Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Surat Tak Terkirim (45)

2 Desember 2011   00:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:56 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

(SEBELUMNYA....)

Di Jakarta...

Ruangan kerja di rumah dinas tetap ditata seperti suasana kantor di gedung ber-lift. Dua lukisan gaya Bali dan Italia berdampingan dengan sederet rak tinggi tempat menyimpan ribuan buku memoar dan profil pejabat. Udara dingin masuk melalui kaca nako bergaya klasik di dekat pintu masuk. Kapolri, jenderal berkumis itu, menopang dagu saat orang kepercayaannya menjelaskan temuan baru mereka.

“Ini gambaran dua jam yang lalu, Pak. Ada bekas ban di sebuah kompleks di luar Nusa Indah. Kompleks ini berada satu blok dengan gedung TVRI dan Kantor Pos lama. Dugaan kuat mereka menawan menteri di sebuah rumah kosong dengan beberapa ruangan kecil.”

Kapolri itu berdeham mendengar penjelasan yang mengejutkannya.

“Kenapa mereka tidak curiga sedikitpun? Anggota Kepolisian Daerah?”

“Saya kira, karena berada satu kompleks dengan kantor gubernur, maka tidak ada yang curiga. Cara ini dianggap modus baru penculik dan beberapa gembong narkoba kuartal pertama tahun ini, Pak.”

“Begitu ya....” Jenderal itu menarik napas.

“Tapi yang aneh, Pak....” Kadiv Humas berusaha meneruskan, namun tiba-tiba terdengar telepon genggam berdering. Seorang anak buah yang ikut bersamanya lalu mengangkat telepon dari sakunya lalu berbicara dan mengangguk. Saat telepon ditutup, ia menghampiri atasan lalu menyampaikan kabar yang ia dapatkan.

“Pak, Menteri telah ditemukan.”

Kadiv Humas dan Kapolri saling pandang. Tak menunggu lebih lama, mereka lalu bergegas kembali ke Markas Besar.

Wartawan telah berkumpul dan berusaha mencegat rombongan kapolri yang hendak masuk melalui pintu utama mabes polri. Mereka bersahutan berlomba melontarkan pertanyaan dan klarifikasi. Beberapa meminta konfirmasi tentang isu ditemukannya sang menteri, yang lain menanyakan kabar yang sama namun dalam bentuk negasi. Kapolri mengangkat kedua tangannya sambil berlalu. Asistennya menjawab bahwa nanti akan diberikan konfirmasi. Wartawan diminta sabar menunggu.

Kapolri dengan sigap langsung membuka ruangan yang digunakan sebagai pusat komando khusus untuk kasus ini. Ia mengangkat telunjuk dan memberi beberapa instruksi yang jelas dan lantang. Ia meminta seorang operator telepon satelit untuk segera menghubungi kepolisian daerah di Bali. Lalu seorang anak buah lain langsung memerintahkan penutupan ruangan dari segala bentuk potensi kebocoran informasi. “Pastikan informasi terpusat di sini dulu. Jangan biarkan berita bocor sampai kita ada kejelasan tentang status Menteri Kehutanan.”

Sepuluh anak buah itu mengangguk bersamaan dan berteriak tanda siap setuju.

Kapolri lalu menatap layar besar yang menampilkan laporan-laporan lalu lintas hasil pantauan langsung kamera jalan raya seantero Kota Denpasar. Matanya menatap tajam setiap pergerakan grafis di monitor itu. Insting dan ketajaman pikirannya berpadu dengan ketenangan yang terlatih.

Pantauan kamera di sekitar Puputan Square yang menjadi perhatiannya. Beberapa mobil polisi tengah disorot dengan fokus otomatis. Dari dalam mobil sedan patroli melangkah keluar kapolda Bali.

“Pak Kapolda.” Matius menyambut dengan ramah.

Kapolda itu menunduk. Empat orang anak buahnya langsung ikut-ikutan meski tetap siaga. Dalam benak mereka, baru kali ini ada pertemuan penting yang melibatkan hanya sedikit personel dan dengan lampu sirene padam.

Di dalam mobil Picanto, Dea terdiam. Sudah lama ia tak duduk berdampingan dengan sesama wanita di belakang stir. Suasana itu tak terlalu mengenakkan baginya, apalagi wanita yang di sampingnya adalah orang misterius yang didengarnya dari Ardi, ikut terlibat di dalam masalah keamanan nasional yang baginya konyol.

“Jadi, kamu pacarnya Ardi ya?”

“Hm?” Dea tersadar.

“Pasti merepotkan sekali punya pacar seperti Ardi itu. Keras kepala, ceroboh, kurang perhitungan.” Cintya melanjutkan kalimatnya tanpa menunggu balasan yang jelas dari Dea.

“Maksud kamu?” tanya Dea.

“Tapi setidaknya dia punya visi dan misi yang baik. Sahabatnya Satria setidaknya bisa mengimbanginya. Pemuda kacamata itu lebih hati-hati dan strategis orangnya. Apakah kamu juga?”

“Apanya?”

“Bisa mengimbangi Ardi?”

Dea tersenyum geli.

“Tentu saja. Aku tahu betul dia butuh seseorang yang selalu mengingatkannya agar tidak bertindak terlalu jauh.”

Cintya mengangguk sambil tersenyum, tapi pandangannya tetap menatap sekeliling.

“Menurutku dia orang yang menyenangkan.”

“Juga menyebalkan.”

“Seringnya menyebalkan?”

Dea tertawa kecil. “Duh, aku rasa tak perlu kita berbicara terlalu jauh tentang kekasihku.”

Cintya menatap gadis di sampingnya penuh tanya, hingga akhirnya ia menyerah dengan mengangguk dan mengangkat bahu. Teleponnya berdering.

“Halo? ... Sudah kubilang tidak perlu. ... Kalau begitu amankan saja barangnya. Itu jaminan bagi kalian.”

“Siapa?” tanya Dea penasaran. Tapi Cintya menolak untuk menjawab.

Matius menyambut kapolda dengan jabat tangan.

“Sempat tidur, Pak?” tanya Matius lagi.

Kapolda itu tersenyum. “Saya punya banyak waktu istirahat untuk kasus sebesar ini, Pak Matius. Anak buah saya yang kurang tidur.”

Matius mengalihkan pandangannya ke empat anak buah anggota brigadir yang nampak gugup berdiri di dekat mobil. “Saya bisa melihatnya,” katanya.

“Nah, di mana Pak Menteri? Anda tadi mengatakan telah menemukannya. Di mana sekarang?”

...

(SELANJUTNYA...)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun