Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pesan-pesan dari Perbatasan (3)

10 April 2011   15:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:56 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (3.bp.blogspot.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="660" caption="Ilustrasi (3.bp.blogspot.com)"][/caption] CERITA SEBELUMNYA ____________________________________________ 29 April 2011 pukul 09:50 Matahari mulai menghangat. Cahaya keemasannya jatuh miring menyapu sebagian lantai terminal kedatangan Bandara Soekarno-Hatta. Lantai kemerahan itu nampak mengoranye, terhentak-hentak oleh ratusan pasang kaki yang berlalu lalang di atasnya. Sepasang sepatu kulit hitam mengkilap nampak berjalan dengan sangat tegas tapi ringan. Segaris roda-roda kecil mengikuti kemana arah langkah kaki itu. Terseret, roda-roda itu berputar begitu anggun. Kacamata hitam Ardi nampak masih bertengger rapat melindungi matanya dari pantulan cahaya matahari dari lantai. Permen karet sesekali mengintip dari sela bibirnya, sebelum terisap lagi, terkunyah lagi. Ardi selalu berpenampilan begini setelah tiba dari Yogyakarta. Koper kecil dengan pin bertuliskan "SAYA TIDAK KORUPSI" ikut tertempel di koper kecil beroda yang ia bawa setiap kali keluar kota. Hari ini, ia memutuskan untuk menetap sementara di Jakarta, tidak lain guna memuluskan dukungan bagi misi Satria, sahabat yang ia percayakan atas sesuatu yang tak pernah ia pikirkan untuk dipercayakan kepada orang lain. "Ardi!?" terdengar namanya diteriakkan, Ardi berhenti sejenak, menjulurkan leher lebih tinggi, lalu menunduk sehingga matanya bisa melihat langsung melewati bingkai atas kacamata hitam yang bertengger di hidungnya. "Dea. Kamu ngga bilang kalau mau jemput aku di sini." Ardi menyapa gadis pujaannya saat sudah tiba di lobi penjemputan penumpang. Ditegakkannya koper di lantai sehingga tidak harus dipegang, lalu tangan kanannya menjabat tangan Dea dengan santun. Ardi terbiasa berkomunikasi dengan orang-orang penting, jadi ia menghafal semua teori afirmasi dalam percakapan yang mendekatkan. Bahkan hingga sekarang mulai dekatpun, ia  belum pernah menyentuh Dea tanpa meminta izin terlebih dahulu. "Aku sudah liat televisi. Menurut kamu ngga apa-apa sama orang kementerian itu?" Dea bertanya saat keduanya sudah di dalam mobil yang melaju ke tengah kota. "Tetap aja itu bakal jadi masalah, tapi aku nggak mungkin berjanji sejauh ini tapi tidak berbuat apa-apa untuk Satria di Kahuliyat." "Pak Puji mungkin masih bisa kuatasi buat sementara waktu, tapi kuatir dengan staf-staf lain di dirjen yang menaruh sentimen antipati ke aku. Bagaimanapun, aku harus nyiapin strategi cadangan kalau sewaktu-waktu proposalnya tidak ditanggapi." Ardi berusaha menjelaskan masalahnya ke wanita yang dicintainya itu. "Kita, Ardi." kata Dea sambil memandang Ardi sejenak, padahal ia sedang mengemudi. Seringnya Ardi menggunakan kata "aku" dalam menceritakan masalahnya nampaknya sudah membuat Dea kurang nyaman. Ardi nampak sedikit terkejut dengan keterbukaan perasaan Dea. "Ya. Kita." "Well, aku belum tahu kamu sedalam itu. Tapi ku yakin saat ini kau tak akan kuat menghadapi mereka, jadi kalau bukan aku, siapa lagi yang nemenin kamu? Dea tersenyum, lalu kembali melihat jalan di depan. Suasana semacam ini sungguh bukan kesukaan Ardi. Kata-kata indah, lalu terdiam. Terlalu banyak makna, atau justru belum ada makna. Ardi menyandarkan punggungnya ke jok, memandang lurus ke depan, lalu tersenyum. Senyuman yang mengandung seratus arti. "Aku sudah menghubungi salah satu stasiun teve. Mereka meminta kamu wawancara langsung besok jam 8." kata Dea memecah keheningan. "Hah?" Ardi terkejut. "Besok siang?" "Ya. Menurut aku karena kamu sudah  bertindak sejauh ini, maka langkah strategisnya harus segera dimulai. Kamu nggak mau Satria menunggu terlalu lama kan?" Ardi mengerti maksud Dea. Ia pun merasa ini adalah hal terbaik saat ini yang bisa ia lakukan bagi Desa Kahuliyat, dan sahabatnya di sana. Sahabatnya yang sedang sakit tanpa ia ketahui. "Mmm... Dea." "Menurutmu kenapa ada orang yang rela ngelakuin sesuatu yang dianggap gila padahal ia tidak dapat apa-apa dari sesuatu itu selain penderitaan?" tanya Ardi mengungkapkan rasa penasaran yang terngiang-ngiang di kepalanya sejak ia berada di atas pesawat tadi. Dea nampaknya tak mendengarkan. Ia fokus memindahkan perseneling mobilnya dan berhenti tepat di belakang antrean kendaraan lampu merah lingkar luar kota. *** "Ssssh.... aduh.... pelan-pelan Nek." Satria masih bisa meringis sakit saat dedaunan kering di atas lukanya diangkat perlahan oleh Nek Maru, salah seorang sesepuh Desa Kahuliyat. Nek Maru sebetulnya bukan ahli pengobatan, bahkan untuk ukuran tradisional. Nek Maru hanya merasa menjadi satu-satunya orang yang wajib menangani setiap orang yang diberi pengobatan berbahan alami, karena orang-orang seumuran dia sudah meninggal dunia lebih dulu. Nek Maru kemana-mana membawa pisau kebun, yang kata sebagian warga adalah jimat baginya. Saat inipun, pisau itu diusap-usapkan di pinggiran luka pergelangan kaki Satria. Memutar, kedua sisi pisau itu mengitari dua lubang luka bekas taring anjing itu. "Hangat, Nek?" Dari mana? "Ohh.... hahaha. Dupa?" Satria sejak tadi tidak melihat bara api yang memerah di dalam mangkuk tanah liat kecil yang disembunyikan Nek Maru di dekat bokongnya. Nek Maru hanya tersenyum-senyum. Barisan gigi yang tinggal beberapa biji nampak sangat asri menyapa dari kedalaman mulutnya yang penuh misteri dan alur kata kearifan desa. Dalam hal obat-mengobati, ia tak kenal ampun. Satria berteriak ataupun meritih tak akan menyurutkan pijatan tangannya atau olesan besi panasnya. Selain Nek Maru, ada beberapa gadis desa yang turut mampir duduk di serambi rumah panggung Satria. Ini kebiasaan mereka, mengikuti orangtua mengobati orang sakit, sebagai bentuk penerjemahan adat serta ilmu yang bisa dimanfaatkan oleh mereka kelak jika Nek Maru sudah tiada. Gadis-gadis itu nampak sebaya, namun yang paling muda di antara mereka, dengan pakaian yang paling sederhana, paling sering tersenyum-senyum melihat Satria berteriak kesakitan saat kain penutup lukanya dilepas. "Satria...." ia menyebut nama lelaki muda di depannya, lalu tertawa cekikikan. "Satria", lalu ia menyebut nama lagi. "He...? Hehehe.... Ssssshh.... uduuuuh...." Satria sendiri tak kuasa menahan rasa geli bercampur malu mendapati dirinya ditertawakan oleh seorang gadis desa. Tiba-tiba seorang gadis desa lainnya, yang lebih muda, memungut kertas terlipat yang tergeletak di lantai papan, nyaris jatuh ke sela-selanya. Ia mengambilnya, memandanginya sejenak, matanya mulai menyipit, keningnya berkerut, alisnya tertarik ke tengah. Ia tak mengerti satupun kata yang tertulis di surat itu. Ia hanya bisa tersenyum setelah melihat tanda lingkaran senyum kecil di bagian bawah surat itu, tepat setelah tulisan "Ardi." Satria ikut tersenyum-senyum melihat tingkah lucu gadis desa itu. "Ardi." ia kemudian berucap, bermaksud membantu si gadis desa mengeluarkan kata-kata yang ia baca dari surat. "Itu bacanya Ardi." bimbing Satria lagi. Gadis desa itu mengikuti perlahan. "Aaar..di. Ardi." "Ya. Ardi." Satria membenarkan, senyumannya semakin lebar. Gadis Desa pun tersenyum puas. "Sahabatku, Ardi." Satria memantapkan senyumannya. Tiba-tiba tumbuh rasa bangga di dada Satria sekaligus rindu yang melayang-layang ke pulau seberang, rindu untuk seorang sahabatnya. Kembali, ia tak merasakan sakit apa-apa, padahal Nek Maru membersihkan lukanya dengan gulungan daun yang masih baru dan keras. Suara burung berkicau dari kejauhan dan tiupan angin sepoi dari pohon-pohon dan semak mendamaikan hatinya. Total. Menjelang sore hari, di halaman sekolah. Bu Guru Martini bertepuk tangan sambil mengangguk-anggukkan kepala, berdiri setengah membungkuk di tengah lingkaran anak-anak muridnya yang duduk dengan tenang di atas lapangan rumput, tepat di bawah tiang bendera Merah Putih. "Ambilkan bulan Bu.... Ambilkan bulan Bu. Yang s'lalu bersinar dii laaangiiiit." Anak-anak bernyanyi. Pelajaran sore hari bagi mereka adalah yang paling mengasyikkan. Tidak ada buku tulis, tidak ada kapur, hanya bertepuk tangan,  dengan sepasang sandal melapisi antara bokong dan rumput yang masih basah. Mereka ini tumpuan kelanjutan satu generasi lagi bagi Desa Kahuliyat, dan Bu Martini adalah panglima atas semua ini. Matahari mulai mengelus turun di kayu tengah atap gedung kelas. Nampak tinggal separuh cahayanya yang menaungi anak-anak dan pohon-pohon kamboja di pinggir lapangan. Satria tak kuasa menginterupsi sentimen emosi antara guru dan murid-muridnya ini. Namun ketertarikannya mendorongnya juga sehingga kakinya sudah melewati ambang garis pagar sekolah. Ohiya, di sekolah ini belum ada pagar, sebetulnya. Baru ada barisan batu-batu kerikil yang dijejerkan sedemikian rupa sehingga membentuk garis batas. Ada rencana membangun pagar di sekeliling sekolah agar anak-anak terhindar dari bahaya anjing gila. Namun hingga ini belum terlaksana. Bu Martini masih yakin sekolah dan murid-muridnya aman. "Selamat sore semuanya." sapa Satria sambil berdiri dan melambaikan tangan kirinya. Anak-anak berhenti bernyanyi lalu menoleh ke arah Satria di dekat jalan. Satria tersenyum. Tangan kanannya saat ini tidak bisa bergerak bebas, menopang sebatang kayu kopi yang dibentuk menjadi tongkat. Kebetulan lagi, hanya kaki kirinya yang mengenakan sandal. Lagi-lagi sebelah sandalnya hilang. Ya, waktu itu. Waktu anjing gila menerkam kakinya. Hingga hari ini belum ada anak murah senyum yang datang membawakan sandal hilang itu kembali padanya. "Eh. Ada Pak Satria rupanya." sapa Bu Martini ramah sambil melangkah keluar lingkaran lalu menyalami Satria. "Mari Pak Gabung." ajaknya. Satria dengan terpincang-pincang ikut duduk di antara murid-murid. Ia hendak membicarakan sesuatu ke Bu Martini, namun ia sadar ia lebih baik mengutarakannya setelah anak-anak pulang. Kali ini ia merasa wajib untuk melengkapi kebahagiaan murid-murud SD Desa Kahuliyat sebelum mereka beranjak pulang. "Bu guru." teriak seorang anak laki-laki dari barisan belakang." "Lagunya diganti Pak Guru." sambungnya. Ia adalah murid paling cerdas, komunikasinya pun tergolong bagus, walaupun tubuhnya paling kecil. Sontak, murid-murid lain pun bersahutan mengiyakan. "Ya Bu." demikian berulang-ulang, suara anak-anak itu tumpang tindih penuh kesenangan. Bu Martini dan Pak Satria hanya bisa tersenyum lebar melayani mereka. "Baik. Kita nyanyikan lagu tadi. tapi diganti Pak ya. Mulai." Maka bernyanyilah mereka semua. "Ambilkan bulan, Pak!" demikian lagu itu diulang-ulang. Beberapa murid dengan senang saja berteriak kencang hanya pada bagian "Pak". Wajah mereka menampakkan kepuasan yang jarang terlihat. Begitu lepas. Matahari sudah tak nampak lagi di balik bangunan kelas. Hanya tonggak-tonggak cahayanya yang menjulang tinggi, lalu sebagian menyeruak di sela-sela horizontal papan kayu dinding kelas. Dari kejauhan bangunan kelas itu nampak seperti jendela yang ingin sekali membawakan hadiah paling cerah, namun menunggu masa dan pertolongan alam. "Bagaimana kakinya, Pak Satria? Sudah diobati Nek Maru?" Bu Martini memulai pembicaraan saat murid terakhir sudah pulang. Ia dan Satria pun memilih berjalan santai, agak lambat, menuju pemukiman. "Iya. Nek Maru ngobatinya pake pisau jadi saya agak kaget juga tadi. Panas." "Itu karena bara api dupa." "Iya. Saya baru lihat yang seperti itu tadi." "Hmmm...." Bu Martini nampak sangat mengayomi, sosok keibuannya sangat membantu Satria selama ini. Itu kenapa Satria menganggapnya sebagai panutan, kakak, dan juga tempat berbagi isi pikiran. "Mmm... Bu Martini." Satria kembali memulai percakapan. Keduanya masih berjalan dan kini sudah melewati jembatan yang memisahkan dua desa kecil, tanah tempat sekolah berdiri dan tanah desa pemukiman. Tepat di dekat jembatan ini Puskesmas berdiri kosong, tak terurus. "Saya boleh minta tolong sesuatu?" Satria mengutarakan niatnya. "Boleh. Apa yang bisa saya bantu, Pak Satria?" "Begini, bu. Saya ada surat untuk kawan saya di Jakarta. Saya mau mengirimnya sendiri tapi belum bisa ke bukit tempat kantor Pos. Ibu bisa tolong saya memposkan?" "Oh. Tentu saja bisa, Pak Satria. Kebetulan besok anak-anak saya kasih tugas membaca dongeng di rumah, jadi sekolah dimulai agak siang. Saya bisa ke kantor pos pagi-pagi." "Baik. Terima kasih, Bu." "Jangan sungkan, Pak Satria. Sudah tugas saya membantu sesama guru." pungkas Bu Martini bersimpati. Satria hanya bisa mengiyakan sambil tersenyum. "Sebetulnya...." Satria menjuruskan topik. "Saya kuatir, Bu Martini." "Kuatir kenapa, Pak?" "Sekarang sudah akhir April. Beberapa hari lagi peringatan Hari Pendidikan Nasional." Satria mengangkat kepalanya menghadap langit, masih sambil berjalan terpincang-pincang. Sesekali kakinya nyaris terpeleset, namun Bu Martini selalu sigap memapahnya. "Belum ada kabar bantuan apapun datang kesini besok." kata Satria lagi. "Saya percaya sahabat saya akan mengirimkan bantuan kemari. Itu pasti. Tapi saya ingin sekali anak-anak merayakan hari pendidikan nasional di sekolah hari Senin bulan depan. Pasti akan ramai, dan warga-warga desa yang belum menyekolahkan anaknya, bisa melihat betapa serunya bersekolah itu, betapa anak-anak mereka bisa bermain dan belajar." Bu Martini mendengarkan dengan bijak. Ia paham betul inti perhatian Pak Satria. "Saya ingin melihat SD kita meluluskan satu kelas tahun ini, Bu." Satria tersenyum sambil melirik ke arah Bu Martini. "Saya yakin Pak Ardi akan mengirim bantuan itu, Pak Satria. Kita tunggu saja." Saat keduanya tiba di rumah masing-masing, matahari sudah benar-benar tenggelam. *** Studio TV di Jakarta, keesokan harinya. "3... 2... 1... and... Go!" "Selamat pagi, pemirsa. Jumpa lagi dalam program bincang pagi. Kali ini eksklusif kita akan membahas penanganan bantuan ke Kecamatan Buriang di perbatasan. Bersama kita sudah hadir narasumber dari koordinator program, Bapak... " Suara pembawa acara nampak sangat ramah, gemulai, namun lugas mengalirkan tajuk acara pagi ini. Di belakang kameramen, Dea berdiri menyilangkan lengannya di depan dada. Posturnya yang ideal membuatnya terlihat seperti sutradara lapangan. Apalagi, topi sporty kain tebal berwarna coklat muda menegaskan kepribadiannya yang terbuka namun konsisten terhadap rencana-rencana. Ia tersenyum-senyum pada seseorang di balik meja narasumber, seseorang yang dipercayainya. "Baik, Pak Ardi. Apa yang bisa Anda ceritakan tentang perjuangan masyarakat Desa Buriang?" "Saya koreksi sedikit. Buriang itu nama Kecamatannya, nama desanya Kahuliyat." jawab Ardi tak kalah lugas. Wajahnya nampak agak mengkilap di kamera. Make up membuatnya sedikit kurang nyaman. Wwancara inilah yang nantinya menentukan nasib perubahan yang ditunggu-tunggu selama puluhan tahun, perubahan yang akan melunasi rasa haus segenap masyarakat Desa Kahuliyat akan kehidupan yang sedikit lebih baik, dan taraf pendidikan SD yang menjanjikan. Upaya Ardi dan Dea membuahkan hasil. *** Suara anjing menggonggong terdengar sangat berisik dari luar rumah. Jalan alternatif yang menghubungkan distrik Kuong dengan gerbang perbatasan Indonesia-Malaysia memang tak begitu ramai. Hanya sesekali kendaraan angkutan perkebunan dan proyek konstruksi pabrik lewat. Hal ini pulalah menjadi alasan mengapa pagar rumah-rumah di sepanjang jalan itu dibentuk dari beragam bunga, bukan tembok atau bambu. Di dalam rumah, kaki itu terjulur bebas di atas meja. Betis yang kuning langsat nampak mulus dibalut celana potongan pendek 15 cm di atas lutut nampak sangat serasi dengan gelang manik-manik yang bergerak-gerak mengikuti ayunan tangan yang menggenggam remote TV. Alat itu ditekan berulang-ulang, saluran dipindahkan terus ke angka paling tinggi, nihil. Tak ada acara yang menarik bagi Aisdi pagi ini . Ia lebih memilih menghabiskan kentang goreng dalam kemasan yang diletakkan di atas perutnya yang ditutupi kaos tak berlengan. Pekerjaan pos sang ayah tak terlalu banyak jadi ia bisa lebih lama di rumah sebelum berangkat kerja siang harinya. Wajah Ais pun nampak bersih, rambut sebahunya tertata rapi oleh bando berwarna putih yang melingkar di ubun-ubunnya. Matanya menatap malas ke dalam layar TV. "Iya. Jadi program ini memang untuk Desa Kahuliyat. Teman saya di sana sudah hampir 5 bulan bermukim di sana, menunggu bantuan yang belum ada realisasi logisnya." suara percakapan dari TV  itu sampai ke telinga Ais. Ia bisa mengerti sedikit Bahasa Indonesia. "Oo.. channel Jakarta." bisiknya ke diri sendiri. "Ini hanya bentuk tanggungjawab saya, secara profesional, dan secara sosial kepada sahabat saya di sana, Satria. Ia satu-satunya orang kota yang memilih tinggal di sana dan menyampaikan semua kebutuhan masyarakat perbatasan melalui surat ke kota, surat yang baru bisa dikirimkan setelah terdiam 4 hari di kantor pos." suara dari TV itu pun semakin jelas di telinga Ais, membuatnya semakin fokus mendengarkan. "Ha? Satria? Itu kan?" Ais menegakkan badannya di kursi. Kakinya ditarik dari meja. "Kami akan segera mengirim bantuan guru dan tenaga kesehatan ke Kahuliyat" suara TV itu semakin menarik perhatian Ais. Ia pun mulai berpikir, otaknya bekerja, kentang goreng sudah tak dihiraukannya lagi. Ia menambah volume suara TV, lalu merogoh HP dari saku celana pendeknya. "Halo? Abi?" Ais berbicara kepada ayahnya. "Abi, ini penting. Abi tunggu di situ ya?" Terdengar suara mobil land rover berhenti mendadak. Roda-rodanya bagaikan direm paksa di atas tanah berpasir, tepat di sisi pagar perbatasan. Di kantor pos, Bu Martini baru saja melangkahkan kakinya ke dalam ruangan melalui pintu depan, saat Ais tiba-tiba datang dari belakang dan menabraknya hingga hampir terjatuh. "Eh... sori. Sori. Ini emergency." kata Ais sambil tergopoh-gopoh. "Tak apa." Bu Martini tenang. Dipungutnya surat Satria yang terjatuh di lantai barusan. "Ais. Ada apa? Kok buru-buru begitu?" Pak Arman menegur putrinya itu. "Abi. Di mana rumah Satria? Aku mau ketemu Satria sekarang. Penting." kata Ais meminta dengan wajah tak tenang. "Sebentar. Abi lupa. Dimana ya?" "Desa Kahuliyat. Saya bisa antarkan." Bu Martini menawarkan jalan keluar. "Oh? Cik tahu?" sambut Ais gembira." "Iya. Saya teman kerja Pak Satria di SD. Nanti saya beri petunjuk jalannya, tapi saya hanya bisa sampai sekolah. kerana murid-murid sudah menunggu." "Tak apa. please. Ada sesuatu yang penting yang harus saya sampaikan ke Satria." Ais mulai menarik-narik tangan Bu Martini." "Pak Pos, tolong kirimkan ini ya. Saya ke sekolah dulu. Terima kasih." bu Martini akhirnya mengikuti ajakan darurat Ais. Ada apa sebenarnya ini? gumamnya dalam hati. Namun tak sempat ia berpikir banyak, Ais sudah menariknya ke jalan setapak. Sementara itu... "Aduuuh.... sssshhh...." Satria agak kesulitan mengimbangi badannya, ketika tangannya harus mengangkat HP tinggi-tinggi, sementara tangan satunya menahan tongkat yang turut menopang kaki. Satria yang mulai ragu dengan efektivitas surat-menyurat, akhirnya berinisiatif untuk menghubungi Ardi, sahabatnya langsung dengan telepon. Berkali-kali ia acungkan tangan, bolak-balik posisi HP, garis sinyal di layar belum kelihatan juga. Sementara itu matahari beranjak semakin tinggi di atas kepalanya. Matanya nampak silau dan rabun ketika cahaya UV menembus lensa kacamatanya. Terasa sangat silau dan panas sekali matanya. Dahinya mulai mengkerut, keringatnya menetes ke bagian leher kaos abu-abunya. Hingga akhirnya sinyal muncul, Satria girang. "Yuaaahooo..!" Lalu bet! Sinyal hilang lagi. Berkali-kali ia coba, hingga akhirnya... "Biiiiiiiip.... Biiiiiiiiip.... Nada sambung mulai terdengar. Teleponnya mulai tersambung. Beberapa kali dicoba, tak ada jawaban. Sementara itu kaki kiri Satria mulai pegal bersandar di salah satu tiang belakang gereja di atas bukit ini. "Sedang apa dia?" gumam Satria. Tak biasanya Ardi mengabaikan telepon darinya. Selama ini, sesibuk apapun seorang Ardi, ia menyempatkan diri mengangkat telepon ataupun membaca pesan singkat dari sahabatnya di belantara Kalimantan itu. Bahkan, pernah suatu hari Ardi menyetop percakapan dengan Menteri Kehutanan saat Satria menelepon untuk menanyakan di mana Ardi menaruh pisau cukurnya. Satria nyaris putus asa. Ia kecewa. Ia tiba-tiba merasa tak ada yang mendengarkannya hari ini. Kepalanya mulai pusing, tangannya mulai lemas, tongkatnya bergerak-gerak. Ia menutup telepon, lalu berjalan pincang menjauhi gereja. *** Nafas Ais tidak karuan. Sandalnya dilepas agar bisa berlari lebih kencang. Ia tak peduli dengan suara lolongan anjing dari arah semak belukar. Ia terus berlari, mencari Satria. Ia merasa inilah satu kesempatan baik untuk mulai berteman dengan Satria, dengan menyampaikan kabar baik ini. Ia tahu bahwa Satria belum menyukainya, terlepas dari cerita-cerita ayahnya yang menyebut-nyebut keinginan-keinginan Satria yang di benaknya belum bisa ia penuhi. Begitulah Ais, sifat rela berkorban yang diturunkan dari mendiang ibunya membawanya sejauh ini, jauh ke kedalaman Desa Kahuliyat. Tiba-tiba saat baru saja membelok ke kanan selepas jembatan sebagaimana ditunjukkan Bu Martini, ia berhenti. Langkahnya perlahan berhenti. Ia melihat beberapa meter di depan sana, seorang pemuda dengan susah payah menuruni bukit dengan sebatang tongkat, dengan sebelah kaki terangkat. Ais berpikir untuk terus maju atau tidak. Setelah akhirnya menemukan Satria, ia menjadi ragu. Ia takut Satria akan mengusirnya. Ia tahu keteguhan hati Satria belum bisa menerima dirinya yang bukan "Merah Putih". Ais menatap dari kejauhan, sementara Satria terus berjuang menapakkan kakinya. Lalu... Satria terjatuh di bukit itu. Tongkatnya terpeleset, terlepas, lalu tubuhnya ambruk. Ia tergelinding ke bawah, bolak-balik. pergelangan kakinya kembali terkilir, ia berteriak. "Aaaaaaarrghhhh...!" "Aaa.... Satriaaaa!" Ais terkejut, panik, lalu kembali berlari. Sekuat tenaga, ia berlari ke arah Satria. *** Langit terlihat begitu cerah, biru. Tidak ada awan satu pun di tengah langit itu. Bening. Perlahan mata Satria mulai terbuka. Dikedip-kedipkan matanya itu. Kacamatanya masih menempel. Ia tersadar, melihat hanya langit biru dan tepian pohon-pohon di matanya. Ia masih terbaring. "Kamu sudah sadar?" Tiba-tiba suara itu menyapa. Telinga Satria sepertinya bisa mengingat suara itu. "Hey, Satria. Kamu tidak apa?" Tiba-tiba wajah Ais nampak menutupi langit biru itu. Terbalik. Satria melihat wajah itu dalam posisi terbalik. "Haaah..! Kamu!" Satria terkejut lalu terbangun dengan tiba-tiba, dhuk! Kening berbenturan dengan kening. Nyeri sesaat dan kuping terngiang beberapa detik. Satria lalu bangkit, kini ia berbalik dan dengan ekspresi kesal berbalik arah ke Ais yang terduduk di belakangnya juga sambil mengelus-elus kening. "Kamu kenapa bisa sampai kemari?" tegur Satria dengan nada agak tinggi. Sontak nyeri di kakinya pun terasa. Ia merintih. "Sini aku lihat." Ais mendekat. "Tidak perlu." Satria ketus. "Tapi itu berdarah." Ais memaksa. "Aku bilang tidak usah!" Satria membentak. Tak biasanya ia sekasar ini. "Satria." "Lebih baik kau balik saja ke Kuong." "Tapi ini aku sengaja datang kemari untuk..." Ais tak sempat menyelesaikan kalimatnya, lalu... "Aah.... Aku tidak butuh bantuan apapun dari orang sebelah. Cukup aku saja. Aku punya sahabat, dan dia yang membantu aku, bukan orang lain. Sudah kamu pulang saja!" Satria semakin marah. Perih luka dan ingatannya tentang kesan beberapa hari lalu mengaburkan nuraninya. Ais terdiam. Matanya berkaca-kaca. Tangannya terkulai lemas di atas kakinya yang terduduk di rumput. Lama ia tak merasakan sakit hati semacam ini. Akhirnya ia bangkit, lalu berlari menuruni bukit, berlari kembali ke tempat ia datang, meninggalkan Satria sendirian di pinggir jalan. Satria tertunduk. Ia lalu sadar telah melakukan kesalahan. "Sial!" akhirnya ia mengumpat kepada dirinya sendiri. (bersambung...) * teman-teman maaf ya kalo terlalu panjang, saya bingung kalau harus potong ceritanya di bagian mana, soalnya semua serangkai dan sama2 menentukan alur berikutnya. makasih ;) 07 Dave Koz - Know You By Heart.mp3 CERITA SELANJUTNYA

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun