Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Surat Tak Terkirim (35)

29 November 2011   01:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:04 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

(SEBELUMNYA....)

Matius terkekeh. “Mati? Bukankah dari tiga hari lalu Anda sudah dianggap mati? Keluarga dan publik mencari Anda, mereka merindukan Anda, Pak. Apakah tidak ada bayangan sama sekali di benak Anda untuk kembali muncul ke publik dalam keadaan baik-baik saja? Tanpa masalah berarti.

Sekarang, jika Anda masih ingin reputasi  yang Anda bangun selama sepuluh tahun bertahan, jangan berpikir terlalu lama. Tanda tangani saja surat izin ini, dan kita semua pulang dengan bahagia. Dan kemungkinan, skandal keluarga Anda akan aman tetap bersama saya.”

Jalil terdiam dan beberapa kali menunduk. Pandangannya memancarkan kebingunan yang sangat, meski ia berusaha melawan dan tegar.

Cintya yang kelelahan terus memandangi ayahnya penuh harap. Ia terlanjur melibatkan diri dalam pusaran masalah yang pada akhirnya dikendalikan oleh sekutunya sendiri. Niat awal baginya untuk menghukum ayahnya secara moril berujung pada posisi yang tidak mengenakkan bagi semuanya. Ia menangis.

Jalil mendekat, lututnya bergetar, entah menunjukkan kedinginan atau kegusaran. Tangannya pelan terangkat dan lalu menyambut pulpen yang disodorkan dalam tangan terbuka Matius. Orang tua itu menatap wajah bawahannya penuh kebencian, tapi ia sudah memutuskan. Di sambutnya alat tulis itu lalu ia menggoreskan tanda tangannya di atas dokumen itu. Hanya tiga kali gerakan tangan, dan dokumen itu tersahkan. Bento menutup map tersenyum.

“Terima kasih, Pak Menteri,” kata Bento.

Matius lalu berjalan membelah lapangan itu ke arah gerbang menuju mobil van putih itu. Ia lalu meminta Rojer membukakan pintu mobil sembari waspada sekeliling. Tak ada yang berani menghalangi pria bersenjata, apalagi dengan seorang sandera penting yang aset satu-satunya penentu gentingnya situasi. Matius lalu meminta seorang pengawalnya mengikat tangan Jalil dan menyekap mulutnya lalu menempatkannya di dalam bak belakang mobil itu. Jalil terlempar ke dalam saat pintu belakang mobil kotak itu dikunci. Matius lalu menyalakan mesin sambil tersenyum penuh kemenangan. Ia lalu menyerahkan revolver kepada Rojer pengawalnya. “Kalian berdua sekap mereka. Masukkan ke ruangan sekalian. Kuyakin kalian bisa mengatasi ini. Saya masih ada urusan dengan Pak Menteri. Bento, ini alamat tempat kita ketemu nanti, instruksinya sekalian di situ lengkap. Saat fajar, kita sudah keluar dari kota ini. Biar Tejo yang menemani saya.”

Kedua pengawal itu mengangguk patuh. Ardi melihat jelas selembar kertas terlipat yang diterima kedua pengawal itu

Ardi hendak mengejar mobil yang lalu melaju keluar itu. Mobil itu lalu melaju ke arah kanan jalan, melajur berlawanan dengan kumpulan sedan pengejar jalan raya. Polisi memberi kode lampu kepada mobil van yang baru saja keluar dari kompleks itu, dan kode lampu itu berbalas. Matius tersenyum. Jalil tak kuasa memberi petunjuk apa-apa. Bahkan berpikir untuk menggedor-gedor kabin mobil dan berharap polisi yang baru saja melintas ke arah berlawanan itu mendengarnya, ia tak kuasa. Kedua tangan dan kakinya terikat dan mulutnya terbekap. Ia menyerah.

...

(SELANJUTNYA...)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun