Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Surat Tak Terkirim (37)

29 November 2011   03:52 Diperbarui: 6 Juli 2015   06:31 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

(SEBELUMNYA....)

Di Mapolda Bali, pemimpin tertinggi wilayah itu telah kembali ke ruangannya. Ia melirik jam dan mendapati waktu menunjukkan pukul 05.30. Setelah menyiapkan beberapa kerat roti dan selai yang ia keluarkan dari lemari pendingin mini di sudut ruangan, ia lalu duduk di sofa membelakangi jendela yang ditembus cahaya remang lampu jalan. Tangannya lalu menekan beberapa tombol di telepon genggamnya. Nada sambung terdengar.

Matius menerima telepon itu sambil mengemudi. Tejo, anak buahnya yang duduk di sampingnya, hanya melirik ikut penasaran.

“Halo? Pak Kapolda....”

“Pak Matius.... Sudah di mana sekarang? Apakah berhasil?”

“Iya....” Suara angin membuat gemerisik, Matius lalu menutup semua jendela kaca. “Saya sudah bersama Pak Menteri. Saya akan serahkan kepada satuan Anda jam 6 pagi nanti.”

Kapolda itu tersenyum, lalu keningnya kembali mengkerut.

“Itu setengah jam dari sekarang. Bagaimana dengan tersangka saya?”

“Oh, Satria dan Ardi. Sudah saya siapkan. Satuan Anda bisa menjemputnya di tempat yang saya tunjukkan kemudian. Buat sementara perjanjian kita masih berlaku, tenang saja.”

Kapolda mengangguk.

“Tapi, Pak Matius. Istana akan segera dihubungi begitu matahari terbit, dan media sudah semakin memojokkan kepolisian. Jadi saya sangat berharap Anda menyiapkan kedua tersangka saya. Kredibilitas instansi saya sedang dipertaruhkan di sini. Kapolri sendiri sudah memberikan instruksi tegas terkait hal ini.”

Matius tertawa. “Saya mengerti posisi Anda, betapa jabatan itu sangat penting bagi orang yang haus kekuasaan dan pencitraan tinggi di masyarakat.”

“Maaf?”

“Tidak mengapa. Puri Besakih, halaman belakang, setengah jam dari sekarang.”

“Terima kasih.”

Ardi menatap semua orang yang ada di dekatnya, terlebih mereka yang terikat bersamanya di tengah lapangan itu. Mulai terdengar suara burung keluar dari sarangnya untuk mencari sebutir beras untuk anak-anak mereka. Langit mulai mengungkapkan warnanya dan keluar dari kegelapan. Cintya tersandar tepat di pundak Ardi, disusul Satria di sampingnya dan Jakob serta Obey di belakang mereka.

“Andai saja Tanah Papua itu kaya penduduknya... hidupnya sejahtera....”

“He?” Jakob menimpali Obey yang ia kira sedang mengigau karena putus asa. “Kenapa?”

“Papua....”

“Kau kenapa, hoi, Obey!”

“Papua.... Aku mau pulang....”

Ardi yang menyadari kerisauan Obey, lantas menyambung kata.

“Sudah berapa lama di Denpasar, Obey?”

“Aku? Sudah sebelas tahun. Ke sini waktu anakku lahir. Waktu itu di Papua tidak ada dokter yang mau membantu persalinan istri saya. Lalu kemarilah saya, membawa istri yang hamil berat. Kami pakai uang tabungan kami dua puluh juta, naik kapal terbang.”

Ardi tersenyum namun merenung. “Aku kira orang Papua tidak suka menabung.”

Jakob menyela. “Memang, baru sedikit orang Papua yang melek investasi. Sejarah peradaban kami berjalan tidak begitu baik. Anak-anak muda di Papua itu sampai sekarang masih menyalahkan pusat. Mereka berontak di tanah sendiri, minta kesejahteraan, menghujat menteri yang datang ke Papua hanya untuk bergaya pakai kacamata hitam, melambaikan tangan, lalu membawa janji-janji palsu. Sebagian lain berontak menembus batas teritori mereka, terbang ke Jawa, ke Sulawesi. Aku dan Obey memilih Bali.”

“Kau tahu?” Obey melanjutkan. “Ini hanya masalah politik. Orang Jawa senang sekali berpolitik. Foto-foto wajah mereka dengan senyuman lucu itu dipasang besar-besar di semua tempat yang ada pesan masyarakatnya. Di spanduk, dinding kantor, iklan-iklan televisi, semua ada wajah kepala daerahnya, ada wajah menterinya. Kayak kita senang melihat gambar-gambar mereka yang lebih kelihatan daripada kalimat-kalimat pesannya. Kalau di jalan-jalan, gigi putih pejabat itu lebih kelihatan daripada kata-kata ucapan kemerdekaan yang tertulis di bawahnya. Orang-orang timur seperti kita tidak begitu suka. Kami lebih suka hal nyata, konkret, semisal kesejahteraan ekonomi di pasar-pasar Manokwari dan anak-anak bisa sekolah.”

“Lho bukannya di Sulawesi yang begitu juga banyak? Politik?”

“Memang. Itu kenapa kami berdua memutuskan melihat dunia yang berbeda, di Bali ini. Setelah sepuluh tahun lebih, ternyata semuanya sama saja.”

Kedua pengawal setia Matius berjaga di meja pos jaga sambil membuka berita pagi.

Selamat pagi, saudara. Baru saja kami dapatkan informasi bahwa posisi sang menteri kehutanan teridentifikasi. Telah terjadi pengejaran dini hari tadi antara satuan gabungan kepolisian daerah Bali bekerja sama dengan kepolisian kota Denpasar dengan kawanan yang diduga penculik Menteri Kehutanan Jalil Soemantri. Belum ada keterangan resmi dari kepolisian. Berdasarkan pemantauan rekan kami di Denpasar, Mapolda Bali masih nampak lengang meski beberapa mobil pemburu telah kembali terparkir di halaman. Kami berhasil menanyai seorang petugas yang berjaga. Ia mengaku, memang pengejaran telah dilakukan namun belum membuahkan hasil. Saat ini Kapolda dikabarkan kembali menyusun strategi dan ditargetkan saat fajar sang menteri sudah bisa ditemukan, sesuai target penculiknya yang memberikan batasan waktu keselamatan tiga hari bagi Sang Menteri.

Bento dan Rojer acuh tak acuh dengan berita itu. Bagi mereka, cukup tugas yang diberikan pada saat-saat menentukan seperti ini memberinya kehidupan untuk berlanjut dengan sedikit pekerjaan yang menghalau rasa malu tanpa pekerjaan. Mereka lalu memindahkan saluran televisi ke acara kartun pagi saat tiba-tiba sebuah telepon genggam berdering.

...

(SELANJUTNYA...)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun