Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Teka-teki Alika (9)

6 September 2012   15:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:50 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13455125431346251675

Alika menunjuk seseorang.

Dan mereka menunggu orang itu berbicara faktanya.

(Sebelumnya ....)

Alika mengangkat tangannya. Telunjuknya mengarah tepat, dan sama sekali tidak melenceng. Yang ditunjuknya juga tersenyum, tapi merasa kalah. Orang-orang mengalihkan perhatiannya seketika.

“Papa.”

Alika menunjuk tanpa ragu, meski wajahnya santai seperti tak mengetahui ketegangan apa yang memancar di wajah orang-orang. Rustam menunduk dan tangannya lemas, mendengar pengakuan anaknya itu.

“Rustam …,” lirih Adam berkata. Orang-orang itu melihat nyaris tak percaya. Saat Hamdan akhirnya melepaskan diri dari pegangan Eno, tuan rumah itu merasakan punggungnya lemas. Rencananya di rumah itu seketika teralihkan dan dirinya seperti dihempaskan oleh kekuatan yang datang tiba-tiba. Mendarat di tanah dengan kerasnya. Tapi tak ada yang lebih kuat membuat Rustam tak mengelak, adalah karena yang menunjuknya adalah Alika. Anak yang sangat dipujanya.

Di lantai dua, Lies merapatkan keningnya ke permukaan kaca yang berembun karena napasnya sendiri. Badannya lemas dan matanya tetap menembus kaca melihat keheningan yang menggelembung di udara ruang tamu bawah. Ia sudah beberapa kali menggoyang-goyangkan gagang pintu tapi tak berhasil keluar dari sekapan kamarnya sendiri. Ia melihat tangan Alika terangkat, tapi ia tak mendengar jelas apa yang mereka katakan di bawah sana. Yang jelas baginya hanyalah, sesuatu yang buruk sedang, atau justru baru akan terjadi.

“Alika, Nak ….” Rustam menunduk dan mendekat ke arah Alika. Tapi ada yang membuat anak itu ketakutan, menjauh dan justru memilih mendekat ke arah Eno yang masih mengawal Hamdan ketat. Naluri tanpa kata.

Adam langsung berdiri di antara anak itu dan Rustam. “Apa yang telah terjadi sebenarnya, Pak Rustam? Jadi Anda yang telah menjemput Alika malam itu di kamarnya? Ya tentu saja,” Adam mulai menyerang Rustam dengan argumen yang berasal dari catatannya.

Rustam kembali bangkit. Matanya seperti tertarik ke dalam, lehernya lemas. Sementara kapten Agung dan dua anak buahnya sudah mendesak agar semuanya dijelaskan.

“Maafkan saya, Kapten Agung,” jawab Adam segera. “Tapi saya rasa kita harus mendengarkan lebih banyak dari Pak Rustam sendiri. Malam itu, tiga hari sebelum lebaran. Apa yang Anda balkon luar rumah ini? Membawa pistol berperdam dan mengancam putri Anda sendiri? Bukankah itu tak mencerminkan sikap seorang ayah?”

“Karena dia sama sekali bukan ayah dari Alika!” teriak Hamdan sampai menggema di seluruh rumah. Tikno yang kembali sembunyi di balik tiang, mundur dan menunduk. Di lantai dua, Lies mulai lemas di bagian lutut dan tak bersuara kecuali napasnya yang penuh penyesalan.

Hamdan lantas maju dengan mengeluarkan beberapa surat yang sebelumnya terselip di jaketnya. Mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara ketika kalimatnya menjelaskan agar semuanya menyimak.

“Ini dokumen adopsi, yang berhasil saya gandakan dari sebuah panti asuhan tidak jauh dari kota ini. Tempat di mana dulu adik saya, Alika,” mata pemuda itu lalu sayu dan dengan penuh kasih sayang melihat ke arah Alika yang menatapnya dengan bingung. “... tempat di mana dulu Alika kutitipkan.”

Adam terkejut dengan pengungkapan itu. Ia lalu menarik kertas-kertas itu dari tangan Hamdan dan membacanya. Beberapa dokumen adopsi yang ditandatangani pihak berwenang, dan tertera satu nama yang sangat ia kenal. RUSTAM EFFENDI.

“Dokumen-dokumen ini …”

“Ya. Tahun 2003. Waktu itu Alika masih sebelas bulan,” Hamdan menunduk dan lalu tangannya lemas ke samping. “Kami yatim piatu karena kecelakaan kereta api di Pekalongan. Waktu itu, kebingungan mencari tempat hidup, aku membawa adikku keliling beberapa kota, singgah dari rumah satu keluarga ke rumah yang lain, kemudian karena tak ada yang mau mengambil, aku titipkan Alika ke sebuah rumah yatim piatu. Kukira ia akan baik-baik saja, tapi  belakangan dua tahun kemudian … ternyata mereka malah menyerahkan Alika kepada seseorang. Itu sama sekali di luar dugaanku. Dan aku sama sekali tidak ada petunjuk kemana adik dibawa. Rustam berpindah dari satu kota ke kota lain, jejaknya sulit ditemukan.”

Hamdan mulai menatap satu-satu orang yang di depannya dengan penuh ketegasan. Kalimatnya lancar dan terdengar kuat membawa perasaan masa lalu.

“Sampai akhirnya sebulan lalu, kutemukan berkas sebuah nama, dari catatan direksi sebuah perusahaan. Dengan segala kemungkinan yang kukumpulkan, akhirnya kuyakin bahwa orang bernama Rustam Effendi itu benar-benar Anda, yang dulu mengambil Alika dari panti. Maka, aku mulai merencanakan semuanya.”

“Sebentar… sebentar. Merencanakan semuanya?” tanya Adam begitu saja memotong kalimat Hamdan. “Kau mengatakan, bahwa kau merencanakan ini? Sebenarnya, penculikan Alika, siapa yang melakukan? Pak Rustam, atau kau?”

Adam mulai menggeleng dan  berkedip-kedip tak percaya apa yang baru saja didengarnya. Ia dan Eno saling pandang sementara ketiga polisi itu seperti baru akan mengejar pemahamannya setelah tiga belas detik.

Tapi Hamdan justru terkekeh. “Tentu saja, Pak Adam. Rustam cuma kaya dan berada, tapi kukira pikirannya tak lebih cerdas dari seorang anak muda. Tanyakan saja ke dia ini. Bagaimana ceritanya.”

(Selanjutnya …)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun