Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Teka-teki Alika (6)

30 Agustus 2012   14:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:07 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13455125431346251675

Keanehan mulai terasa.

Sejumlah fakta berseberangan dengan dugaan awal yang begitu kuat.

(Sebelumnya ....)

Lalu lintas jelang sore itu cukup padat ditambah lagi dengan rombongan sepeda santai yang mengarah ke utara. Anak-anak duduk di pinggir jalan dengan seragam sekolah mereka sementara beberapa mahasiswa menyeberang jalan ketika kendaraan di jalan melambat. Starlet ungu tua itu berhenti sejenak. Eno mengintip dari kaca kecil di atas kepalanya. Mobil keenam di belakang mereka ikut terjebak perhentian. Kaca depannya mengkilap karena pantulan sinar mahatari, tidak memungkinkan untuk bahkan mengetahui bentuk tubuh yang mengendarainya. Eno memutar setir ke kanan dan mereka berbelok ke arah timur saat lampu hijau menyala. Pegangan tangan di setir semakin kencang ketika Adam mengangguk sambil melirik ke rekannya itu.

“Kita diikuti.”

Untuk sesaat itu, ketika jalan lingkar di depan kampus UGM dijejali kendaraan dari empat penjuru, mobil SUV hitam yang masih terjebak antrean kendaraan di jalan sempit dari arah barat, tiba-tiba bergerak cepat.

Jauh di depan, Starlet kecil itu sudah melesat di antara celah-celah lalu lintas. Beberapa perempuan menjerit karena seorang suster yang menyeberang mendorong pasien berkursi roda hampir saja tertabrak. “Hati-hati,” seru Adam.

Mobil kotak itu memburu. Sementara sedan kecil Eno mencoba lepas dengan menambah kecepatan dan berlindung di balik mobil-mobil yang lebih besar. Mereka melewati sebuah persis ketika lampu kuning berganti merah.

“Kurasa dia tidak bisa mengejar kita,” komentar Eno sigap saat menyaksikan mobil yang mengejar itu berhenti tepat di belakang garis marka. Lampu merah menyala, dan kendaraan-kendaraan di sisi utara persimpangan mulai bergerak.

Pengejaran itu telah melewati beberapa jalan protokol bahkan menembus beberapa jalur alternatif sepeda. Eno selama beberapa menit terakhir hanya mencoba mengecoh dengan berbelok ke jalur berlawanan, memutar kemudian keluar dari persimpangan, bahkan sampai mengeluarkan isyarat belok palsu kemudian membanting setir dan melaju lurus dengan kecepatan tinggi. Tapi mobil pengekor itu tidak menyerah. Kemauan keras sudah nampak dari gesitnya ia mengejar dan menebak beberapa trik untuk kabur. Sampai di persimpangan besar ini pun Eno mulai kehabisan akal. Satu-satunya harapan yang terpikirkan adalah lolos dengan pertolongan marka jalan. Kalau lampu merah menahan mobil pengejar itu dan mereka bisa tetap melaju di depan, selisih waktu duapuluh lima detik akan membuat mereka tak terkejar.

Akan tetapi tiba-tiba mobil hitam itu menancap gas dengan keras. Ban berderit. Melesat melintasi persimpangan, menerobos lampu merah, sementara sebuah sepeda motor hampir saja tertabrak lantaran memotong jalannya.

Jauh di depan sana, Eno tersentak kembali dan mulai mengomel. “Siapa orang ini?”

“Tenang, konsentrasi, Eno.” Adam coba menenangkan.

Sementara rekannya sibuk mengendalikan kendaraan yang mungkin bisa membawa mereka lepas dari pengejaran yang mendadak ini, Adam kembali menjejalkan jari kepada teka-teki yang terbuka di atas pahanya. Matanya sesekali terpejam dan membandingkan kata-kata yang belum jelas apa kaitannya satu sama lain. Gun, kolom, tuts, fem. Ia mengangkat pergelangan tangannya dan menyadari ia punya waktu kira-kira tinggal setengah jam sebelum jam pulang kantor. Mobil mereka berbelok ke gang kecil di dekat Janti dan melewati pintu perlintasan kereta api.

Telepon berdering.

Dalam guncangan yang tak mengenakkan dan bunyi deru lalu lintas yang memusingkan saat Eno membuka kaca jendela, Adam mengangkat panggilan itu. Ia mengangguk beberapa kali, menyimak dan mengiyakan, kemudian diam sejenak. Menggeleng, dan terakhir melempar senyum kepada dasbor sampai ponsel itu terselip kembali.

Mobil hitam itu masih mengikuti sampai akhirnya Adam berucap.

“Eno, berhenti.”

“Apa?” tanya Eno penasaran.

Adam melipat kertas itu. Dan buku catatannya sudah terselip kembali ke dalam jaket. Mobil itu berhenti.

Melalui cermin Adam melihat kendaraan yang mengikuti mereka ikut berhenti di belakang sana. Menepi hingga ban tebalnya merapat dan memental di sisi trotoar.

Jarak antarmereka sekitar limapuluh meter, dan lalu lintas di bawah jalan layang itu seperti tak peduli apa yang dilakukan dua kendaraan ini. Adam menggerak-gerakkan bibirnya coba mengingat sesuatu, kemudian melempar pandangan siaga kepada Eno yang masih tampak bingung. Setelah memastikan semua seperti yang dipikirkannya, ia memberi isyarat tanpa suara kepada Eno untuk kembali menggerakkan mobil.

Starlet itu perlahan maju. Kali ini dengan irama lambat dan teratur. Seperti semua ketegangan yang barusan terjadi mereka tinggalkan di belakang. Adam melihat cermin untuk kesekian kali, kemudian ujung luar bibirnya terangkat.

Sesuai dugaan, mobil kotak hitam yang mengikuti mereka ikut bergerak. Irama kejar-kejaran ini perlahan melembut. Temponya melambat sampai turun. Saat Eno memutar setir ke arah kanan hingga mobil itu berputar ke jalan arah berlawanan, mobil di belakang pun melakukan hal yang sama.

“Dia sudah tahu kita mau ke mana,” kata Adam tiba-tiba. Eno bingung dan bertanya apa maksudnya.

“Dari caranya menyetir, pertama dia bukan perempuan. Kedua, dia bukan juga orang dewasa. Mobil itu terlalu besar untuknya, dan ia terlalu banyak modal nekat dan keraguan seperti saat di lampu merah tadi. Aku menduga apa hubungan anak ini dengan tempat yang kita tuju.”

Eno ikut memantau lewat cermin. Seperti saling membalas bahasa senyap dengan pengendara tunggal di belakang mereka itu. Setelah lima belas menit yang membingungkan, akhirnya dua kendaraan itu benar-benar mengarah ke tempat yang sama.

(Selanjutnya …)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun