Sejauh ini ada banyak sisi kontroversial dari kebijakan Dirjen Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mewajibkan mahasiswa program S-1 memublikasikan tulisannya di jurnal ilmiah. Bukan hanya karena dijadikan syarat kelulusan, tetapi ada banyak hal teknis yang dikritik terkait kebijakan yang telah disahkan melalui Surat Edaran Nomor 152/E/T/2012 tertanggal 27 Januari lalu. Satu hal yang belum tersentuh sepertinya adalah, siapkah mahasiswa dengan bahasa publikasi jurnal ilmiah?
Bahasa Jurnal Ilmiah memiliki standar baku tertentu. Selain validitas penelitian dan penuturan teori yang didasarkan pada bidang ilmu terpercaya, penyajian tulisan dalam struktur baku juga harus diserta penggunaan bahasa tulis yang baik. Jika Bahasa Indonesia ditulis dengan struktur Ejaan Yang Disempurnakan atau pedoman penulisan karta tulis ilmiah, bahasa asing semisal Bahasa Inggris juga tentunya tidak boleh asal tulis.
Apakah ini sudah diantisipasi DIKTI? Masalahnya, harus diakui bahwa hingga saat ini mahasiswa/i di Indonesia selalu terbentur di masalah penulisan karya ilmiah terkait penggunaan bahasa. Bahasa Indonesia yang dijadikan bahasa pokok hampir semua skripsi di Indonesia tentunya memerlukan pendekatan standar penulisan yang tepat, bukan sekadar memuat opini atau menekankan teori secara terlalu "pintar" namun susah dipahami. Esensi publikasi tentunya komuniasi yang baik kepada masyarakat. Dengan kemampuan tulis bahasa jurnal yang baik pulalah, kebijakan DIKTI yang terlanjur disahkan ini harus disiasati oleh setiap universitas.
Faktanya, baik bahasa tulis ataupun bahasa verbal mahasiswa masih jauh dari standar yang baik. Ridha Mashudi Wibowo, dosen Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Seni dan Budaya UGM pernah menyebutkan, dari semua skripsi mahasiswa di UGM, hanya kurang dari 25% yang terindikasi penyusunnya mampu menulis karya ilmiah dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Selebihnya, adalah "asal tulis" dan "asal kopi" yang sering membuat dosen-dosen pembimbing kelabakan mengoreksi. Kebanyakan mahasiswa belum bisa membedakan mana kata depan dan mana imbuhan, salah menempatkan tanda baca, atau penuliskan istilah-istilah asing. Ironisnya, sejauh ini fenomena itu seakan dihadapi dengan tenang. Nah, bagaimana dengan kewajiban jurnal ilmiah terpublikasi mulai Agustus tahun ini?
Memang, melakukan pengembangan daya riset mahasiswa dan dalih antisipasi plagiasi bisa dibilang tepat sasaran oleh kebiijakan publikasi ilmiah ini. Daya saing jelas terdorong lebih tinggi. Yang perlu dipersiapkan DIKTI sepertinya adalah asistensi ke setiap universitas di Indonesia, negeri ataupun swasta, agar nilai-nilai tambah publikasi jurnal ilmiah ini bisa dimengerti mahasiswa, termasuk kemauan tinggi menulis dengan bahasa yang lebih baik. Akan sangat disayangkan jika nantinya puluhan ribu jurnal ilmiah terpublikasi tapi tak sampai separuh dari semua jurnal itu ditulis dengan Bahasa Indonesia yang baik. Konsumsi jurnal ilmiah nantinya tentu tidak terbatas di lingkup wilayah pendidikan Indonesia, bukan?
Memang kontroversi kebijakan publikasi jurnal ilmiah yang dikeluarkan DIKTI ini akan terus dipertanyakan, kalau nanti saat berjalan tidak menunjukkan progresivitas, terutama dalam hal kualitas akademik dan komunikasi tulis mahasiswanya. Kalaupun plagiasi bisa ditekan, itu adalah langkah awal untuk menelurkan penulis-penulis riset yang sesuatu tujuan kampusnya sebagai kampus riset. Jika Rektor Universitas Islam Indonesia Edy Suandi Hamid mengatakan bahwa prasarana pendidikan kita belum seimbang dengan penawaran jurnal ilmiah yang nanti akan membludak, sehingga tidak harus jadi syarat kelulusan, di satu pihak lain seharusnya bisa mengkritisi dari hal-hal yang lebih mikro, lebih dirasakan mahasiswa, dan lebih realistis. Bahwa, patut dipertanyakan, Siapkah mahasiswa/i Indonesia dengan bahasa jurnal ilmiah yang siap disebar ke publik?
Afandi Sido, Mahasiswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H