Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tujuh Surat (5)

20 Mei 2012   05:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:04 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sebelumnya ....)

“Tapi bagaimana …”

Tak ada senyuman yang terangkat kini di ruang tamu itu. Mereka sama bingungnya, meski Adam punya gambaran yang lebih jelas mengapa mereka patut khawatir.

“Ketujuh surat ini, bukan sekadar petunjuk,” kata Adam. “Setelah berkonsultasi dengan rekan yang sangat bisa dipercaya, --dia penggiat grafologi dan bahasa sandi--, saya menemukan fakta bahwa sejatinya, surat-surat dari Adrian Yusep ini punya arti lebih luas dari sekadar tujuh puisi cinta. Gambar-gambar yang menyerupai simbol ini pada akhirnya menjawab kecurigaan awal saya, bahwa ternyata, mereka akan menuntun kita pada satu dari tiga rumah, rumah ini, buktinya kita bertemu, Pak Yusep.”

Sang tuan rumah mengangguk dengan wajah yang masih penuh keheranan.

“Nah, Zul, rekan saya itu, selama beberapa jam terakhir bekerja mencari di berbagai sumber terdahulu terkait filosofi di balik bangun-bangun yang terbentuk di ketujuh surat ini. Sebagaimana ditebak oleh Pak Yusep tadi, bahwa ketika kami berdua mencapai rumah ini, berarti sudah terpecahkan setidaknya surat pertama hingga keempat. Gambar pertama adalah siku, menggambarkan posisi rumah ini. Rumah ini ada di pojok antara dua arah jalan dan sebuah selokan. Gambar kedua, yang adalah awan callout, dalam bahasa komputer sering jadi simbol untuk pesan atau isi pikiran. Ini menuntun saya menebak bahwa surat-surat ini harus dibaca secara keseluruhan. Nah, barulah pada gambar ketiga dan keempat ini saya berpikir untuk mencari tangga lain di rumah ini. Gambar persegi empat dengan tulisan tidak lengkap di bagian tengahnya mengisyaratkan agar bangun tersebut tida berdiri sendiri.”

Adam lalu mengangkat lebar-lebar surat ketiga dan keempat dengan dua tangannya, agar Yusep dan Gina bisa melihatnya lebih jelas, kemudian menjelaskan lagi.

“Lihat kata yang tertulis di tengah kotak ini?”

Compl. Gina membacanya dengan suara rendah.

“Ya. Dari kata Complementary, pikir saya. Saling melengkapi, artinya kira-kira. Saya berpikir pasti ini merujuk bangun segiempat yang harus digabungkan dengan gambar sebelum atau setelahnya. Dalam hal ini, segitiga.”

Lalu kedua kertas itu dengan sedemikian rupa dirapatkan saling tindih, sehingga kini nampak bangun segitiga serupa atap yang ditopang bangun persegi berupa badan rumah.

“Rumah ini.”

Yusep mengangguk mantap, sementara Gina justru menggeleng. Di dalam benaknya sungguh hal ini tak pernah serumit ini ketika ia pertama kali membaca isi surat pertama.

“Tentu saja ada banyak kata di dalam Bahasa Inggris yang bisa dibentuk dari singkatan itu, katakan saja complaint, compliance, atau compliment. Semuanya dimulai dengan bangun kata compl. Saya kira itulah gunanya Adrian meletakkan tanda titik di belakang situ, agar kita menemukan kata yang tepat untuk tujuan yang tepat. Menemukan diksi yang tepat bisa melengkapkan pesan perasaan, menjadi sedikit lebih rumit agar hanya orang tertentu yang diharapkan bisa memecahkan isi hati itu.” Pandangan misterius yang ditujukan investigator itu membuat Gina agak kikuk, menyadari bahwa dirinya bisa lebih peka sejak awal, jika saja ia mau berpikir. Tapi Adam kemudian tersenyum.

“Nah, saya kira itulah petunjuk singkat kita sampai di sini. Dan, oh iya! Mengenai gambar kelima ini,” Adam kemudian mengambil surat yang lain dengan gambar dua anak panah berlawanan arah. “Saya mendapatkannya dengan begitu ajaib, di lukisan itu. Yang, semakin meyakinkan kita, bahwa atas izin Anda, Pak Yusep. Kita harus menelusuri rumah ini.”

Orang tua itu terduduk di sofa begitu saja. Lengannya bergerak-gerak di atas pegangan berbusa itu. Jari-jarinya mengetuk ringan.

“Aku tidak pernah menyangka akan serumit ini jadinya. Jadi, Adrian masih hidup. Dan ada di rumah ini? Anda mengigau, Pak Adam.”

“Maaf?”

“Ya tentu saja. Saya sudah tinggal di rumah ini sejak lama. Dan pasti Adrian menemui saya, tidak harus bersembunyi lebih lama dan menua. Cerita seperti yang barusan Anda utarakan, Pak Adam, hanya ada di film-film. Anda hanya membuang-buang waktu.”

Adam menghela napas mendengar pendapat yang merendahkan itu. Tapi pikirannya tetap tenang. Sejenak ia hanya menangkap ekspresi penuh kebingungan yang tak bisa terbantahkan dari raut muka kliennya.

“Ya. Bisa saja saya salah, Pak Yusep,” kata Adam ringan. Ia lalu memungut semua surat dari meja dan membereskannya ke dalam tas. “Tapi …, bagaimana kalau perkiraan saya benar?”

Yusep tak lagi bergeming. Kini matanya menatap tamunya itu, memancarkan secuil ketakutan yang ia sembunyikan rapat-rapat sebelumnya.

“Bagaimana kalau … Adrian benar-benar ada di rumah ini. Anda tidak ingin kan hidup di rumah yang menjadi misteri bagi Anda seumur hidup.”

Yusep menutup mukanya.

“Bagaimana, kalau ternyata benar Adrian ingin ditemukan oleh orang yang dicintainya? Itu termasuk Anda.”

Keheningan kembali menyeruak. Kipas angin yang tergantung di tengah langit-langit hanya menimbulkan bunyi gemerisik yang tidak mengenakkan karena berputar sangat lambat.

Sebelum yang lain mulai bicara kembali, Gina sudah bersimpuh dan memegang tangan Yusep, berusaha menenangkannya.

“Pak Yusep, saya mohon. Saya yakin Anda juga merindukan Adrian. Kami tahu rumah ini sangat berarti bagi Anda dan anak Anda, tapi kita ingin pesan Adrian terpecahkan lengkap, dan kita semua bisa pulang dengan tenang. Pak Yusep?”

Kalimat yang keluar dari perasaan perempuan tak pernah bisa disanggah dengan kekerasan hati yang nyatanya tak bertahan lama. Setelah mengatur napas dan menggeleng beberapa kali, akhirnya orang tua itu mengangkat wajahnya. Sorot mata berkaca itu jelas tertangkap oleh Gina, membuat genggamannya semakin erat seperti menguatkan orang tua itu. Mereka mengangguk bersamaan.

“Terima kasih.”

Pukul 11.40. Tidak banyak yang bisa mereka cari di ruangan dapur itu. Adam meraba setiap bidang dinding sementara Gina mencari petunjuk di antara perabotan. Yusep yang memegang telapak tangan nampaknya masih menyimpan rasa khawatir di dalam aliran darahnya.

“Sebetulnya apa yang kalian cari?”

Pertanyaan itu membuat Gina menoleh, meski Adam memilih menyimak sambil terus mencari.

“Pencarian ini, mengapa kalian begitu ingin mengungkapkan misteri Adrian? Bisa saja anak itu sudah mati.”

“Pak Yusep …,” keluh Gina. Orang tua itu bisa saja membantu pencarian agar lebih cepat, pikirnya.

“Lagipula, sebetulnya kalian mencari apa? Masih tangga?”

Adam yang berada di sudut lain dapur itu beberapa kali harus kesulitan membuka kerai jendela. Tak banyak cahaya yang masuk ke ruangan itu membuatnya terpaksa mengeluarkan batang senter kecil dari saku jaketnya. Senter bertuliskan ALINA itu begitu mencolok karena bagian aluminium mengkilap di ujung bawahnya, juga lingkaran hijau berpendar di bagian lehernya. Gina yang menangkap perhatian ke arah alat kecil itu hanya tersenyum dan berdeham.

Adam terhenyak sesaat. “Hm?”

“Tak kukira seorang detektif punya kehidupan cinta juga.” Gina mulai menggoda.

“Maksudnya?” Adam terus mencari di antara rak-rak alat-alat masak, menggeser beberapa kursi, dan masuk ke antara dua lemari.

“Senter yang tidak boleh hilang, pastinya?”

Adam hanya tertawa kecil. Ia sempat membersihkan mulutnya dari beberapa butir pasir yang menempel bersama sedikit ramat. “Ya. Setiap orang punya malaikat penjaganya.”

Ketika mereka kembali terdiam dan terus mencari, tiba-tiba dari arah belakang terdengar papan berderit keras seperti ditarik dengan kekuatan yang dipaksakan. Setelah akhirnya terdengar bunyi kayu patah dan pasir berhamburan ke semua arah, Yusep sudah terduduk di bagian lantai kayu yang sebelumnya tidak kelihatan. Adam dan Gina yang menyadari kegaduhan mendadak itu memeriksa kemudian menolong Yusep, membantunya berdiri.

“Lemari beroda,” kata orang tua itu. Adam lalu memerhatikan ada sebuah lemari rendah yang berpindah dari tempatnya semula. Bagian lantai kayu itu memang lebih kecil dari ukuran bidang yang ditutupi lemari itu sebelumnya, membuatnya tak kelihatan di antara lantai ubin, di dalam kegelapan yang jarang disusupi bersik-bersik cahaya.

Adam lekas-lekas meraba bidang lantai kayu itu. Tidak ada gembok ataupun bentuk pengunci lain di situ. Yusep sudah didudukkan di sofa dan diberi air minum oleh Gina. Orang tua itu meneguknya begitu nikmat tak menghiraukan bahwa air itu dipancurkan begitu saja keluar dari keran wastafel.

Adam terus meraba bidang lantai kayu itu. Bidang itu dirapatkan oleh sebelas batang kayu yang merapat tanpa celah, dan sepertinya dipegang oleh tiga balok kecil yang dipaku di bagian bawahnya. Saat ia mendongak ke atas dan melihat dinding di depannya, ia tersadar akan kebodohannya sendiri.

“Anak panah berlawanan. Bodoh! Harusnya kepikiran dari tadi,” keluhnya.

Gina mendekat dan ikut menjongkok. “Apa ini?”

“Cermin itu.”

“Cermin?” Gina lalu ikut memerhatikan kaca yang menggantung dan memantulkan bayang-bayang isi dapur. “Apa …”

“Refleksi, Gina. Refleksi. Lihat lukisan dua anak panah tadi. Yang dimaksud sebetulnya bukanlah mengikuti salah satu atau kedua arah yang ditunjukkan panah itu, tapi …” Adam mengeluarkan lagi surat kelima itu, mencabut pulpennya, kemudian mencoretkannya ke atas gambar itu. Setelah selesai menambahkan, barulah bidang itu lengkap menunjukkan petunjuk sebenarnya.

“Jika kita pasang garis di tengah sini, maka akan terlihat seperti panah ini sebetulnya hanya satu, yang kemudian dipantulkan bayangannya di bidang sebelahnya. Ini persis seperti sifat refleksi di dalam matematika juga fisika, yang dalam dunia nyata, secara gamblang kita sebut sebagai …”

“Cermin,” Gina membenarkan, yang langsung disambut anggukan oleh Adam. Di belakang mereka, Yusep meneguk lagi airnya sembari menyimak.

13374912271952376946
13374912271952376946

“Ada sesuatu di bawah papan ini. Pak Yusep?” Adam meminta izin untuk kesekian kalinya.

"Buka saja. Linggisnya di belakang lemari."

(Selanjutnya ...)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun