Pemandangan itu sungguh tidak mengenakkan di kamera. Beberapa wartawan yang meliput ikut-ikutan kaget. Mereka memastikan daya baterai kamera mereka cukup untuk mengabadikan momen menegangkan ini. Mereka tidak berani mendekat untuk memperkeruh suasana. Cukup tugas mereka tunai. Pinggiran jalan itu mulai ramai. Beberapa kendaraan bahkan berhenti untuk menyaksikan penculikan terang-terangan di dekat jantung kota mereka.
Di jakarta, Kapolri langsung bertindak begitu tahu berita telah tersebar. Monitor penyiar hasil sorotan kamera CCTV NTMC dari Denpasar telah mengubah suasana. Keputusan penting harus diambil dalam beberapa detik.
“Siagakan personel investigasi di Kemenhut sekarang! Kosongkan kantor Dirjen Eksploitasi Lahan Hutan. Saya mau semua orang yang berada di ruangan itu dijadikan saksi!”
“Pak Kadiv Humas, Tolong kontrol media. Mereka sudah mendobrak pintu depan, pasti saat ini.”
Televisi menyiarkan langsung penyanderaan berbahaya itu. Berita cepat menyebar. Denpasar menjadi sontak riuh. Mobil polisi jalan raya langsung meninggalkan pos-pos mereka. Suara sirene kembali bersahutan. Kali ini, jauh lebih nyaring.
Bento dan Rojeryang terikat di tiang pos jaga di sebuah kompleks kecil, hanya terheran-heran dengan keriuhan yang melintas di jalan depan itu. Mereka pasrah.
Ardi berusaha mendekat tapi Matius merapatkan ujung tajam belati itu ke leher kanan Sang Menteri.
“Ayah!” Cintya berteriak. Air matanya tak tertahan.
Namun Jalil tersenyum. Ia tenang-tenang saja. Masa kritis emosionalnya telah lewat. Dalam keadaan lelah dan pasrah, ia bisa lebih tenang. Pikirannya tengah memikirkan sesuatu yang lebih penting.
Keempat polisi berseragam perlahan menurunkan senjatanya. Kapolda mengangkat telapak tangan pertanda semuanya tidak apa-apa. Bahasa tubuh semacam itu telah menjadi bagian dari latihan penyanderaan, berguna untuk meyakinkan penyandera bahwa semuanya masih bisa dinegosiasikan.
“Matius. Kami menyerah. Oke....”
Keempat anak buahnya telah menurunkan pistol revolver berukuran kecil ke tanah. Pistol-pistol itu kemudian ditendang ke arah depan.
“Bagus....” Matius tersenyum sambil terengah-engah. Ia membungkuk untuk mengambil pistol itu. Tangan kirinya tetap menahan leher Jalil sehingga mereka berdua membungkuk bersamaan.
Tiba-tiba, saat tangan kanannya meletakkan pisau dan memungut pistol, saat tubuhnya mulai kembali tegak, sebuah letusan terdengar.
Kapolda Bali merasakan angin cepat melesat dari samping telinga kirinya. Ardi dan Satria terkejut, begitu pula dengan keempat personel berseragam itu. Suara itu begitu cepat hingga mereka butuh beberapa detik untuk mencari tahu sumber bunyi mengejutkan itu.
Matius berteriak dan merintih. Tubuhnya terpental ke belakang dan jatuh setelah punggungnya menghempas di badan mobil. Darah itu berbekas mengucur saat jaketnya menyeka darah yang keluar dari punggung kanan bagian atasnya. Pundaknya telah tertembus peluru. Lengannya lemas tak berdaya hingga pistol di tangannya terjatuh ke atas tanah.
Satria dan Ardi mencari sumber tembakan itu, begitu pula Cintya. Sedangkan Jalil Soemantri tengah terjongkok di atas tanah sambil memegangi kepalanya. Tejo terkejut hanya berdiri mematung di belakangnya.
Beberapa meter di belakang mereka, dua mobil patroli jalan raya yang terparkir melintang itu menyembunyikan sesosok pria muda berseragam yang meringkuk tak banyak bergerak. Asap melayang dan hilang dari ujung senapan laras panjang itu.
Bripda yang menjadi sopir serta pengawal kepercayaan Kapolda itu tetap beradadi atas mobil ketika empat rekannya mengikuti atasan mereka bertemu dengan seorang negosiator. Dalam dunia kepolisian, terkadang pertemuan yang mencurigakan adalah sebuah ladang bisnis yang penuh misteri. Semua kejutan bisa terjadi, dan mereka sebagai petugas kepolisian harus selangkah di depan jika tak ingin malu di depan publik. Selongsong peluru itu jatuh dan masuk ke bawah mobil.
...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H