Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sisa Kejayaan Becak di Yogyakarta

27 Januari 2014   08:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:26 1749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13907855831088774925

[caption id="attachment_308487" align="alignnone" width="600" caption="Dahar duduk menatap kamera dari atas becaknya. Ada lebih dari 3.000 tukang becak di Yogyakarta yang masih beroperasi. Sebagian dari mereka sudah lepas dari para juragan dan memilih berusaha sendiri. (dok.pri.)"][/caption]

Waktu itu pertengahan 1970, musim hujan baru berlalu. Setyawati, perempuan paruh baya, bersama suaminya, duduk menghadap keramaian depan rumah. Di situ mereka mengambil keputusan penting untuk memboyong keluarga ke Yogyakarta, kota yang belum begitu jelas aral peruntungannya.

Bisnis dagang di Jakarta dirasa mulai menjumpai titik nadirnya. Persaingan usaha yang mulai tidak sehat dan kecenderungan mencoba hal baru membuat keluarga ini menyimpulkan bahwa harus ada yang berubah dari hidup.

Di Yogyakarta, Setyawati dan suaminya sepakat untuk mencari sumber penghasilan baru, yang bisa melibatkan kejelian luhur ala pedagang keturunan Tionghoa, dan peluang pasar baru yang ditawarkan sebuah kota wisata. Bermodal pengamatan, jaringan bisnis baru yang menjanjikan, dan potongan-potongan besi, mereka akhirnya menemukan cipta karya dan karsa baru: sebuah moda tak bermotor, beroda tiga, yang berpuluh-puluh tahun kemudian mengubah total wajah transportasi di Pulau Jawa.

Bengkel bubut itu bernama Sinar Laut, nyaris bangkrut karena pasar tidak selalu menjanjikan keuntungan. Pemiliknya yang seorang Jawa akhirnya menjual seluruh perusahaan kepada keluarga Setyawati, yang kemudian menyelamatkan perusahaan itu.

Pada awalnya Setyawati dan suaminya menjalankan bisnis utama Sinar Laut berupa pembuatan, rekayasa sampai perbaikan produk-produk besi. Suatu hari ketika ada tukang becak yang meminta kendaraan miliknya diperbaiki, Sinar Laut menyanggupi. Inilah titik awal Sinar Laut akrab dengan moda transportasi roda tiga yang waktu itu masih sangat langka.

Bulan-bulan berikutnya pengembangan membawa Sinar Laut pada jasa baru penyewaan becak –yang mana sebagian unitnya mereka bikin sendiri. Pasar pelanggan yang sebagian besar adalah tukang becak mulai meningkatkan permintaan. Sinar Laut bersaing dengan bengkel-bengkel rakit yang hadir lebih dulu seperti Tetap Jaya, Lei Kiong, dan Rocket.

Merasa mendapatkan keuntungan kompetitif dalam rancang bangun becak, dan punya prospek pelanggan, akhirnya pada akhir tahun 1971 Sinar Laut resmi menghasilkan produk becak melalui mekanisme pemesanan. Harga per unit becak waktu itu dipatok Rp 400.000,- dan laku keras. Berselang tak sampai dua tahun, para juragan becak bermunculan semakin banyak. Jalan-jalan di Yogyakarta perlahan namun pasti menerima becak sebagai moda transportasi unggulan.

Dalam buku The Betjak Way: Ngudoroso Inspiratif di Jalan Becak, pengayuh becak sekaligus aktivis media sosialHarry van Yogya menuliskan bahwa cikal-bakal becak di Yogyakarta tercatat bermula pada sekira 1950, ketika beberapa pengusaha keturunan Tionghoa membawa contoh becak dari Semarang. Di tahun-tahun itu, mulai muncul bengkel-bengkel perintis seperti Siong Hong dan HBH, yang membuat rancangan becak kayuh dengan pengemudi di belakang –tak seperti becak Sumatra yang pengemudinya duduk di samping.

Pada era 1970-an becak menjajaki karir sebagai moda “calon raja baru” di jalan-jalan Yogyakarta. Sejak desus-desusnya terdengar dari beberapa wilayah di Semarang di masa pendudukan Jepang, bentuk becak yang lengkap dengan tiga roda, rem bertenaga tangan, dan aneka asesorinya mulai melekat di benak masyarakat.

Para pelanggan utama becak di Yogyakarta datang dari masyarakat lokal, para pedagang di Pasar Beringharjo dan Kranggan, sampai wisatawan mancanegara yang datang-pergi seiring terbentuknya kota wisata. Kalangan Keraton waktu itu bahkan memilih becak bersama andong sebagai moda penting bagi para keluarga dan abdi. Memasuki 1980-an, becak tidak tertandingi dan menjelma jadi primadona masyarakat. Di jalan-jalan kota becak sangat dominan –menyusul popularitas piet onthel yang waktu itu mulai terganggu dengan kehadiran kendaraan bermotor pribadi.

Kemudian, kejayaan becak mulai redup pada awal 2000-an.

“Tahun berapa tu, taksi  mulai masuk Jogja? Ya sejak itulah becak mulai terpinggirkan,” begitu ujar Andi Setyawan, pengelola bengkel Sinar Laut kini, saat saya temui Sabtu (25/1/2014).

Andi Setyawan merupakan generasi kedua dari keluarga Setyawati, pemilik bengkel bubut Sinar Laut. Seperti halnya pedagang kebanyakan, penampilannya sederhana dan apa adanya. Kalimatnya akrab meski tak berlebihan.

Bengkel seluas empat lapangan voli beralamat di Jalan raya Bantul km. 5,5 itu kini sudah didempeti toko peralatan bangunan yang dijaga dua perempuan. Dari dinding sampai atapnya semua berbalut besi. Dari jalan nampak menonjol di antara toko-toko di sisi kanan dan kirinya. Meski tampak sekali kemajuan usaha yang dibangun berpuluh-puluh tahun, yang namanya bengkel, Sinar Laut tetap bertumpuk besi-besi baru dan tua. Gerbangnya lebar dan seperti tak pernah benar-benar terkunci. Desing-desing palu beradu besi dan bunyi gemercik bunga api dari hulu las serta orang-orang tawar jual-beli jadi kehidupan Andi hari ini. Kalau tidak sedang sibuk melayani permintaan barang-barang hasil las atau mengawasi karyawannya, ia mengunjungi bengkel cabang yang dikelola kakaknya. Di benak lelaki yang umurnya saya taksir sekitar empat puluh tahun itu, tak banyak ingatan yang tersisa soal becak dan usaha legendaris yang dibangun orang tuanya.

Andi sendiri memandang perjalanan becak di Yogyakarta seperti halnya moda-moda transportasi lain. Ada kemunculan, masa kejayaan, kemudian meredup. Ia yang membangun keluarganya sendiri dari hasil usaha warisan orang tuanya ini mengaku, kini sangat sulit menggantungkan usaha bengkel dari sekadar membuat becak.

“Pesanan (becak) bisa dibilang hampir tidak ada. Satu-dua saja, tiap beberapa bulan. Itupun, yang pesan kebanyakan orang luar,” jelas Andi saat saya tanyai soal produksi.

Saat pasar domestik hampir mati, becak tak lagi banyak dicari. Menurut Andi, pesanan becak di bengkelnya kini lebih banyak dipesan oleh para kolektor Belanda demi keperluan museum, galeri seni atau perpustakaan sejarah. Pernah juga dikirim ke Australia untuk keperluan foto pra-pernikahan, riset, dan sebagainya. Ini jauh sekali dari ingatan masa kecilnya ketika bengkel bisa memproduksi 400 becak dalam setahun. Beberapa bengkel lain seperti Pasti Jaya di daerah Ngabean bahkan sudah benar-benar stop produksi becak.

Masa-masa surut produksi becak mulai terasa pada tahun 2000-an. Waktu itu selain taksi, sepeda motor pribadi juga mulai membanjiri jalanan Yogyakarta. Masyarakat yang menerima moda transportasi bermotor (yang secara teknis lebih hemat tenaga, dan menjamin kecepatan) meninggalkan becak yang dianggap tersisa hanya untuk keperluan wisata. Pesanan-pesanan unit becak yang dulunya dikuasai para juragan becak dalam kota kini mulai digeser pasar yang baru, eksklusif, dan sangat terbatas.

Bagi tukang kayuh atau juragan becak, biaya membuat becak yang per unitnya kini bisa mencapai Rp 4 juta rupiah, dinilai berisiko sebagai aksi investasi. Sementara para juragan mulai alih usaha, sisa-sisa tukang becak yang bertahan memilih membeli sendiri becak dari mereka yang bangkrut. Ketimbang menyewa becak dari kisaran Rp5.000,- hingga Rp10.000,- per hari, mereka memilih jaminan. Demi meneruskan bisnis, para tukang becak “independen” ini terkadang masuk bengkel reparasi, seperti Sinar Laut.

Meski pasar tak lagi bersemi seperti dulu, para tukang becak tetap memerlukan bengkel-bengkel reparasi. Harapan akan nasib baik belum benar-benar luntur. Ketika dana pemeliharaan agak berlebih ketimbang sekadar untuk mengganti cat pelek dan meratakan permukaan fender (penutup ban), banyak tukang becak masih akrab dengan bengkel reparasi yang khusus mengerti konstruksi dan cara kerja becak mereka.

Dahar, seorang tukang becak yang sering mangkal di sekitaran Pojok Benteng Kulon, daerah Prawirotaman serta Malioboro mengakui keberadaan bengkel-bengkel becak yang masih sangat diperlukan oleh mereka. Duduk mengawal jok becaknya bawah terik matahari pukul sebelas siang, laki-laki paruh baya berkulit legam ini berujar, “Di Jogja nama-nama seperti Sinar Laut dan Pasti Jaya dikenal oleh hampir semua tukang becak.”

Dahar yang sudah sepuluh tahun mengayuh becak ini mengaku terlanjur nyaman dengan pekerjaannya. Dalam sehari Dahar mengaku bisa mengantongi Rp25.000,- rupiah. Sementara di musim liburan, pendapatannya bisa mencapai empat sampai delapan kali lipat. Meski banyak kehilangan penumpang yang dulu jadi pelanggan tetap, ia menilai itu semua wajar saja. “Orang-orang mulai berpikir serbacepat, Mas. Becak yang jalannya lambat, dipakai untuk nostalgia saja, bukan kerja,” katanya sambil terkekeh menunjukkan gigi-giginya yang tak lagi rata.

Sasaran yang bergeser

Paguyuban-paguyuban tukang becak kini lebih banyak berkonsentrasi di pusat-pusat konsentrasi turis. Selain sekitaran Malioboro, daerah Prawirotaman dan kawasan baru di XT Square Umbulharjo kini jadi daerah favorit para tukang becak untuk memeroleh keuntungan lebih baik. Tak seperti pada 1980-an dulu, sasaran mereka kini adalah turis mancanegara (dengan tip yang lebih besar), turis domestik dari beberapa daerah di luar Jawa, sampai sisa-sisa pedagang batik dan hasil bumi di Pasar Beringharjo yang biasanya meminta jasa bongkar-muat barang.

Sistem komisi yang terjalin antara paguyuban tukang becak dan para pengusaha restoran, toko batik-kaus, dan hotel-hotel jadi harapan tunggal yang bisa menjaga eksistensi becak yang kini diangkat lebih sering sebagai transportasi wisata. Tarif kecil dari penumpang dibalas besaran “tip” tertentu dari pemilik toko yang mendapatkan pelanggan dari hasil antaran sang tukang becak.

Hal sama dirasakan Dahar. Menurutnya, selama kerjasama bisnis terjalin antara tukang becak sepertinya dengan para pemilik usaha wisata, masih ada harapan hidup bagi becak. “Dari dulu sampai sekarang, tidak pernah ada tarif baku untuk becak. Semuanya berdasarkan kesepakatan. Jadi kalau ada yang mau ngasih lebih, wah itu rezeki sekali. Asalkan jangan kurang!” imbuhnya, kali ini dengan tawa pecah.

Data Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta pada tahun 2006 mencatat ada sedikitnya 142 paguyuban yang tiap-tiapnya beranggotakan sekitar 50 pengayuh becak. Sementara jumlah becak hingga saat ini masih simpang siur, yakni sekitar 4.000 hingga 5.000 di seluruh Yogya (data Institut Studi Transportasi ‘INTRANS’ pada tahun 2000 mencatat angka 20.000).

Aturan pembatasan jam operasi becak sempat terbit lewat Perda No. 6 tahun 1987. Lantaran dianggap menjamur, waktu operasi becak-becak dikelompokkan ke dalam dua kelompok warna: merah dan putih. Becak-becak berwarna bodi merah hanya boleh beroperasi pada siang hari, sementara becak-becak putih hanya boleh beroperasi pada malam hari. Bengkel-bengkel pun sempat diatur untuk menghentikan produksi becak pada tahun-tahun itu, akan tetapi “Tidak, waktu itu kami tetap produksi,” kata Andi sambil tersenyum.

Kini pembatasan seperti itu tak diperlukan lagi. Populasi becak terus berkurang. Pemerintah kota telah mengambil langkah pelestarian dengan menetapkan becak sebagai ikon wisata popular kota Yogyakarta.

Blogger KurangPiknik dan jurnalis Reuters Dwi Oblo dalam tulisan feature mereka di majalah National Geographic edisi April 2008 menggambarkan, sewaktu Pangeran Akishino, putra kedua Kaisar Akihito mengunjungi wali kota Yogyakarta Herry Zudianto pada bulan Januari, ia dihadiahi cinderamata berupa syal batik dan miniatur becak dari besi. Bukti kebesaran citra becak sebagai bagian dari perjalanan budaya dua negara.

Modernisasi yang ditolak

Sebenarnya, sudah ada pihak-pihak yang secara konkret mengupayakan pelestarian becak sebagai moda transportasi. Hanya saja, tak serta-merta diterima para pelaku bisnis.

Pakar teknik Danang Parikesit, di bawah bendera Pusat Studi Transportasi dan Logistik (PUSTRAL) Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan INSTRAL pernah mewujurkan proyek yang diberi nama “Becak Modern”, pada 2000. Pengamat yang juga menjabat Ketua Masyarakat Transportasi Indoenesia ini meluncurkan proyek pilot becak modern dengan bobot lebih ringan, desain lebih ergonomis dan kapasitas muat yang diklaim sedikit lebih besar, model alternatif untuk non-motorized transport. Sekaligus ditujukan untuk misi perbaikan kualitas udara yang mulai disesaki gas buang kendaraan bermotor.

Waktu itu restu proyek “Becak Modern” datang langsung dari Wali Kota Herry Zudianto dengan pendanaan yang dibantu GTZ dari Jerman juga Toyota Foundation. Hanya saja, setelah berhasil membangun basis produksi di Berbah, Sleman dengan kapasitas produksi sebanyak 40 unit becak antara 2004 dan 2005, upaya itu tidak berlanjut. Selain karena kendala finansial, respon pasar ternyata tak seperti yang direncanakan.

Andi Setyawan rupanya sempat mengikuti proyek ini, namun pikirannya agak terganggu. Rancangan becak modern hanya direspon dingin oleh masyarakat. “Kebanyakan tukang becak lebih memilih desain yang lama. Identitasnya kan di situ,” terangnya. Menurutnya, akan sulit mengutak-atik becak yang lanjur berkarakter sebagai bagian dari budaya orang-orang Yogyakarta.

Dahar pun mengungkapkan pendapat senada. Sebagai tukang becak ia punya kedekatan hati dengan tunggangannya. “Becak saya ini sama dari sepuluh tahun yang lalu. Tidak pernah ganti, terlanjur nyambung.” Ia juga mengaku akan tetap menyetor uang sewa harian lima ribu rupiah kepada juragan asalkan tetap bisa mengayuh becaknya.

Demi kesempatan tiap hari menemui istri dan tiga anaknya di Bantul, Dahar mengaku tidak pernah menyesal sedetik pun berhenti sebagai awak truk ekspedisi Jawa-Sumatra dan kini hidup dari atas kendaraan roda tiga. Karena keyakinannya berbicara, bahwa becak memberikan jaminan rezeki tersendiri, kenikmatan yang tak bisa digambarkan dengan materi.

Para pemangku kepentingan (stakeholder) becak sebagai produk, dan instrumen budaya ini punya penilaian tersendiri soal bagaimana moda tradisional tiga roda tanpa mesin bisa bertahan di tengah gempuran teknologi transportasi canggih.

Cita-cita Setyawati dan Sinar Laut yang dulu hanya mencoba-coba peruntungan di Yogyakarta dengan bengkel perakitan dan persewaan becak jadi bagian penting dari sejarah becak, tentang moda transportasi yang kini jadi milik dunia. Mungkin memang benar di mata Andi anaknya kenangan itu tidak sehangat dulu lagi, di saat orang-orang memanggil “Becak!” untuk menuju kantor dan kegiatan seharian mereka.

Meskipun zaman kini telah berubah bagi becak, sepertinya akan selalu tersedia ruas-ruas di jalan di mana becak akan mendapat tempat mangkal, dijajar dengan cat khas nama hotel bintang lima, atau terpojok dengan pengayuhnya yang hanya sibuk mengisi kolom-kolom dan baris di buku Teka-teki Silang.

Demi modernisasi pariwisata kota, becak-becak di Yogyakarta kini harus rela dilabeli pelat khusus kuning bertuliskan YB (tanda resmi moda tidak bermotor, juga diterapkan pada andong). Para tukang becak tradisional senior harus bersaing dengan para pengayuh-pengayuh muda yang memodifikasi becak mereka dengan mesin-mesin Honda dan Yamaha, berebut penumpang antara penggila foto wisata dan perindu nostalgia.

Di saat roda bisnis secara nyata mengubah wajah dan tatanan kehidupan kota, orang-orang seperti Andi Setyawan berharap bahwa kenangan becak tidak akan hilang dari ingatan orang-orang, meski dirinya sendiri lebih bergantung pada pesanan gerbang-gerbang besi kantor dan tiang-tiang ayunan. Dan bagi orang-orang ulet seperti Dahar, saya belajar bahwa kecintaan pada sesuatu sebetulnya menciptakan ikatan pikiran dan jiwa yang kuat dan bertahan dalam waktu yang lama. Seperti nasibnya yang bergantung pada si roda tiga.

Di banyak sudut sunyi kota Yogyakarta, becak menikmati lembar-lembar sejarahnya sendiri. Menyaksikan tumbuh-kembang kota dengan polesan citranya yang beraneka-warna. Mengharap kehidupan baru dari geliat bisnis yang lebih mandiri dan diterima modernisasi. Meskipun Andi berkata tegas bahwa becak tidak akan pernah hilang dari peradaban Yogyakarta sampai kapanpun, itu tak selalu berarti masa kejayaan itu akan kembali. Becak yang dulu lahir sebagai bahasa cinta kini lebih banyak diam. Menyaksikan manusia mengubah hidupnya perlahan-lahan. [afs]

Becak (bahasa Hokkien: be chia = kereta kuda) dipercaya lahir di Jepang sekitar tahun 1769, ketika seorang pemuda misionaris Amerika Serikat di Jepang bernama Jonathan Scobie berniat menciptakan alat bantu berjalan bagi istrinya yang cacat (versi paling akurat dibandingkan beberapa teori lain).

Dalam perkembangannya moda ini disebut sedan-chair (becak tandu) atau pull-rickshaw (becak tarik), yang dalam bahasa Jepang disebut jinrikisha. Becak kemudian sampai ke telinga bangsawan di Cina dan jadi primadona sampai 1870-an. Di Indonesia, Batavia tercatat sebagai kota pertama tempat kemunculan becak pada 1936, sekaligus kota pertama yang melarang becak pada 1988. Yogyakarta kini jadi kota dengan populasi becak terbesar di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun