Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Tanpa Kode Etik, Pewarta Warga Tahu Etika

1 Agustus 2011   13:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:11 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_126432" align="aligncenter" width="680" caption="Ilustrasi (Americanattorneysonline.com)"][/caption]

Sudah tergariskan bahwa seorang pewarta warga tidak terikat kode etik jurnalistik. Hal itu beralasan karena pewarta warga tidak terlingkup dalam ranah profesi, sehingga belum sepatutnya menganut kode etik. Namun, meski belum berbentuk "kode", bagi saya seorang pewarta juga harus mengenal, minimal tahu etika. Karena berkecimpung dalam kejadian-kejadian di masyarakat yang hidup sebagai bentuk interaksi sosial, maka mau tidak mau etika itu harus dianut.

Etika macam apa?

Nah, saya kira rumusan inti tentang etika pewarta warga bisa diambil dari tindakan-tindakan mengenali kapasitas, ruang gerak, dan sikap terhadap lingkungan.

Pertama, Mengenali Kapasitas

Dalam peliputan, seorang pewarta warga harus mengenali kapasitas tugasnya di sebuah tempat kejadian. Saat meliput kebakaran toko buku Gramedia beberapa waktu lalu di Yogyakarta, saya sempat berkenalan dengan beberapa rekan jurnalis dari media-media arus utama. Saat mengambil informasi dari narasumber yang saat itu hanya satu orang (stafstore associateGramedia waktu itu), saya maju belakangan, saat sudah tidak ada teman-teman jurnalis yang berebutan mewawancarai. Danalhamdulillah, dapat tanggapan juga, tanpa harus "melangkahi" kapasitas saya yang meliput bukan atas dasar tugas profesional. Saya yakin beberapa teman Kompasianer yang pernah merasakan liputan langsung di TKP tahu rasanya, antara segan, tarik-ulur, dan berusaha memahami tugas orang-orang jurnalis murni yang ada di situ.

Kedua, paham ruang gerak.

Ini berdasarkan pengalaman saya juga, bahwa di samping paham kapsitas kerja, seorang pewarta warga juga harus mengetahui ruang geraknya, dalam dua artian. Pertama, ruang gerak untuk mengambil nilai-nilai menarik suatu berita dan mengambil inisiatif. Dan kedua, di sisi lain harus paham ruang gerak yang pas agar berita bisa diperoleh secara utuh tanpa harus melanggar pekerjaan pihak-pihak berkepentingan lainnya. Seringkali, saya, sangking tergoda dan bersemangat untuk mengambil gambar dan informasi, mengabaikan pentingnya ruang gerak orang lain di situ. Sebut saja, misalnya, petugas pemadam kebakaran, polisi, atau saksi. Jurnalis saja seringkali tidak diperbolehkan melintasi garis polisi, masak pewarta warga mau berani-berani? Kan tidak lucu saja.

Ketiga, bersikap baik terhadap lingkungan.

Pewarta warga juga, di samping peka, menurut saya wajib bersikap baik terhadap lingkungan. Saya pernah melihat pemuda yang sedang asik meliput --saya tahu dia pewarta warga karena saya mengenal profesinya-- jamaah salat di sebuah masjid, mengambil gambar, namun justru mengganggu kenyamanan ibadah karena suara shutterkameranya terdengar sangat jelas di dalam masjid berdinding tembok itu. Ini yang saya maksud dengan etika berbuat baik terhadap lingkunga, termasuk orang-orang yang beraktivitas di dalamnya. Saya pribadi, sering membatalkan rencana mewawancarai calon narasumber untuk berita yang menurut saya akan menarik, karena melihat mereka sibuk dan menikmati sekali pekerjaannya. Entahlah, tidak etis saja menurut saya, kalau harus menginterupsi mereka di tengah-tengah jam kerja, padahal saya tak punya banyak waktu untuk tinggal.

Sebagai tambahan, pewarta warga juga harus punya etika menjaga lingkungan dan siap menjadi sukarelawan kapanpun. Jangan sampai karena tekad kuat meliput sebuah berita, kewajiban-kewajiban yang lebih penting diabaikan, semisal menolong korban kecelakaan lantas.

Jadi, meski kode etik pewartan warga belum ada (dan sepertinya tidak akan dirumuskan), saya harus belajar lebih banyak mengenai etika peliputan berita. Agar sebagai pewarta warga yang belajar, saya bisa mengetahui kapasitas, ruang gerak, dan bagaimana saya bersikap terhadap lingkungan. Bagaimanapun, memenuhi kewajiban-kewajiban sosial masih jauh lebih penting daripada mengikuti suara hak mendapatkan berita.

Beberapa saran yang didasarkan dari pengalaman bisa saya kutipkan sebagai berikut:

1.Jaga jarak. Biarkan mereka yang lebih berkepentingan menyelesaikan tugasnya tanpa gangguan. Bila perlu, dalam artian harafiah kita sebagai pewarta warga juga jaga jarak beberapa meter dan di luar ruang inti TKP, supaya kerja petugas keamanan, jurnalis, dan pihak berkepentingan lainnya tidak terganggu oleh kehadiran kita.

2.Jika memang hanya ingin meliput hal-hal menarik yang sekiranya tidak diperhatikan peliput lainnya, maka manfaatkan waktu untuk mencari narasumber yang tidak diwawancarai, atau tempat yang tidak sedang dipakai. Ini penting untuk mencari nilai tambah berita warga kita di samping menghormati orang lain.

3.Bersikap ramahlah dengan masyarakat. Tidak bisa dipungkiri masyarakat juga bisa saja antipati terhadap kerja jurnalistik, baik profesional atau pewarta warga. Jangan sekali-kali melangkah ruang gerak orang lain, atau masyarakat setempat, apalagi sampai merusak lingkungan. Dengan bersikap ramah, informasi juga akan didapatkan dengan mudah.

4.Ini yang paling penting. Jangan sekali-kali mengaku sebagai wartawan. Karena dalam pandangan masyarakat secara umum, definisi wartawan diartikans sebagai pekerja jurnalistik resmi yang beroperasi di dalam lindungan kode etik. Jika mengaku-ngaku wartawan dan ternyata berbuat salah, kan repot juga.

5.Pergunakan waktu sebaik-baiknya. Jika tujuan utamanya adalah menyiarkan berita warga secepat mungkin, maka aktiflah mencari berita lalu cari media untuk publikasi. Ketika datang ke TKP, saya sering mencari dua hal: 1. narasumber asli, dan 2. koneksi internet. Itu karena saya mengutamakan kecepatan berita, di samping mengutuhkan informasi. Akan  baik jika memanfaatkan perangkat genggam atau lipat selama liputan. Supaya tidak harus ke TKP berkali-kali, siarkan berita ketika informasi-informasi pentingnya sudah lengkap, minimal 5W+1H.

Itulah sedikit pendapat dari pengalaman yang membuat saya bergumam, "Oooo... ternyata begitu ya," serta beberapa masukan dari saya. Semoga kita sebagai pembelajar pewartaaan warga bisa bekerja dengan lebih baik.

Semoga hari ini menyenangkan.

Tulisan-tulisan Lainnya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun