*
BUNYI LONCENG GEREJA di pagi hari selalu merdu bagi Kibalu. Dentingan berkali-kali itu seperti mengingatkannya akan waktu jatah dan sisa bagi tiap manusia. Membawanya terkaan logis pada kisah pertarungan abadi Krusader dengan tentara Muslim hingga kisah-kisah mitis seputar keterlibatan Sukarno dalam kelompok perkumpulan rahasia yang turut membangun Monumen Nasional. Selama empat jam duduk di bangku putih panjang di bawah pohon Tanjung pedestrian itu, ia baru membaca belasan halaman dari buku Sepatu Dahlan dan pikirannya mulai menduga-duga tidak tenang.
Kekhawatiran menyeruak masuk lewat lubang telinga laki-laki itu saat matanya beberapa kali memeriksa jam tangan. Orang yang ditunggu mungkin sedang terjebak macet, atau tidur terlambat sampai-sampai bangun kesiangan. Saat berbahaya bagi sebuah ketenangan adalah justru saat pikiran coba menenangkan, berarti sesuatu yang tidak beres mungkin sedang terjadi. Firasat wanita dan orang tua biasanya selalu membuktikan hal ini. Tapi Kibalu tetap pada pilihannya untuk menenangkan diri. Emar Samosir belum pernah sekalipun melupakan janji apalagi mengingkarinya. Sosok redaktur idola itu kadung terpatri setelah belasan tahun karir yang cemerlang.
Peluit bertalu-talu saat lalu lintas semakin tersendat. Ratusan kotak bermesin sudah diparkir sejajar di pinggir jalan Slamet Riyadi. Memberi hanya sedikit ruang bagi duaratusan jemaat yang dengan keceriaan yang tenang mencari pijakan di antara aspal dan paving blok, berusaha menyeberang dan menuju ruang utama gereja di sebelah utara. Di seberang selatan jalan, Kibalu mengangkat telapak tangan kepada seorang pedagang asongan yang menawarkannya rokok. Ia sudah kehabisan kesabaran. Panggilan yang berusaha dikirim kini terpantul kembali. Pesan terkirim tapi belum sampai hinggap di kotak masuk di kejauhan sana. Sesuatu jelas telah terjadi, karena itu Kibalu memutuskan menuju mobilnya untuk kemudian mengarah pada sebuah kelurahan sepi beberapa blok dari Stasiun Jebres.
Keringat bercucur dan jantung berdegup lebih cepat. Apa yang ia dapati di tempat tujuan itu seperti menekan tubuhnya hidup-hidup ke kedalaman tanah. Langit runtuh dan membuat tanah tempat berpijak tiba-tiba gelap menyesakkan.
**
Menjadi jomblo memang pilihan, tapi menjalaninya kadang memunculkan kesedihan. Seda meletakkan mangkuk mi instan kuah kari yang telah menemani paginya dengan begitu baik. Kalau bukan karena ketukan di pintu yang begitu mendadak, mungkin makanan popular itu sudah habis dengan sekali angkat mangkuk. Seda bangkit mematikan televisi kemudian membukakan pintu untuk seseorang yang ternyata dikenalnya dengan baik. Ia menyilakan orang yang ia anggap senior itu untuk masuk dan duduk menikmati paduan bubuk kopi hangat yang disiram langsung dengan air dispenser. Penampilan tamunya yang begitu kusut membuat Seda bertanya apa gerangan yang membawa seorang wartawan senior sampai ke kamar kecil rumah kontrakannya.
"Naskah Versa dicuri."
Seda tahu apa yang dimaksudkan tamunya itu. Naskah Versa adalah salah satu manuskrip buku fiksi yang dikaguminya. Bukan tanpa alasan, buku itu memang harusnya terbit awal bulan depan dan ia mendapatkan kehormatan sebagai teman dekat sang penulis. Kibalu Omni Syahrir sudah menjadi mentornya selama setahun belakangan, mengajarinya banyak hal soal etika jurnalistik dan teknik kepenulisan agar pembaca tidak semata-mata mencerna berita atau menghujat. Kini pejabat redaksi itu datang dan mengadukan naskah novelnya hilang. Novel itu dikerjakan selama tujuh bulan, yang membuat Seda paham kesedihan yang dirasakan Kibalu.