencoloknya mereka beri judul “Muslim Tourism in Japan”. Kami memberi dukungan agar kunjungan Kaum Muslim ke Jepang Mengesankan dan Menyenangkan. Demikian jargon yang mereka pasang di halaman depan YouTube.
Saya terhenyak, “Kok Jepang sampai memfasilitasi umat muslim berwisata?” Ini pertanyaan konyol tetapi beberapa tahun belakangan citra Jepang, seperti juga Tiongkok, memang dikenal kurang luwes untuk pergerakan warga Muslim (Setidaknya saya baca dari beberapa artikel warga yang tinggal di sana). Sekarang, sepertinya Jepang melunak.
Berdasarkan penelusuran, video promosi Wisata Muslim di Jepang sudah diluncurkan sejak November 2014 lalu. Dalam serangkaian video iklan-promosi yang disponsori langsung oleh Japan National Tourism Organisation tersebut, ditampilkan fasilitas-fasilitas ibadah muslim yang lengkap (dan sepertinya sengaja dibangun) di sepanjang empat wilayah besar tujuan wisata Jepang: Hokkaido, Chubu, Kansai dan Kyusyu.
Ada daftar restoran untuk makanan halal di Tokyo sampai Kyoto, sajadah dan rukuh yang disediakan hotel-hotel (bahkan kamar yang dilengkapi arah kiblat), papan-papan penunjuk arah ke tempat ibadah, dan daftar masjid di Yokohama yang sengaja dibangun dekat dengan akses wisatawan. Mereka bahkan “memperlakukan khusus” resor-resor dan tujuan wisata budaya khas Jepang yang “terbuka untuk Muslim”, berfoto dengan seorang Ninja di dekat sebuah kompleks ibadah, misalnya. Dewan wisata di setiap distrik sudah memuat ekstensi website khusus untuk “Pelayanan Wisatawan Muslim” (mis. Yokohamajapan.com/Muslims)
Mudah dipahami mengapa Jepang menaruh iklannya di YouTube yang diakses di Indonesia, dan saya pikir juga Malaysia dan beberapa negara ber-mayoritas muslim sekitar. Jepang sepertinya melonggarkan paradigma masyarakatnya dengan mengenalkan Orang Jepang dengan Muslim yang di dunia juga membawa kedamaian, bahkan untuk urusan wisata. Sesuatu yang brilian, menurut saya.
Nah Indonesia, dengan populasi Muslim terbesar dunia, apakah sudah punya kerangka strategi menggaet calon wisatawan dengan paket Muslim Tourism? Ataukah, justru Bali dan Yogyakarta tetap diramu sedemikian rupa sebagai tujuan wisata yang memenuhi gaya hidup barat? Dengan spa, bar, dan pantai berjemur?
Dalam situsnya yang saya rangkum dalam tulisan “Pariwisata untuk Produktivitas”, Kementrian Pariwisata RI mencatat bahwa selain Tiongkok dan Taiwan, mayoritas penyumbang devisa terbesar wisatawan mancanegera kita datang dari negara-negara semenanjung Arab, yakni Mesir, Bahrain, dan Arab Saudi. Bukankah ini pasar yang sangat besar bagi kita mengembangkan peluang paket Wisata muslim? Kecuali, orang-orang Arab itu datang ke Indonesia justru untuk menikmati “surga bebas dari kekangan Syariah”, yang saya pikir tidak demikian.
Negara mayoritas muslim tetangga kita, Malaysia, sudah lama membentuk dewan pariwisata Muslim yang mereka beri nama Islamic Tourism Center of Malaysia, sebuah lembaga pemerintah yang merencanakan, sekaligus menjembatani kebutuhan wisatawan dan pengambil kebijakan dalam memajukan pariwisata bernilai Muslim dan halal. Dewan ini, menurut website-nya, menargetkan tingkat kunjungan wisatawan Muslim pada tahun-tahun berikutnya dapat bertambah di atas 14 juta. Sebuah strategi yang begitu serius.
Tantangan persepsi
Indonesia tidak menyadari kelimpahannya. Itu yang melintas di benak saya ketika baru menyadari isu yang akhirnya saya tulis ini. Sewaktu kunjungan ke Ubud, Bali bersama rombongan Kompasianer Oktober lalu, seorang dari rombongan kami agaknya mengeluh “Betapa sulitnya menemukan Masjid di Bali.” Di Ubud hari itu, rombongan kami terpaksa “menunda dengan pengertian” Ibadah Salat Jumat kami karena jarak masjid yang begitu jauh, dan sedikit saran bijak dari pemandu. Bali yang jadi primadona untuk wisatawan domestik saja, belum mengakomodasi secara luas kebutuhan Wisata Muslim.
Persepsi “negeri berpenduduk mayoritas Muslim” agaknya membuai pariwisata Indonesia dari pilihan mengembangkan akomodasi untuk kelompok berkebutuhan khusus. Okelah di Bali ruang ibadah Muslim masih sempit karena mayoritas penduduk setempat beragama Hindu dan wisatawan mancanegara (yang menghidupi Pulau Dewata dan Negara selama berdekade-dekade) masih mendominasi pendatang di sana. Kecuali berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat, saya pikir tidak mengapa Bali menggenjot fasilitas wisatawan Muslim yang jumlahnya makin meningkat juga.
Sementara beberapa daerah lain yang wisatanya bangkit, dan berpenduduk mayoritas Muslim, nasibnya semakin baik karena tempat ibadah dan makanan halal ada sebagai sesuatu yang normal. Hanya saja, dengan standar pariwisata yang semakin tinggi, tetap saja daerah-daerah ini perlu menanamkan bantuan khusus untuk meladeni para tamunya. Masjid dengan toilet yang bau pesing dan atau kotor dengan gelandangan dan pengemis di Yogyakarta tetap akan mencederai nilai jual sebuah objek wisata. Kita banyak ditenangkan oleh “apa yang kita punya” padahal siapapun tahu, kita bisa menjalankannya dengan lebih baik.
Ada beberapa tantangan jika Indonesia ingin secara khusus mengembangkan pariwisata Muslimnya. Pertama, standar pariwisata Muslim dunia makin tinggi. Di iklan yang sama untuk Jepang di atas, ada promo khusus di mana restoran-restoran tertentu menyediaan rancangan khusus yang memisahkan pengunjung perempuan dan laki-laki (yang jadi syarat tempat publik di banyak hukum Syariah Islam relatif ketat). Bahkan, Uni Eropa bekerja sama dengan maskapai Emirates telah jauh-jauh hari mengembangkan inovasi yang memungkinkan penerbangan di kabin pesawat memisahkan para penumpang perempuan di bilik terpisah.
Dalam buku Geography of Bliss karangan jurnalis Eric Weiner yang saya baca dua hari lalu, bab saya sampai pada cerita bagaimana Qatar, negara “kaya baru” di Semenanjung Arab punya banyak restoran yang ber-peraturan Syariah sebagaimana negara Muslim pada umumnya. Eric secara khusus bercerita saat mengunjungi sebuah restoran di kota Doha di mana sang pelayan menanyakan apakah dia akan makan bersama seorang laki-laki, perempuan, ataukah bersama keluarganya. Alasannya jelas: jenis bilik yang akan disediakan berbeda-beda tergantung keadaan dan kebutuhan pengunjung.
Kedua, Wisata Muslim di dunia memerlukan fitur dan perlakuan khusus, tetapi tetap menjunjung tinggi nilai umum pariwisata. Saya singgung di atas, sebuah masjid yang mengakomodasi ibadah tidak akan begitu menarik wisatawan tanpa toilet yang bersih atau banyak dikerubuti pengemis, tukang parkir liar, dan pemalak. Atau lingkungan Wisata Muslim tidak akan berpengaruh ketika masyarakat sekelilingnya tidak mendukung kebutuhan wisata para pendatang, banyak pemabuk, kampung yang kotor, dan sebagainya. Namanya juga paket wisata, semua halnya harus mendukung kepuasan wisatawan.
Tapi Indonesia bukannya tanpa berbuat.
Lombok, sebuah pulau kecil yang berusaha “menculik” wisatawan yang mendominasi pulau tetangganya Bali, saat ini mulai mendunia karena geliatnya mengembangkan fitur wisatawan Muslim.
Lombok secara khusus diulas artikel wisata harian The Guardian hari ini(25/2). Pulau kecil di barat Pulau Dewata dan berbatasan dengan Nusa Tenggara Timur ini ditulis sebagai “Pulau Seribu Masjid”, dan begitu serius menyatukan atmosfer wisata pantai yang kemilau dengan fasilitas Muslim yang memadai. Meski masyarakat Lombok berlatar banyak agama yang hampir berimbang, pemerintah daerah tampaknya serius menggaet wisatawan yang mencari kenyamanan beribadah. Rencananya, pemda setempat akan membangun Pusat Wisata Islami dengan fasilitas ibadah, wisata, dan pendidikan lokal sekaligus.
[caption id="" align="alignnone" width="560" caption="Foto "wisatawan salat di atas Pantai" versi laporan Guardian. (Foto: Sonny Tumbelaka/AFP)"]
[caption id="" align="alignnone" width="560" caption="Sekelompok wisatawan mancanegara mengunjungi bangunan Masjid di luar kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, kemarin (24/2/2015). Foto via Dawn.com."]
Lombok sudah berjalan beberapa langkah lebih maju. Bagaimana daerah-daerah lain? Yang berpeluang besar ada Aceh, Sumatra Barat, atau mungkin Jawa Tengah, tapi apakah renstra pariwisata pemerintah daerahnya diarahkan ke sana? Saya sendiri belum tahu.
Persaingan pariwisata di regional ASEAN kini semakin berat, karena bahkan negara-negara dengan kelemahan tertentu sedang menyiapkan senjata untuk menggaet kunjungan dari negara-negara “besar dari sananya”.
Data tahun 2012 oleh DinarStandard, sebuah lembaga survei pariwisata berbasis di New York mengungkapkan, kapasitas pasar Wisata Muslim di dunia saat ini mencapai 126,1 miliar dolar Amerika, dan meningkat sebesar 4,8% setiap tahun, sebelum mencapai puncaknya kira-kira tahun 2020 mendatang.
Angka ini signifikan karena berkontribusi lebih dari 12% sirkulasi pariwisata global, dalam bentuk layanan maskapai hotel, dan makanan. Anehnya, Indonesia belum ada dalam kelompok negara tujuan wisata muslim paling laris (Malaysia, Turki, UEA, Singapura, Rusia, Cina, Thailand, dan Italia). Negara-negara seperti Jerman dan Perancis bahkan mengalami peningkatan signifikan sektor ini karena meningkatnya jumlah penduduk imigran Muslim.
Dalam urusan ini, Indonesia perlu strategi. Indonesia perlu visi yang konkret. Indonesia harus berani menawarkan kekayaan dan kesenangannya pada orang-orang yang tepat dan memerlukan pengalaman berwisata secara nyata dan lengkap. Kalau tidak, kita akan menyumbang devisi banyak ke negara lain tetapi lantas bingung dengan kelimpahan “pasar besar” di negeri sendiri. [FS]
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H