Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Rinjani

10 November 2013   08:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:22 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

*

Lima hari Rinjani menunggui padi.

meyakinkan para pekerja ladang bahwa mereka masih bisa bermimpi.

Rasanya biasa saja hari ini,

sampai sesuatu yang tidak mengenakkan terjadi.

Kegamangannya memuncak

mendengar berita pagi-pagi.

*

Pembawa acara wanita mirip dengan sang bibi

merapal bahasa yang sulit dipahami.

Panas berkecamuk di dada Rinjani

paham maksud dan coba mengerti.

Biasanya ia abai terhadap berita di televisi

tapi tidak kali ini.

Produksi beras dan bahan pangan utama dicurigai

Hitung wal hitung cara pejabat, negara akan rugi.

“Ini beda dengan impor daging sapi,”

Begitu kata Pak Menteri.

“Maka beras harus kita carikan bahan makanan pengganti.

yang tak bisa kita tolerir lagi.”

Begitu kata Pak Menteri.

Panas berkecamuk di dada Rinjani.

Ia baru saja meyakinkan para petani.

Bahwa beras jadi jalan membangun mimpi.

Tangannya dilipat, giginya gemelutuk

Kemudian pagi-pagi berlari pergi

Di balai kota ia menagih janji.

*

“Dari nenek kami makan beras

bapak-ibu kami makan beras.

Bahkan bapak-ibumu juga makan tinggalkan beras.

Kalian besar dengan beras.

Bagaimana kamu ringan saja mengganti nasi.

Yang sudah menghidupi puluhan generasi?”

Ke udara kepalan tangan Rinjani.

Tiga staf kantor situ tertawa-tawa sendiri

seperti menikmati pertunjukan tari.

*

Memang demikian.

Tujuh tahun lamanya Rinjani merasa menari-nari sendiri.

Meyakinkan dengan hitung-hitungannya sendiri.

Ia memeta sawah, meramal bangunan modern berdiri.

Ia yakin jika tidak dipahami,

Sawah akan habis dikebiri.

Digubah dan digusur tanpa arti.

“Mau makan apa kita nanti?”

Demi hitung-hitungan soal ini,

Rinjani tinggalkan tawaran banyak direksi.

Ia punya sesuatu yang lebih dari janji,

mungkin juga terpercik dari mimpi.

*

Katanya singkong dan kentang akan jadi pengganti.

Tak setujulah Rinjani soal ini.

Bukan saja karena ia ingat soal cita-cita Agrari.

Yang dibawa popular seorang apriori.

Ada satu paham milik Rinjani

Yang orang lain sulit mengerti.

Nasi, beras itu lebih dari sekadar konsumsi

Di luar persoalan materi atau kalkulasi.

Beras dan nasi adalah pembangun masyarakat madani.

Bahan pokok yang hidupi budaya abadi

“Alasan kenapa dulu kita disegani.”

Nilai rohani kadung terpatri

bahwa nasi adalah pembangun nurani.

*

Takutlah Rinjani

membayangkan semuanya tinggal mimpi.

Jengkal-jengkal tanah ditumbuhi yang tak pasti.

atau digusur untuk toko televisi.

untuk hal-hal yang ia benci.

Di banyak balai Rinjani tak menghujat menteri.

Pun ia menyambut yang mengubah nasibnya sendiri.

Banyak kekayaan ia syukuri

Cuma ia ingin sesuatu dipertahankan sebagai kekayaan madani

Yang dipungut meski sebiji.

Sakral nilai sebutir nasi.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun