Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Philip, O... Philip

4 Agustus 2014   15:57 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:28 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*

Di masa lalu, Philip Asharyu tidak membenci dirinya sendiri. Dia seorang Katolik yang taat, hidup dari kebun stroberi yang tidak begitu subur, dan rukun dengan tetangga-tetangganya. Pada pagi hari ia berdagang balon gas dan es lilin untuk anak-anak sekolah di sepanjang Embung Kwangen, sementara sorenya ia menjagai gerai korek api di sudut utara Pasar Bunder. Meski tinggal sendiri, ia tidak kelihatan kurang sedikit apapun. Tidak ada yang mengungkit-ungkit ataupun memrotes asal-usulnya. Seorang rekan pedagang pernah  menyaksikannya bertutur, “Urip mung mampir ngguyu,” meniru gaya pelawak Butet Kertaredjasa yang lewat radio malam menjadi pengantar tidurnya. Sederhananya, Philip mencoba jadi satu di antara manusia yang mencoba mengakrabkan diri dengan keasingan. Ia diterima, meski rona namanya asing bak pengungsi Kaukasia.

Tetapi, keagungan hidup di masa lalu yang biasa tak selalu mengirim angin baik ke masa kini….

“Philip Seymour…!” Suara gemerisik lewat corong TOA itu terhenti sejenak, mendesing tipis, sebelum muncul kembali dengan ralat. “Eh!? Ng… Philip Asharyu…. Menyerahlah. Anda sudah terkepung! Menyerahlah….”

Mobil bertulis Highway Patrol Kepolisian Resor Semarang berkeliling pelan di seputar Gereja Blendhuk, berputar ke utara melewati toko Praoe Lajar kawasan Pecinan sebelum akhirnya melewati kolam polder yang berbatasan langsung dengan stasiun Tawang. Kelapkelip lampu biru dari atap sedan itu menyeka dinding-dinding bangunan zaman kolonial yang kini kebanyakan berlogo bank.

“Philip, O, Philip! Lebih baik Anda menyerah…, daripada…”

Suara itu tidak begitu jelas kelanjutannya. Gang sempit di jalan cekung di belakang gedung arsip memantul-mantulkan bunyi tapak kaki cepat yang tergesa-gesa. Philip berusaha mengatur napasnya, menyeka keringat di keningnya yang kebanyakan sudah jatuh ke kerah bajunya. Tikus-tikus melompat dan bercicitan saat kaleng-kaleng berjatuhan dari sandarannya. Laki-laki itu lupa kapan terakhir kali ia menyerahkan diri ke dalam kegelapan. Kilatan cahaya menakutkannya. Kelap-kelip biru itu kin melewati bagian atas kepalanya saat ia berhasil berjongkok di balik sebuah jendela warung yang ditinggalkan. Philip melihat jam tangannya, pukul 23.11. Kerongkongannya kering, tapi tak ada sedikitpun air di warung itu yang bisa membantunya. Ia melihat sekeliling, dan berusaha mengatur pikirannya. Saat tangis bayi itu terdengar mulai keras, ia menunduk, menaruh ujung telunjuknya ke bibir bayi itu, dan menenangkan.

“Sssh… Sssh… Diam dong, Nak. Sssh…”

Bayi itu lebih  haus dari dirinya sendiri. Selimut hitam-putih tipis tidak melindunginya dari hawa dingin yang kering. Philip merasa dirinya telah terpojok. Sementara cahaya biru-biru itu tidak kunjung menghilang di luar sana, kini ia mendenar bunyi langkah belasan, bahkan puluhan sepatu laras memantul-mantul di dinding gedung di luar sana. Air terpercik dan tikus-tikus berlompatan sekali lagi.

Di bagian lain kawasan itu, di atas jembatan Berok, langkah tertatih-tatih perempuan itu terhenti. Ia kecapekan, dan berusaha mengatur napasnya sendiri. Motor-motor ojek dan beberapa mobil diesel memaksana menyepi, sementara orang-orang tua dan beberapa penjaja seks yang mangkal di tepian mulai mendekatinya. Ia mengangguk dan berkata “saya tidak apa-apa” kemudian melangkah lagi. Tangannya bertumpu pada pipa pegangan, sementara kepalanya mulai pusing.

Langit semakin gelap dan awan menggulung-gulung membawa badai. Perempuan itu melihat ujung roknya yang basah, mengatur napas, dan sekilas melihat ujung liontinnya menggantung-gantung berkilau. Cahaya biru dari mobil polisi di kejauhan memancarkan kemilau yang tak biasa dari emas berbentuk matahari. Perempuan itu tak kuasa menitikkan air mata. Pikirannya terus-terus memanggil gambar-gambar kenangan yang begitu indah, taman rumput yang tertiup angin, dan suara tawa yang pecah. Ia seperti masih berada di sebuah rumah kecil di Sosrowijayan, teduh tersembunyi di belakang riuhnya Jalan Malioboro. Di sana ia memajang lonceng angin kecil berbentuk rumah burung, menggantungnya di atap serambinya. Berjajar dengan bebunyian itu ada anggrek ungu, putih, tanaman rambat yang menyerupai rambut gimbal, dan mainan genderang berpegangan yang pemukulnya berbentuk biji plastik yang terikat.

Ia ingat bagaimana bunyi mainan itu. Merdu di bawah terpaan matahari sore. Digenggam dengan dua telapak tangan kemudian diputar dengan gesekan ke arah berlawanan. Bola-bolanya mengikuti gaya putar kemudian terhempas menabrak kulit sintetis di permukaan bulatan. Dung Dung Dung! Bunyinya seperti panggilan doa. Seperti keriangan yang usil, dan kebahagiaan yang tak mau berhenti. Di banyak sore hari perempuan ini memainkan mainannya, sementara di menit-menit lain ia mengelus-ngelus perutnya yang mengandung benih cinta. Ia duduk di sebuah kursi malas yang menghadap ke gang, dan menunggu pintu di belakangnya dibuka. Ia merindukan dari pintu itu keluar sosok tegar, bermata kecil dan berhidung tegak, yang mendekatinya dari belakang kemudian merangkulnya. Melindunginya dari paparan sinar matahari yang silau atau sekadar membisikinya soal menu makan malam.

Genderang kecil itu berbunyi sekali lagi, saat perempuan itu sadar dari lamunan singkatnya. Suara bayi terdengar dari jauh, membawa kakinya berlari kembali.

Perempuan itu melewati gereja, tiga-empat gedung bank, mengabaikan teriakan orang-orang yang memintanya berhati-hati, bahkan mengabaikan instruksi petugas polisi yang memintanya berhenti. Dua mobil patroli itu sudah berhenti di tepi jalan dan empat petugas berjaket hitam turun dari sana sembari mengokang Glock 70 buatan Amerika yang nampaknya terlalu berat.

“Nona, tolong menyingkir,” ujar polisi yang tiba-tiba menarik belakang baju perempuan itu, menghentikan lajunya.

Suara bayi yang menangis itu semakin terdengar jelas dari dalam gang gelap. Ruang sempit di antara dua gedung bank itu sudah dikepung di dua ujungnya, dengan dua mobil patroli berbeda. Tiga orang petugas bersenapan serbu melangkah keluar, melaporkan kerusakan radio komunikasi.

“Ada warung kecil, Pak. Kemungkinan di pojok selatan. Kami khawatir ada jebakan, jadi…”

“Di mana yang lainnya?” tanya perwira berjaket hitam.

“Tim India masih di dalam, perimeternya dua puluh meter, kami rasa sudah steril.”

“Sudah steril? Lalu kenapa kalian masih di sini? Kembali ke dalam sana, dan amankan!” Perwira itu membentak anak buahnya yang tanpa kata lalu menghilang kembali ke dalam gang.

“Nona, Siapa nama Anda?” tanya perwira itu membalik badan kepada perempuan yang terengah-engah dan mulai menangis di dekatnya. Tak kuasa melawan kuatnya dua lengan polisi, perempuan itu hanya pasrah.

“Rianti….”

“Nona, Eh maaf, Ibu… Rianti. Sekarang ini semua wilayah di sini sudah ditutup untuk umum, berbahaya. Kami minta ibu menyingkir dulu. Sersan Bayu dan Sersan Suseno akan mengantar ibu ke mobil di dekat kolam sana, tidak apa-apa, kan?”

“Pak, wanita ini saksi,” ujar seorang anak buah lainnya memberitahu perwira itu.

“Oh ya? Lalu kenapa masih di sini? Amankan dia!”

“Tapi, Pak. Saya mohon…. Saya perlu ketemu sebentar saja…” Perempuan itu memohon.

“Sudah, turuti saja! Semua ini tidak aman, bahkan bagi kami. Gus, ayo!”

Perempuan bernama Rianti kemudian diseret dengan kasar oleh dua sersan ke sedan yang masih memancarkan kilau biru berputar-putar. Dera-derap langkah mulai memasuki gang sempit di antara Bank May dan Mandiri di sisi timur jalan, sementara orang-orang di kejauhan mulai bangun dari tidur mereka, bergabung dengan belasan pekerja seks dan tunawisma yang menganggap kejadian ini tak lebih dari pertunjukan hiburan. Bahkan beberapa pengendara mobil mewah sengaja menepi dan mengeluarkan kamera-kamera ponsel pintar mereka. Bagaimanapun rekaman semacam ini bisa dijual mahal.

Di dalam gang, petugas berseragam pelindung lengkap itu mengarahkan senapan serbunya dengan fokus. Langkahnya pelan dan nyaris tak berbunyi di atas bidang batako gang yang lembab. Cahaya terang dan tajam lewat lampu senter di dikedip-kedipkan seperti kode, sementara jari-jari mereka saling berkomunikasi. Tiga petugas lain menyusuri dinding selatan sementara seorang ketua regu mulai menepi di dekat pintu besi tua. Bunyi bulir-bulir air mulai terdengar ketika akhirnya mereka hening. Keringat menetes dari balik penutup hidung pasukan detasemen khusus Anti-Perdagangan Manusia itu, ketenangan mereka berusaha menguasai situasi.

Suara bayi masih terdengar, sementara sekilas “Ssh… sshh….” Bisa mengonfirmasi bahwa sasaran berhasil dikuasai.

“Philip…?” Ketua regu memanggil tersangka.

“Philip? Menyerahlah. Serahkan bayi itu. Keluarlah dengan tangan di belakang kepala. Kami tidak akan menyakitimu, atau bayi itu. Kami ingin semuanya selamat, kan? Philip?”

Pesawat berbadan merah terbang rendah melintasi kawasan itu, bertepatan dengan Ketua Tim penggerebek mengeluarkan instruksi “Dobrak!” Bunyi deru pesawat terdengar begitu lama, hingga akhirnya pendobrakan itu tertunda satu atau dua detik. Bruk!

Besi-baja berderit, klepnya dan engselnya yang berkarat telah terlepas, kemudian jatuh berdebum ke arah dalam, terhempas di lantai berdebu. Tiga petugas polisi yang bertugas melakukan penggerebekan pertama kali menyangka mereka telah mengendalikan ruangan itu, akan tetapi tak menyangka serangan tiba-tiba itu datang. Bunyi berdesing hebat kembali terdengar, sebelum akhirnya tiga kaleng soda terhempas dan mengenai helm dan wajah mereka, menghantam dada dengan keras. Tembakan burst terlepas tanpa sengaja dan memaksa ketua tim berteriak-teriak.

“Tahan tembakan! Tahan!”

“Gunakan sentermu, bodoh!” Ketua tim itu menghardik anak buahnya yang mengerang kesakitan di lantai sementara ia mencabut senter dari sakunya. Saat melihat sekeliling dan tidak menemukan apapun, ia menyadari bahwa sasarannya telah lolos. Ia bahkan melihat uap keluar dari sebuah pipa di dekat dinding dan langsung membelalak.

Belasan petugas serbu itu berlarian keluar dari gang sambil berteriak-teriak. “Awas ledakan!”

Sementara belum habis pikir dengan kekacauan yang terjadi, Kapten Polisi Pierre Suryadi langsung memasukkan pistolnya ke sarung dan berlari ke arah mobil. Akan tetapi belum sempat ia melompat ke dalam, pintu mobil itu sudah terbuka. Perempuan bernama Rianti menghambur keluar dan kabur, berlari melewati taman Blendhuk kemudian mengarah kembali ke jembatan. Tiga petugas mengejarnya mati-matian tapi sepertinya perempuan itu lebih menguasai jalanan dengan kakinya yang kini tanpa alas.

“Tidak ada ledakan. Sialan, tidak ada ledakan!” Kapten Pierre mengumpat-ngumpat di dalam mobilnya ketika akhirnya menyadari bahwa anak buahnya baru saja dibodohi.

Perempuan itu berlari menanjak hingga akhirnya berhenti di ujung jalan. Pistol kini tergenggam di tangannya, mengarah langsung ke punggung seseorang di bawah kegelapan, di tengah jembatan.

“Berhenti, Philip.”

Ketiga petugas polisi yang melakukan pengejaran akhirnya menyerah dengan perempuan itu. “Nona, hentikan. Pistol itu aktif, berbahaya.” Mereka meminta dengan panik.

“Philip…” kata perempuan itu. Badannya kini lebih tegak meski basah karena keringat. Baju terusan dan rok yang lunglai melebar di pertengahan betisnya seperti membawanya dari mimpi buruk yang melelahkan, hingga akhirnya ia muak dan ingin menyelesaikan semuanya.

Pistol Glock 70 itu bergetar-getar, sementara perempuan itu berusaha mengendalikan diri. “Kumohon, Philip. Akhiri semua ini. Pulanglah. Aku akan memaafkan semuanya.” Air mata pecah di ujung pipinya.

Di tengah jembatan, laki-laki itu menyungging. Pelukannya masih mendekap bayi dengan selimut tipis, yang kini malah nampak tenang dan tak bersuara. Bola-bola halus yang menyelimuti telapak dua telapak tangannya juga menghiburnya dengan lucu. Philip menikmati momen singkat itu, kemudian menatap dalam-dalam ke langit.

“Semuanya sudah terlambat, Ana. Aku sudah melakukan semuanya. Tidak ada jalan untuk kembali.”

“Selalu ada!” kata perempuan itu. Mengabaikan permintaan petugas polisi yang mengantisipasi letusan tidak diinginkan.

“Kamu selalu bicara bahwa masa depan kita mungkin  masih bisa diperbaik. Kamu selalu kasih tahu bahwa aku bisa memperbaiki hidup  bahkan setelah bertahun-tahun jadi sampah masyarakat. Kamu datang dari sebuah masa lalu yang pahit, aku bisa memahami itu, Philip. Tapi aku juga tahu bahwa kamu bisa berubah, seperti aku. Kamu telah menyaksikan kehidupanku berubah dan hidupku berlanjut. Bahkan aku melahirkan Game sementara mungkin aku sudah bunuh diri waktu itu. Sekarang setalah semuanya, kamu masih ada harapan.” Perempuan itu tak kuasa menahan tangisnya. Pandangannya mulai kabur karena air mata.

“Menyerahlah, Philip. Serahkan dirimu. Dan mungkin kita masih bisa hidup bersama.”

“Tidak ada itu hidup bersama, Ana!” Laki-laki di jembatan itu tiba-tiba membalik badan. “Tiga tahun belakangan adalah masa di mana aku dipertontonkan bahwa kekejaman manusia justru tersembunyi di balik senyum-senyuman ramah mereka. Aku ditunjukkan bahwa tidak ada semacam ampunan bagi orang yang sudah dicap datang dari masa lalu yang kelam. Tidak ada… apalagi kehidupan lebih  baik! Cih! Aku sudah muak dengan semua itu.” Ia lalu tertawa perih.

“Aku membantumu keluar dari masa pahit pekerjaan semata-mata karena aku punya peluang untuk mendapatkan perhatian masyarakat. Tapi toh itu tidak terjadi. Hubungan kita yang terjalin tanpa kusadari ternyata tidak begitu membuatku merasa ditemani. Aku menghargaimu sebagai perempuan yang mencinta, tapi aku menyerah dengan penghakiman orang-orang bahwa kejahatan yang tertanam di diri manusia tidak bisa dihilangkan hanya dengan kasih sayang kecil yang tidak begitu tulus.”

“O, Philip….”

“Kembalilah ke suamimu, Ana. Kurasa dia punya lebih banyak yang kamu butuhkan daripada hal-hal yang belum bisa kusebutkan. Bagaimanapun aku bukan malaikat, dan sekarang pun aku sama sekali tidak merasakan rasa bersalah. Diriku hancur sejak awal, dan masa indah singkat kita hanya pengingat bagi yang lain, bahwa secuil apapun itu, masa lalu baik seseorang haruslah tetap dipertimbangkan. Selamat tinggal.”

Pistol meletus.

Gulungan bayi itu terlempar ke udara. Angin berhembus dan bulir-bulir air terjatuh dari ujung daun. Langit seperti menaungi semua kisah manusia yang antah-berantah, kemudian melindungi bagian-bagian baik dari hati manusia. Yang diperlukan hanya menyerah pada kebaikan, dan membiarkan kejahatan bosan dengan kelakuannya sendiri. Kelelahan hati perempuan itu melemaskan sekujur tubuhnya, ia lunglai dan terjatuh. Ia baru saja menyadari bahwa mungkin juga kejahatan tak pernah menyerah. Meninggalkan hati seseorang yang menyentuh batas, tetapi kemudian menghinggapi hati seorang lain yang menemui ujung kesabarannya. Ia merasa telah dirasuki setan, sementara sisi baiknya merintih dalam kesakitan yang mungkin jadi hukuman bagi Philip.

Tapi langit tidak pernah berdusta tentang wajah takdir manusia. Matahari dan hujan tetap datang tanpa diminta. Liontin itu berkilau dengan sendirinya, sementara hujan mulai turun membasahi jembatan.

Philip Asharyu terhempas ke pipa pembatas jembatan ketika peluru melesat tepat di samping daun telinganya, melaju kencang sebelum bersarang di dinding tua, seratus meter di belakang sana. Sepersekian detik yang lalu ia sudah menutup mata dan merasa sudah menduduki batu panas di neraka. Ia bahkan sudah tersenyum pertanda gugurnya kebaikan pada dirinya dan pelukan iblis yang membungkam mulutnya. Akan tetapi hempasan kuat mendorongnya ke sisi yang lain, oleh sesosok badan besar yang ia tak pahami datang dari arah mana. Bayi itu ditangkap dengan gesit oleh seorang asing lain yang tiba-tiba melintas, sementara polisi-polisi mulai mendekat.

Perempuan itu terkesiap dan membuka matanya. Melihat Philip selamat, ia tak kuasa menahan air mata. Hanya saja, sepertinya kejahatan tak bertahan lama menghadapi batinnya, memental karena kekuatan cinta yang terbalut liontin matahari. Pistol itu kini dipungut oleh Kapten Pierre sementara petugas lain memapahnya berdiri. Ia dibawakan bayinya oleh orang asing dari jembatan sementara polisi lain memberinya selimut.

“Bayi Anda selamat,” kata orang asing itu. “Dan tersangkanya, Kapten… silakan.”

Bunyi sirene sudah menghilang sementara terganti oleh panggilan-panggilan saling sahut dari radio di dasbor. Kilau-kilau biru menjauh, sementara perempuan itu kehilangan apa yang dicarinya. Philip telah diborgol dan dibawa pergi entah ke mana. Tapi mungkin nasib memberinya kesempatan.

*

-----------------

Kisah ini fiksi, dan merupakan ringkasan untuk sebuah naskah panjang. Jika teman-teman berkenan, saya memerlukan masukan JUDUL YANG COCOK untuk naskah panjang berdasarkan cerita ini. Saya bikin ceritanya sedikit membingungkan dan mungkin terkesan dipotong-potong, biar nantinya teman-teman menggambarkannya dengan versi sudut pandang sendiri-sendiri. Dan berimajinasi untuk perkembangan ataupun latar kejadian di cerita ini.

Kata-kata kunci untuk Alur ceritanya kira-kira begini: MASA LALU, LIONTIN MATAHARI, PHILIP ASHARYU, LOKALISASI PASAR KEMBANG, TERORISME, PERDAGANGAN ANAK, dan CINTA KASIH SEORANG IBU.

Silakan teman-teman kirimkan masukannya lewat komentar di bawah, ataupun pesan/inbox. Saya tunggu sampai 10 Agustus 2014.

Terima kasih, salam Fiksiana. -FS

--------------------

Ilustrasi: TRILOCK ON, Intan Oktaviani/intanoktavianiku.blogspot.com.

*

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun