Di dalam sebuah bilik gelap, seorang tambun melemparkan asbak hingga abu rokok bertebaran di lantai. Dua pengawalnya memungut ketika buku-buku dan kertas menyusul mendarat keras di atas lantai. Pengusaha berbadan tambun itu kecewa berat. Tugas yang ia yakin bisa diselesaikan oleh seorang “dalam” kemenhut ternyata berakhir tragis dan tidak menguntungkan baginya. Ia lalu meminta sebuah komputer tablet kepada ajudannya. Dengan sigap, ia lalu menuliskan isi hatinya di status jejaring sosial favoritnya. “Huft... Tidak bisa dipercaya!” tulisnya. Sontak, status itu dikomentari dengan kalimat-kalimat penyemangat dari berbagai haluan rekan bisnisnya.
Kasus penculikan sang menteri, resmi ditutup.
***
Jakarta, tiga hari kemudian.
Jalil Soemantri nampak sehat, duduk di barisan tengah meja menghadap ke puluhan kamera yang dibawa oleh puluhan wartawan yang telah siap mendengarkan klarifikasi tentang banyak hal yang selama seminggu menggemparkan birokrasi dan kepolisian hingga menyingkirkan berita nasib timnas sepakbola yang lagi-lagi menerima kekalahan pahit oleh negara tetangga.
Satria dan Ardi tersenyum, duduk di deretan kursi persis di samping sang menteri, tepat di sebelah Kapolri.
“Jadi resmi sudah, kasus ini murni penculikan dengan motif pelolosan proyek. Tersangkanya, seorang Dirjen di Kementerian Kehutanan, dijerat pasal berlapis tersebut ditambah pemalsuan surat. Kami juga telah menahan tiga orang anak buahnya yang terlibat langsung dalam penculikan. Sekarang mereka semua berada di mabes polda Bali. Untuk tim di Jakarta, pihak kami masih memburu dua puluh satu orang lainnya yang diduga terlibat tidak langsung dalam rencana pemalsuan surat dalam konferensi pers beberapa waktu lalu.”
Kapolri melanjutkan laporannya.
“Dengan ini pula, kami nyatakan Saudara Satria dan Sudara Ardi bebas dari segala tuduhan. Kami mencabut status mereka sebagai tersangka, dan dengan ini kami menyatakan mereka berhak mendapatkan pemulihan nama baik atas nama hukum. Sebuah surat tulisan tangan mereka yang berisi peringatan dini kepada Pak Menhut tentang rencana penculikan lima hari lalu sekarang berada di tangan anggota Paspampres adalah bukti kuat mereka tidak bersalah.”
Hadirin bertepuk tangan, begitu pula Dea yang berada di belakang kamera. Di belakang Dea, wanita muda itu merapat di dinding. Ia menjentik-jentikkan pena di tangannya sembari matanya menatap penuh ketenangan. Pandangannya mengarah tepat ke menteri itu.
Jalil membalas tatapan putrinnya dan mengangguk. Urusan keluarga diselesaikan oleh keluarga, dan publik tak punya banyak hak untuk mengetahui cerita akhirnya. Satria dan Ardi ikut mengangguk kepada Cintya. Kilau jepretan kamera foto menyilaukan mereka, menutup konferensi pers yang melegakan itu.
Satria dan Ardi berjalan di koridor itu mengarah keluar. Dea menemani mereka sebelum kemudian meminta izin kembali bekerja. Tugas jurnalistik selalu membuatnya bergairah.
Langkah Satria dan Ardi terhenti ketika seorang memanggilnya.
Jalil berjalan dengan sikap ringan. Setelan jas yang melapisi kemeja putih dan dasi hitam itu nampak sangat berharga di badannya. Ia menjulurkan tangan kanan terbuka kepada Ardi dan juga Satria.
Jabat tangan itu berbalas.
“Saya tidak tahu harus berterima kasih seperti apa kepada kalian,” katanya.
“Kami senang membantu, pak.” Balas Ardi
“Kalian ini suka petualangan ya. Apa pekerjaan kalian?”
“Saya.... sebetulnya bekerja sebagai staf magang di Dirjen Eksploitasi juga, Pak”, jawab Ardi.
“Oh ya? Kok baru bilang sekarang?” Jalil heran. Namun Ardi hanya membalasnya dengan anggukan.
“Sulit dipercaya,” imbuh Jalil tersenyum. “Lalu kamu Satria?”
“Oh kalau saya hanya bloger biasa, Pak. Sambil foto-foto.”
“Oh... jurnalis warga ya. Saya selalu ingin seperti itu. Jiwa saya sebenarnya bebas, suka jurnalistik, tapi belum pernah kesampaian. Tapi darah ini masih berdesir.”
“Saya kira darah jurnalis itu juga diturunkan ke anak Anda, Pak.”
“Ya. Saya kira begitu.” Jalil lalu melihat ke arah Cintya yang hanya tersenyum dari kejauhan. Wanita muda itu lalu mengangguk dan menjauh, berjalan keluar bersama dengan puluhan wartawan lain.
“Tak mudah menyelesaikan urusan keluarga, Nak. Tapi saya rasa kami bisa mengatasinya. Rahasia keluarga kami sangat pelik. Satu-satunya yang bisa saya lakukan hanyalah melindungi buah hati saya, termasuk anak ini.” Pandangan pejabat itu masih mengarah ke kawan wartawan yang meninggalkan gedung.
Ardi lagi-lagi hanya tersenyum dan mengangguk.
“Saya ingin sekali membuat blog, tapi masih bingung harus mulai dari mana,” tanya menteri itu kemudian.
“Oh. Pak, kalau Anda punya waktu, Anda bisa gabung ke blog bersama kami, khusus jurnalisme warga. Tapi kalau mau menulis catatan-catatan biasa juga bisa.”
“Oh ya?”
Ardi mengangguk lagi mengiyakan. Menteri itu antusias. Ia lalu mengeluarkan selembar tisu dari sakunya dan sebatang pulpen besi dari saku jasnya. “Apa nama blognya? Saya mau daftar.”
“Kompasiana.”
Menteri itu menuliskan di atas lembar tisu, lalu dimasukkannya ke dalam saku.
“Pasti saya akan buka. Terima kasih ya. Mainlah ke kantor sekali-sekali.”
“Sama-sama, Pak.”
Hari itu begitu santai. Satria berjalan sambil tersenyum memegang surat pernyataan terima kasih yang baru saja ia dapatkan dari istana melalui kementerian pendayagunaan aparatur negara. Surat itu adalah ditandatangani langsung oleh presiden.
“Nah, akhirnya selesai. Sumpah aku lapar.” Ardi berceloteh lepas ketika mereka kembali ke mobil BMW ungu. Tak ada sayap angin di buntut mobil sedan itu. Kacanya kembali mengkilap dan bodinya tak tertutup aneka stiker berwarna.
“Lebih suka yang orisinil ya,” suara itu menegur akrab.
Saat Ardi berbalik, ia menemui senyum ramah Cintya. Wanita muda itu kini nampak lebih tegap, berbalut kemeja putih dan rompi hitam dengan kancing terbuka. Nampak tegas dengan kartu pengenal wartawan Indonetwork.
“Iya. Ini kesayangan saya,” jawab Ardi basa-basi.
Cintya terdiam sejenak hingga kata-katanya keluar. “Aku belum sempat berterima kasih untuk semuanya. Ia lalu mendekat dan memeluk rapat Ardi. Satria yang melihat adegan itu dari dalam mobil hanya bisa menggeleng. Ardi gugup karean Cintya menahan pelukannya. Pelukan itu bertahan beberapa detik sampai akhirnya Cintya melepaskannya lembut.
Ardi mengangguk hormat dengan senyum ringan. Ia lalu mengeluarkan sebatang rokok dan memantik korek sambil melindungi api dengan kedua telapak tangannya. Rokok itu ia hisap dalam-dalam seakan-akan merasakan kebebasannya kembali.
Telepon genggamnya berdering. Cintya tersenyum. Ardi mengangkat telepon.
“Halo? Dea...? Oh iya... Iya. Oh tidak. Aku tidak merokok. Siap!” Telepon ditutup.
“Sepertinya kamu harus berhenti merokok demi kekasihmu.”
Cintya tersenyum lalu berlalu. Lambaian juga sempat ia tujukan kepada Satria yang membalasnya dengan anggukan dari dalam mobil. Dalam langkah menjauh itu, Cintya kembali menoleh satu kali, dibalas dengan lambaian telapak tangan oleh Ardi yang lalu menghisap asap rokok untuk ketiga kalinya.
“Ow... ow.... Sayang sekali....” pancing Satria ketika Ardi baru saja masuk ke mobil.
“Apa ow... ow....?” balas Ardi curiga.
Ardi yang masih merasa tak nyaman dengan sindiran-sindiran, lalu menyalakan pemutar musik. Lagu “Wild World” yang dipopulerkan Mr. Big melantunkan semangat sampai kepalanya mengangguk-angguk mengikuti nada.
“Menurutmu siapa yang lebih cantik, Cintya atau Dea? Canda Satria memancing.
“Apa?”
Satria menggeleng lalu menahan separuh tawa. Ardi terpancing lalu ikut tertawa. Batang rokok itu dijentikkan dan abu hangus jatuh di luar jendela, berhambur di atas jalan yang lembab saat tekanan rotasi roda membawa mobil itu melaju.
Mereka telah melakukan sesuatu di luar bayangan benak mereka pada minggu-minggu sebelumnya. Melelahkan, tapi apa yang mereka selesaikan adalah hadiah terbesar yang menjadi pelajaran berharga. Mobil sedan itu berlalu, membelah jalan-jalan ibukota mengantar kedua sahabat itu menjemput petualangan-petualangan mereka selanjutnya.
Seminggu setelahnya, kanal-kanal reportase dan catatan di Kompasiana serta beberapa blog lain diramaikan oleh tulisan-tulisan khas penelusuran kasus penculikan dan klarifikasinya. Tentu saja yang mengemukakan pertama kali secara rinci adalah Satria dan Ardi. Namun, satu pengguna baru lain tak kalah menarik perhatian, ketika ia menuliskan artikel sketsa berseri tentang petualangannya saat diculik, serta penjelasan singkat tentang hubungan keluarganya di masa lalu. Jalil Soemantri adalah nama profil pengguna itu.
“Menjadi seorang Menteri, Menjadi seorang Ayah” adalah tulisan pertamanya. Artikel itu dibaca puluhan ribu orang dan mengumpulkan lebih dari 500 komentar.
Selesai.
====================================================================
Serial Satria dan Ardi - Surat Tak Terkirim ini terwujud berkat dukungan kalian semua. Kompasiana memberikan wadah yang lebih dari cukup buat penulis amatir seperti saya untuk mengasah diri dan belajar dari kebenaran dan kesalahan.
Saya, bersama dua tokoh saya, Satria dan Ardi mengucapkan terima kasih atas perhatiannya selama ini. Dukungan semangat dan motivasilah yang membuat seri demi seri ini tersambung tuntas meski sempat terlantar selama beberapa pekan. Ada Mba Kurnia Nia, Mba Asmawatty Lazuardy, Pak Jack Soetopo, Om Gusti Bob, Babeh Ahmad Jayakardi, dan kalian semua yang menjadi alasan mengapa tulisan ini harus saya tulis tuntas. Pembaca adalah inspirasi terbesar bagi saya. Dukungan spesial juga datang dari Nana, "terima kasih telah menjadi pengoreksi sikap-sikapku".
Untuk selanjutnya, atas restu kalian saya berencana melanjutkan petualangan Satria dan Ardi dalam cerita-cerita yang lebih baru, seru, penuh haru biru dan terus melaju. Semoga pertemanan kita membuahkan karya-karya manis.
Saya menantikan tulisan-tulisan inspiratif dari kalian semua. Salam.
Afandi Sido, pengarang.
=================
Kisah-kisah Satria dan Ardi yang lain, silakan klik:
Surat Terakhir dari Perbatasan