*
Sudah lima minggu Ampu Cinok tak terlihat desa Maetimo. Menurut anak dan sanak saudaranya ia berlayar mencari sirip hiu sampai ke Laut Flores, tapi tak satupun warga percayai itu. Kebiasaan Ampu Cinok bermabuk-mabuk, bertapa di puncak bukit berminggu-minggu menimbulkan kesangsian-kesangsian lain. Akhirnya, berita surut dan tak satupun menemukan keberadaannya. Pun orang-orang yang dianggap bisa menemukannya, tak membawa kabar baik.
Kepergian itu mengejutkan karena tiga hari dari sekarang gelar Baca Akika akan dilaksanakan, dan ialah pemimpin tertunjuk. Tokoh masyarakat sudah enam kali mengadakan pertemuan Gauk Tappu', rapat terbatas untuk menentukan siapa pengganti jika sewaktu-waktu Ampu Cinok tidak kembali dan tanpa kabar apa-apa. Meskipun ikhtiar tetap digencarkan dengan pencarian lewat sanak-saudaranya dan gerak kelompok muda menyusuri beberapa kampung sekitar, belum ada hasil.
Baca Akika harus dimulai dengan penyembelihan sapi jantan untuk menyukuri kelahiran seorang anak di tanah ini. Kali ini, kegamangan turun ibarat kabut dari gunung karena belum ada yang berpengalaman dengan bilah parang panjang dan darah sebagaimana Ampu Cinok dengan doa-doa turunan moyangnya. Ada beberapa tetua yang usianya di bawah tujuh puluh dan itu membuat warga was-was. Kalau Baca Akika tidak berkah --bisa saja lantaran yang memimpin bukan orang yang pengalaman-- kampung bisa tertimpa sesuatu yang menyedihkan. Apalagi, ini adalah gelaran untuk anak perempuan keseratus dalam sejarah kampung itu. Apa boleh buat, sapi jantan harus menunggu.
Perempuan itu dipanggil Trah. Rambutnya dikepang sebahu dan dua tangannya mengisyaratkan rasa malu dan gugup yang sampai ke kepala. Ia tertunduk dan tak banyak bicara. Ia adalah anak terpilih untuk bakal kucuran darah sapi. Kakinya ditekuk ke samping dan pakaian memperlihatkan lututnya yang berdebu di atas papan. Di sekelilingnya, duduk belasan mamak yang pada tiga hari mendatang akan menjadi ibu baginya: mengatur makan dan minumnya, memandikannya dengan lapisan kain sutra, mengguntingkan dua puluh ujung kukunya, dan mencarikannya umbi-umbian untuk dimakan biar cukup kuat untuk menginjak kubang darah hangat. Di dalam panggung tertutup tengah rumah itu sudah tertata banyak sesuguhan persiapan upacara, paduan kelapa, belasan sisir pisang, sepuluh ayam jantan yang masih hidup dan terikat, serta beberapa cawan minyak yang entah disapu dari kayu dan akar apa. Di atas pendopo setinggi tujuh meter dari tanah itu, Trah menghitung dirinya. Ibu kandungnya, Puang Kilopa, membacakan ayat-ayat dengan membuta-buta, berpikir mungkin anak gadisnya akan mengikuti dalam hati. Laku adat yang tak banyak berubah.
Pada kenyataannya, Trah tak banyak tahu tentang laku adat ini.
Lima belas hari sebelum upacara itu, Trah masih duduk malas di kursi kulit bersandaran empuk di sebuah ruang setinggi tiga belas lantai di tengah kota Semarang. Ia baru saja meladeni tamu yang meminta bayaran uang muka kerjasama yang membingungkan. Bosan melihat lapangan luas di bawah sana, ia bangkit sembari merapikan berkas-berkas kontrak di mejanya, bermaksud beranjak dari situ. Yang mencegatnya hanya dua: staf sekretariat yang memintanya meninjau akun pemulihan aset yang kelupaan, dan bunyi ponselnya penanda pesan masuk. Ia baca, terheran, kemudian tersenyum. Pesan itu tak berbalas sampai akhirnya ia pulang ke rumah tempatnya beristirahat di tengah malam sampai pukul lima pagi.
Trah, ini Salim. Gelaran Baca Akika-mu bisa jadi pelajaran sejarah penting lho, lagipula, siapa tahu pariwisata desa berkembang. Pikirkan lagi ya.
Sejujurnya, Trah tak banyak tahu tentang Salim ini, kecuali orang itu adalah teman masa kecilnya yang tak begitu dekat. Sampai remaja Trah bergaul dengan banyak lelaki kampung --termasuk yang diam-diam menaruh perasaan pada dirinya. Itupun hanya satu-dua yang berhasil menarik simpatinya, dan hanya satu di antara dua itu yang akhirnya beruntung jadi pacarnya. Pemuda itu tak diharapkan lagi sekarang, karena belakangan memilih menikahi gadis lain. Sementara untuk pemuda satunya lagi, Trah memilih tak memikirkannya sampai belasan tahun kemudian, laki-laki itu mengirimkan pesan ke ponselnya.
Trah butuh waktu satu minggu untuk memutuskan apakah mengambil cuti pekerjaannya dan pulang ke kampung halamannya sejauh ribuan kilometer hanya untuk menghadiri sebuah ritus adat yang sama sekali ia tak pahami, dan mungkin ia tak setujui. Baca Akika adalah masa lalu desa baginya, sebuah kekolotan zaman yang tak mungkin bisa mendewasakan anak begitu saja hanya dengan asap beraroma kayu dan darah mamalia yang membasahi kaki. Kalaupun sepahamannya gelaran itu hanya akan mendewasakan anak perempuan, untuk apa digelar saat si anak sudah memasuki usia dua puluh lima? Bukannya, masa pendewasaan anak perempuan itu sudah dimulai sejak usia sebelas ya? Trah memprotes dalam hati berkali-kali, sampai-sampai tidak konsentrasi lagi dengan pekerjaan sehariannya.