Desember 2008
Aku bahkan tak mengharapkan hujan ini. Hujan yang tak begitu berat namun tetap terasa basah merembes ke dalam siur-siur benang halus baju koko yang kupakai. Aku sudah bediri di pelataran Barat Masjid Kampus ini beberapa menit saat aku melihat ubun-ubun jilbabmu yang berwarna putih mendekat dari kejauhan di Selatan. Aku nyaris tak percaya ketika melihat dua kakimu yang indah berbalut sepatu karet terangkat bergantian saat kamu berlari-lari kecil mendekatiku. Aku kira kau tidak menanggapi SMS yang kukirim beberapa saat yang lalu mengatakan bahwa aku tidak ada teman di Hari Raya Idul Adha kali ini. Teman kost, teman kampus, hampir semua yang kukenal baik memilih pulang kampung tahun ini. Hanya ada aku memilih ikut salat berjamaah di tempat yang orangnya banyak dengan harapan merasa tidak terlalu kesepian.
Sekarang kamu ada di sini, berdiri sambil tersenyum di depanku. Aku sangat beryukur, Tuhan.
“Hehe…. Aku datang kan?! Di kost gak ada temen. Pada balik pulkam. Aku juga mau sekalian nonton sembelihan Qurban. Sedih kalo sendirian gak ngapa-ngapain.” Kata-katamu spontan membuncah memecahkan rasa sepi di dadaku.
Akhirnya pertemuan pagi itu, walaupun bukan pertemuan pertama kita, menjadi kesan yang paling mendalam dan menjadi pembuka yang paling manis dalam ceritaku ini. Sajian senyuman dan ayunan tanganmu yang bebas ceria berbalut kain kaos warna merah muda itu, bagiku sangat hangat dan bersahaja berpadu hangatnya cahaya matahari pagi yang mulai mengintip dari balik awan.
Pukul 08:00 pagi.
Tidak terasa sudah hampir 500 meter kita jalan berdua di bawah hujan gerimis halaman kampus ini. Suasana lebaran yang sepi di kota ini memasang kita bagaikan sepasang boneka hari raya kecil di atas taman yang hijau, tanpa seorangpun di sana. Hanya alam yang menyaksikan, hanya pohon-pohon cemara tinggi yang mengintip kita dari puncaknya. Mereka tertawa kecil melihat tanganku yang kurus menopang jaket di atas ubun-ubun jilbabmu. Mereka cekikikan melihat pola langkah kita yang sesekali harus berlari ketcil tatkala hujan menderas.
"Kok kamu mau sampe rela datang jauh-jauh ke Maskam, Na?
"Yaa... mau gimana lagi. Aku tuh seneng liatin orang Kurban. Hampir tiap tahun di rumah keluargaku Kurban. Jadi udah terbiasa kali ya. Ni di Jogja sendirian, Ibu gak bolehin aku pulang, ya gini. Ku juga taunya kamu gak lebaran di Jogja gak ada temen, jadi ya bareng kamu aja."
"Oh gitu.", aku mengintip sandalnya yang basah melangkah tepat di samping sandal karetku.
"Maaf ya sampe kamu harus hujan-hujanan gini."
"Gapapa kok. Aku mending kehujanan daripada gak liat Kurban."
"Yuk mampir di situ bentar."
Kita pun mampir di bawah atap Kopma, samping pos satpam.
"Eh, Mas Andi Mba Ana. Solat dimana?, Prapto, Pak Satpam Kopma mengenali dan menyapa kita berdua.
"Iya tadi solat di Maskam Pak. Mau liat Kurban nih tapi gak tau dimana. Ini nunggu hujan reda dulu deh di sini." kataku.
"Oh, kalo mau liat Kurban di Masjid Nur Rohman belakang sini juga ada", Pak Prapto menjelaskan sambil menunjuk ke arah sebuah masjid kecil di ujung Jalan arah Selatan.
"Oh iya ya ada masjid di situ. Yuk Na kita kesana aja siapa tahu emang lagi Kurban."
"Oh, yuk! Akhirnya", kamu tersenyum sambil memeluk jaketku yang sejak tadi basah.
"Awas bajumu tuh basah", kataku menegur.
"Udah gapapa. Gini hangat."
Keberuntungan itu pun milik kita.
Di Masjid Nur Rohman itu akhirnya baru kulihat senyumanmu yang lebih lebar dari biasanya. Aku ikut tersenyum melihat tingkahmu yang memeluk lenganku dan menyembunyikan wajahmu di balik tubuhku sambil sesekali mengintip ke arah lubang penyembelihan sapi beberapa meter di depan kita.
"Kok kamu takut? Katanya suka acara sembelihan Qurban?
"Iya. Aku suka ikut, tapi takut liat sembelihnya. Tiap tahun ikut Qurban tapi lum pernah liat langsung sapi disembelih gitu. Kasian aku. Kasian sapinya teriak-teriak. Mereka kayak minta tolong ma aku bilang 'Ana...tolong aku....' gitu."
"Aku takut, Ndi."
"Hahaha...", batinku.
Dhuerrrr...!!! "Kyaaaa...!" Andi...!
"Itu lho kepala sapinya ku takut. Kok ditaruh di situ sih?"
Aku berpaling dan menyadari ternyata salah seorang petugas Qurban menaruh sebuah ember besar berisi kepala sapi menghadap ke atas di dalamnya. Aku mengerti mengapa kau berteriak barusan. Kamu berpikir kalau kepala sapi itu menatapmu dan berteriak "Tolong aku" kan? Hahaha.... Ternyata kamu penakut sebegitunya.
Setengah jam menikmati sajian religius penyembelihan Qurban, kukira hatimu sudah puas. Matahari yang mulai meninggi hangat membuyarkan rintik hujan yang sedari tadi membuat hati dongkol terus. Baju koko yang kukenakan pun perlahan kering, ya memang bahannya tipis. Tapi entah apa yang membuatmu masih setia memeluk jaketku itu di depan dada kamu. Padahal baju kamu sendiri sudah kering dan tadi basah hanya karena memeluk jaket hitam itu.
***
Aku tidak pernah menebak bahwa kebersamaan kita hari ini akan berlanjut. Hari ini kau yang menjadikan aku menginjak restoran cepat saji ayam untuk pertama kalinya semenjak aku menginjak kota ini. Mungkin kau belum tahu karakterku yang seja dulu tidak begitu familiar dengan makanan ala restoran atau cepat saji. Aku hanya tahu nasi, lauk, sayuran, dan sedikit sambal ala anak kost atau masakan Ibu di rumah. Tapi menjelang siang ini di sini, karena kamu, aku melahap habis dua potong ayam tepung itu. Tak apalah uang Rp 50.000,-ku melompat dari saku celana. Bagiku, ini adalah awal yang baik bagi pertemanan kita.
Aku menyadari banyak hal sejak beberapa jam yang lalu. Satu yang paling membuatku mafhum tentang dirimu adalah ketahuanku bahwa ternyata kamu orang yang sangat komunikatif. Bahasa verbal dari mulutmu memang sederhana, apa adanya, namun justru itu yang membuatmu beda. Kau terbuka untuk berbincang dengan siapa saja. Kau selalu menghargai lawan bicaramu dengan sesekali senyuman dan anggukan tanda setuju saat berbincang. Aku tak tahu banyak kehidupan sosialmu di kampusa atau organisasi lain. Namun sekarang aku langsung tahu bahwa kita "nyambung".
Ini bukanlah pertemuan pertama kita. Aku ingat pertemuan pertama kita di lantai 2 gedung Kopma itu. Aku menjadi Ketua Panitia, dan kau datang mendahului teman-teman lain sebagai pendaftar tim kerja kepanitiaan itu. Wawancara vertikal itu rasanya singkat sekali. Tidak banyak yang kutanyakan karena memang itu juga pengalaman pertamaku mewawancarai orang dalam konteks resmi. Aku mengakui, aku tidak bisa berpikir panjang karena mengagumi setiap gerakan yang ada di wajahmu. Semuanya terasa begitu natural, mengalir, hingga kita berdua tidak sadar menikmati aliran pembicaraan hingga saling curhat. Memang, orang seusia kita identik dengan saling tukar pendapat dan cerita. Namun pengalaman pertama seperti itu membuatku merasa canggung, lepas, sekaligus merasa dihargai.
Aku bahkan bersyukur pembicaraan kita berlanjut hingga acara kewirausahaan malam hari itu, dan kau memilih aku sebagai teman bicara dan berbagi cerita ketimbang ikut teman-teman lain menikmati film horor.
Hmmm.... Aku tidak pandai menuliskan kisah kita. Namun semoga awal ini bisa mewakili apa yang kau dan aku rasakan saat itu. Saat pertemuan di bawah hujan, saat perjalanan bersama dari Masjid Kampus, saat aku menyadari senyum indah kamu di tempat makan, atau saat mengetahui bahwa kau sangat takut melihat sapi mati.
Ini cukup untuk membuatku meneruskan kisah Tentang Kita di tulisan-tulisanku berikutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H