Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Surat Tak Terkirim (36)

29 November 2011   02:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:04 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

(SEBELUMNYA....)

Polisi kehilangan jejak. Jalan di depan mereka kosong. Tak ada tanda-tanda kemana mobil sedan perak yang membawa menteri itu kabur.

“Mitsubishi Galant V6 24 tahun 2000, tercepat di kelasnya...,” keluh pengemudi mobil pemburu yang mengawal Kapolda Bali yang duduk di sampingnya.

Kapolda itu menghela napas dan menyeka keningnya. Rombongan itu lalu berhenti di tengah Jalan Empu Tantular. Kapolda keluar lalu berjalan-jalan seketika, melihat sekeliling. Beberapa bawahannya terheran-heran.

Cahaya sirene itu sampai ke jalan di depan kompleks dengan gerbang hijau itu. Di dalam lapangan basah itu, Rojer dan Bento menguasai keadaan. Senjata api yang tertodong membuat Cintya, Ardi, Jakob, dan Obey patuh kepada kedua pria berbadan besar namun kelihatan rapuh itu. Rojer membuka pintu ruang tahanan Satria dan mengeluarkannya.

Satria digiring ke tengah lapangan tempat empat tawanan lain diikat menyatu dalam posisi duduk. Rojer baru saja menyelesaikan ikatan melingkar itu ketika terdengar dari kejauhan suara beberapa pintu mobil tertutup.

Mereka terdiam sesaat ketika menyadari polisi ada di dekat situ.

Bento mengisyaratkan mereka semua diam. Ia mengisyaratkan dengan tangan jika seseorang berteriak atau bersuara, ia akan membungkamnya dengan senjata. Revolver itu masih tertodong ke kepala mereka.

Di jalan, beberapa petugas lalu lintas berkeliling untuk menebak-nebak arah buruan mereka kabur. Beberapa berbicara melalui radio. Salah seorang petugas yang kelihatan muda melihat ada yang aneh dengan jejak ban di atas aspal. Ia mengamati tempat yang terjauh dibandingkan dengan petugas lain. Di tengah jalan itu, ia menemukan jejak ban lurus dan mengarah ke kegelapan di dalamnya.

Atasan mereka itu lalu kembali ke dalam mobil dan mengeluarkan instruksi.

“Kembali ke pos.”

“Bubar? Tapi pak... kita belum ketemu.....”

“Jangan melanggar perintah! Kembali ke markas!”

Petugas itu terdiam. Ia lalu mengeluarkan lengannya melalui jendela untuk memberi tanda kepada rekan-rekannya. Pintu-pintu mobil tertutup kembali terdengar membelah subuh. Delapan petugas pemburu itu kembali ke mobilnya, termasuk seorang petugas yang terpaksa meninggalkan jejak ban yang diikutinya. Empat mobil pemburu itu lalu kembali menyalakan mesin dan melaju menuju markas besar. Cahaya lampu menampilkan bidang aspal yang luas itu kembali kosong.

Dua puluh meter di sebelah selatan titik itu, di atas aspal, empat lengkungan bekas ban nampak jelas memotong jalan dan berakhir di tepiannya menuju sebuah kompleks sempit. Di pinggir jalan yang berpenerangan minim itu, di puncak sebuah baliho iklan sabun mandi, kamera pemantau lalu lintas berkedip-kedip lampu kecil di bagian bawah lensanya.

Radio gemerisik. Sebuah suara terdengar. “Lapor. Lapor. Briptu Hilman menemukan ada jejak ban di kompleks yang tadi kita amati. Laporan selesai.”

Kapolda mendengarnya, namun pikirannya terlanjur beralih ke hal lain. Saat suasana kembali hening, seorang anak buahnya di mobil urutan belakang hanya tersenyum dan menggeleng.

...

(SELANJUTNYA...)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun