Akhirnya Adam dan Eno tiba di sekolah Alika.
Kemudian fakta baru terungkap. Yang, terbalik dari perkiraan sebelumnya.
Perbincangan di sekolah itu berkembang tak begitu baik. Adam lebih banyak diam pada akhirnya dan menenggelamkan pikirannya pada beberapa catatan yang mengganggu. Sementara Eno dengan basa-basi bertanya beberapa hal terkait Alika dan dijawab santai oleh guru BK dan wakasek. Saat pertanyaan menjurus masalah orang tua siswi itu, guru BK tak langsung menjawab. Matanya berkedip-kedip pertanda ragu.
“Kalau soal itu … kami para guru juga bingung, Pak,” kata bu guru konseling.
“Ragu?” Eno coba memancing.
“Ya. Pak Rustam boleh dibilang seorang wali yang otoriter terhadap anaknya,” guru mulai menjelaskan. “Saat kami konfirmasi nilai buruk Alika kepadanya, beliau, ayah Alika, hanya menerima dan berjanji akan melatih anaknya sebaik mungkin di rumah soal matematika. Tapi ibunya …”
“Ibunda dari Alika?”
“Ya betul. Bu Lies, istri Pak Rustam, justru beberapa kali datang ke sekolah ini dan meminta tolong kepada kami sesuatu yang menurut kami tidak layak. Tiga bulan terakhir, dalam perjalanan nilai Alika yang selalu kami konfirmasikan ke orang tuanya, Ibu Lies selalu membalas dengan mendatangi sekolah ini, berbicara langsung kepada kepala sekolah bahwa anaknya harus diberi nilai terbaik. Ya, dia meminta kami membuat laporan hasil belajar palsu, yang menunjukkan prestasi Alika baik-baik saja. Tapi hal itu tidak mungkin kami lakukan, karena citra sekolah yang dipertaruhkan.”
Adam tak lagi memegang bukunya. Perhatiannya kini kembali terarah ke penjelasan guru BK.
“Jadi, Anda mengatakan bahwa Bu Lies, ibu dari Alika ini, meminta manipulasi nilai anaknya kepada sekolah?”
“Ya, begitulah kira-kira, Pak Adam. Kami memohon maaf beberapa kali bahkan sampai dibawa ke rapat komite sekolah. Tidak ada jalan untuk itu. Sampai akhirnya, beliau berhenti meminta dan sampai hari ini kedua orang tua Alika tidak pernah lagi mau mendatangi sekolah, bahkan jika diundang.”
Ada keheningan sejenak yang kembali menyeruak. Tapi kabut masih di sana. Adam benar-benar bingung kini. Yang harus dilakukannya adalah mengumpulkan petunjuk-petunjuk baru. Sementara waktu makin menipis, mempertimbangkan kemungkinan anak itu masih selamat atau sesuatu buruk terjadi.
Setelah dari sekolah itu, Adam dan Eno menyempatkan diri makan siang sambil menyusun rencana.
“Sebenarnya, seperti apa sosok Alika ini,Adam? Aku belum pernah melihatnya.”
“Oh, ini.”
Eno kini memerhatikan sebuah foto setengah badan yang menunjukkan sosok gadis belia berambut panjang dengan hiasan bando berwarna kuning di kepalanya. Sepasang matanya besar dengan pupil berwarna hitam keabuan. Sementara pundaknya sempit meski nampak kuat bawaan genetik dari sang ayah. Senyumnya ringan seperti tanpa beban ketika posisi kepalanya miring ke kanan dan pipinya bersandar pada kepala sebuah boneka beruang berbulu panjang. Pakaian warna merah muda dengan motif polkadot warna putih itu cukup mencerahkan, bahkan jika orang membayangkan seperti apa isi kepala gadis itu yang mungkin penuh teka-teki dan misteri yang pahit.
“Aku tak habis pikir, Eno.” Adam berkata lurus saja sambil melepas gigitannya pada sepotong tempe goreng. Eno membalas dengan gumaman.
“Pak Tikno bilang Alika benar-benar pintar soal matematika. Sampai kerap membuat orang-orang bingung soal teka-tekinya.”
“Siapa Pak Tikno?”
“Itu, pembantu rumah tangga Pak Rustam, tadi yang menyambutmu.”
“Oh. Lanjutkan.”
“Menurutnya Alika memang suka dengan angka-angka dan semacam permainan otak. Tapi, mengapa guru di sekolahnya satu suara mengatakan bahwa nilai matematika anak itu jeblok? Bukankah ini anomali fakta yang tak biasa?”
Eno berhenti sejenak, “Aku baru tahu soal itu,” katanya lalu menyuap nasinya.
Adam menghela napas. “Lalu fakta soal ibu Lies, ibunda Alika. Apa pula tujuannya meminta sekolah memberi nilai palsu kepada anaknya? Apakah dia tidak setuju denga penilaian guru padahal Alika adalah seorang anak jenius?”
“Semua orang tua akan melakukan hal sama, normalnya.”
“Memang. Tapi ini sedikit janggal. Kalau orang tua Alika yakin anaknya pandai matematika, dan para guru yakin penilaian mereka valid tanpa celah, mengapa anak itu bisa punya kecenderungan kognitif yang begitu aneh? Kecuali …”
“Kecuali apa?” Kali ini Eno benar-benar tak bereaksi terhadap makanan di sendoknya. Ia menunggu lanjutan kalimat yang tertahan di mulut Adam.
“Kecuali …”
Eno mengangkat alis. Penjaga warung itu menguping sambil menyeruput the hangatnya. Tak mengerti apa maksud perbincangan dua pelanggannya ini, tapi selalu saja kelihatan lebih menarik daripada tayangan realitas yang memaksa orang miskin menangis.
“Kecuali … Eno, jam berapa sekarang?”
Sekonyong-konyong Eno tersenyum kecut. Lagi-lagi pengalihan tiba-tiba. Ia melihat jam dan memberitahukan bahwa jarum jam berada di pukul 13.45.
“Ayo. Kita bicara langsung dengan Bu Lies. Siang begini biasanya orang-orang tidur. Tapi semoga saja kita masih sempat menemuinya sebelum Rustam pulang.”
“Lho, kenapa harus tanpa Rustam?”
“Karena bisa jadi Rustamlah yang aneh. Ayo.”
Mereka membayar makanan itu yang nyaris tidak dihabiskan di piring karena terburu-buru. Beberapa kali Eno mengeluh dan sejumlah itu pula Adam menyemangati dengan menepuk punggungnnya hingga tersedak. Keluar dari warung itu, mereka menuju mobil Starlet milik Eno dan membelah jalan Simanjuntak. Eno melirik kaca spion di luar pintunya dan mendapati bayangan mobil SUV hitam yang terparkir jauh di belakang. Sama sekali tak terlihat siapa di balik kemudi.
“Mobil itu dari tadi mengikuti kita,” bisiknya.
Tapi Adam tak begitu merespon. Ia terlalu fokus pada lembar teka-teki yang kini ia tuliskan beberapa kata lagi dengan corat-coret semaunya.
Mereka bergerak, dan mobil hitam seratus meter di belakang mereka ikut bergerak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H