[caption id="attachment_147547" align="aligncenter" width="260" caption="Ilustrasi (spekham.org)"][/caption] Aku mengenalmu sebagai lapisan jiwa dan raga yang bernas. Cukup kokoh untuk digoyang angin kejenuhan pikiran, cukup tegak untuk dimiringkan oleh gunjingan yang tak jelas pangkal-ujungnya. Lalu saat semua suara membelalak pekak mengatakan "lupakan saja niatmu itu", kau malah melaju. Melawan satu ejekan dengan dua senyuman. Mengalikan 100 kritik hingga menjadi 200 semangat. Sigma, semacam itulah nilai kebesaran hati yang kau tunjukkan ketika kata demi kata tertulis di selemar kertas di atas mejamu. Lafal sederhana untuk membuka kunci-kunci enigma. Tak banyak yang kau lakukan di Minggu malam. Perapian hanya penghangat yang sebetulnya tidak perlu. Pikiranmu mengalirkan darah yang cukup untuk membuat seluruh mekanisme fisik menghangatkan perasaan yang mendalam tentang kejadian-kejadian yang menginspirasi manusia. Kau melukiskan kesedihan dengan noktah-noktah melengkung kemudian menyatukannya dengan coretan berbentuk hati. Kau melukiskan kesenangan dengan warna-warni kata yang berujung pada seru kesabaran dan kerendahan hati. Begitu saja dan berulang. Kekuatanmu cukup untuk menghangatkan angin malam dan menyejukkan angin siang. Saat Senin menjelang, kau bangun dengan dua tangan terkepal dan tertuju ke udara, lalu pintu-pintu kebesaran jiwa terbuka bersamaan detik itu juga. Kau mencatat dengan saksama tanggal lahirku, dan menyandingkannya rapat dengan tanggal lahirmu di angka 18. Angka yang sama dengan urutan fonem Sigma yang melipatkan mengikat nilai 200. Serasa satu tak cukup, kau melipatgandakan persentase kesempurnaan menjadi dua kali lipatnya, lalu kau buatkan ornamen dari kerang dan kau gantung tinggi-tinggi agar warga sebuah peradaban belajar darinya. ... bahwa hidup itu harus dipelajari, dan dari pelajaran hidup kita menjadi dua kali lebih kuat. Itu kalimatmu yang paling kuingat. Hingga sekarang pun, saat aku menuliskan surat pertama setelah aku bisa melihat dunia dengan semua ketelanjangannya yang jujur, kalimat itu berdengung di telingaku. Merdu. Seperti nada-nada yang menghitung urutannya sendiri, berbunyi seperti lembutnya bunyi harpa yang hanyut bersama angin Padang Arafah. Aku ingin memandangmu malam ini, dengan sebuah kertas putih untuk kita tuliskan ayat-ayat di atasnya. Kimia kita sudah saling terkait, dan apa yang kita tuliskan malam ini akan meleburkan persinggungan dalam setiap rangkaiannya, sehingga tak satupun celah yang tak bisa kita ukur masalahnya. Sigma cinta hanyalah simbol, tapi keterpaduan rasa dan niat adalah bekal bagi takdir. Berdirilah lebih tegap, bukalah tanganmu lebih lebar, hingga suatu hari di kala senja aku bisa mengimbangi langkahmu dan merapatkan diri kita dalam pelukan yang tak dapat dihitung dengan matematika. Tetaplah besar. Sigma.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H