Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pesan-pesan dari Perbatasan (2)

8 April 2011   01:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:01 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (mayshappire.blogspot.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="666" caption="Ilustrasi (mayshappire.blogspot.com)"][/caption] CERITA SEBELUMNYA _______________________________ Minggu ke-4 April. Cahaya subuh mulai menelisik dari ufuk timur. Embun turun perlahan di atas dedaunan pohon-pohon kecil. Buah-buah pepaya nampak mengkilap karena basah, begitu pula barisan pohon padi kecil yang tumbuh dan diam begitu saja di pinggir setapak. Babi-babi mulai bersuara ngos-ngosan dari kejauhan di kampung hulu. Sebagian suara jangkrik terdengar mulai memudar. Desa Kahuliyat kembali bangun. Fuhh! Satria meniup lentera lilin yang lupa ia padamkan saat dirinya rebah pukul 2 tadi. Satria pemberani, dalam hitungan satu-satunya "orang kota" yang tinggal di desa semacam ini. Namun seberaninya Satria, ia tak mau memasang pelita dari sumbu kain dan minyak tanah, serangkaian alat yang masih bisa membuatnya memicikkan mata lalu berdegup... trauma..., sebuah pengalaman masa kecil yang terus menghantuinya. "Ooo ina walauk amio na Satriaaaa....." Salah seorang warga, nenek yang selalu ceria, berteriak dari kejauhan kampung hulu. Tangannya dilambai-lambaikan sambil menggenggam pisau besar. Suaranya menyeberangi sungai, naik-turun lembah kecil, menyeruak dari semak-semak, melambung, lalu sampai ke sepasang telinga Satria yang sudah berdiri dengan tegap di serambi rumah kayunya. Suara itu mengejutkannya ketuka baru dua teguk kopi hitam panas berampas melewati kerongkongannya. Ia terkesiap, alisnya terangkat, lalu kepalanya menoleh. Satria tersenyum,  lalu santai saja melambai-lambaikan tangan, ia bersandar di pagar serambi paling kiri agar terlihat. Sapaan seperti ini tak pernah aku rasakan barang sekalipun di kota. Gumamnya dalam hati. Senyumnya makin lebar. *** Ini adalah hari Senin. Satria kembali menelusuri jalan-jalan tanah yang membelah desa ke arah dekat perbatasan. Sudah sekitar seminggu yang lalu sebuah surat sederhana ia titipkan untuk dikirimkan melalui kantor pos kecamatan. Hari ini, ia ingin mengecek apakah surat balasan dari sahabatnya Ardi sudah ada untuknya. Satria lebih suka berjalan santai sambil mengangkat kepala tegap. Menikmati sinar matahari yang menghangat ataupun hewan-hewan yang berkeliaran adalah kesenangannya. Oh iya, Satria selalu penasaran akan seekor bebek, belum pernah ia melihatnya. Ya, hanya ada seekor bebek di desa ini, entah milik siapa, dan Satria ingin sekali melihatnya. Belum pernah ia menemukannya sejak tiba di sini beberapa bulan yang lalu. Di tengah pencariannya akan seekor bebek, Satria berhenti sejenak, lalu tersenyum lebar di tengah jalan. Rupanya pandangannya menangkap Pak Arman, sang juru pos, baru saja membuka pintu kantor pos Buriang, dan apa yang membuat Satria begitu bersemangat, adalah sebungkus plastik penuh kertas yang digotong salah satu tangan Pak Arman itu. Satria membetulkan kacamatanya, memfokuskan pandangan, dan langsung tahulah ia bahwa kertas-kertas dalam bungkusan plastik itu adalah surat kiriman. Ia pun melangkah lebih bersemangat ke arah kantor Pos. Kali ini, lebih bergegas. Tok... tok... tok. Satria mohon ijin masuk bak mengunjungi rumah. "Silakan masuk!" balas seseorang dengan suara berat dari arah dalam kantor. "Oh.... Mas Satria to?" penjaga itu lanjut menyapa dengan logat yang akrab. "Iya ni Pak Arman. Surat saya dari Jogja sudah ada belum ya Pak?" tanya Satria penasaran. "Jogja ya. Umm.... sebentar. Tak goleki sik." "Lho! Pak Arman orang Jawa?" tanya Satria kaget. Dalam perkiraannya selama ini, semua penduduk dan pegawai di kecamatan ini adalah orang asli sini. Sambil senyum Pak Arman menjawab ringan, tangannya terus-terusan mencari surat. "Iya.... Mas Satria juga?" Satria menggeleng. "Oh bukan ya. Ndak papa saya tahu Mas bukan orang Jawa. Itu kaosnya saja gambarnya peta Sulawesi." sindir Pak Arman. Satria mengangguk, tersenyum, tanpa kata. Ia penasaran, bagaimana ceritanya pak Arman ada di sini? Sejak kapan? "Saya di sini sudah sejak 17 tahun yang lalu. Ikut program transmigrasi pemerintah tahun 1993, bareng istri dan bayi saya. Sekarang anak saya sudah besar. Nah... itu dia datang." Pak Arman menjelaskan sambil menganggukkan kepala ke arah pintu kantor pos. Seorang gadis belia yang melangkah masuk membalas anggukannya, lalu berdiri sopan di dekat bendera Merah Putih di sisi kiri pintu. Satria melihat ke arah gadis itu. Lalu tertegun. Diam, tak bisa bicara. Pikirannya melayang-layang ke awan kelam yang selama ini menemaninya kemana-mana, membisikkan kata-kata bahwa semua pemuda di sini berpenampilan seadanya, sederhana, dan lebih banyak laki-laki. Ia tak pernah membayangkan akan bertemu dengan seorang gadis cantik yang memakai kaos, bercelana jins, dengan rambut terikat rapi di balik topi. Hari ini, ia melihat gadis itu. Senyumannya terangkat..... tanpa suara. "Namanya Ais." suara Pak Arman menembus ke lamunannya. "A...iiss...." Arman bergumam lirih. "Dia tinggal di distrik Kuong." Suara itu merusak semua lamunan indah Satria. Pecah, berantakan. Suara merdua musik Bach yang sejak tadi mendayu-dayu di kepalanya.... kisut. Hilang. Satria sadar. "Hai.... Satria ya? Kenalken aku Ais. Tinggal di sebelah." sapa Ais sambil menggamat tangan Satria. Satria nyaris tak percaya. Ia beberapa saat lalu menemui harapan akan menemui pujaan hati yang bisa menemani petualangannya, menjadi sahabat baru di Desa Kahuliyat. ternyata pupus. Ais tinggal di seberang pagar pembatas. Ais hanya menjenguk ayahnya yang bekerja di Buriang sini. Ais bukan Merah Putih. "Iya. Satria. terima kasih!" balas Satria tegas, nyaris meremas tangan Ais. Kini pandangannya mulai jelas. Ia harus sabar. Ia tak akan tertarik, belum akan tertarik pada seorang gadis cantik yang tidak lahir di Tanah Airnya. Sontak ia kembali memalingkan perhatian ke meja Pak Arman. Ais tersenyum-senyum di belakang Satria. "Nih! Ada satu dari Ardi Hermanudin." Pak Arman menyodorkan sebuah amplop berwarna cokelat, tidak tipis, dan agak  berat daripada kertas-kertas lainnya, kepada Satria. "Terima kasih, Pak Arman. Permisi." Satria mengambil surat yang ditunggu-tunggunya itu, lalu berbalik badan dan melangkah keluar. Sesaat ia sempatkan mengangguk ke arah Ais, gadis yang nyaris menjadi pujaan hatinya. "Aku cinta Indonesia." tiba-tiba Ais berteriak saat Satria sudah di setapak. Satria berhenti. Berpikir sejenak. Lalu kembali melangkah. Tak menoleh sedikitpun. Ais menghentikan senyumannya, lalu melepaskan tiang bendera Merah Putih yang tadi dipegangnya. *** Satria tak banyak kegiatan di luar rumah hari ini. Setelah mengecek kondisi Pak Bodes yang mulai pulih setelah beberapa mili morfin disuntikkan ke kakinya kemarin, mengajar mata pelajaran IPA dan sedikit Sejarah Kalimantan di sekolah, dan membantu sekelompok pemuda yang membangun rakit baru di sungai, dan mencari bebek berwarna cokelat, ia kembali pulang. Hari sudah sore. Satria memilih beristirahat di serambi musola, setelah sembahyang. Satria teringat surat balasan Ardi yang sedari tadi terlipat di saku celananya. Baru saja ia mau membukanya, tiba-tiba Bu Martini, sang guru, melintas di jalan depan. Satria dengan buru-buru, kembali memasukkan amplop ke sakunya. "Bu Martini!" sapa Satria. "Eh.... Pak Satria." balas Bu Martini ramah. Ia pun melangkah ke arah serambi musola. Bu Martini seorang Protestan, akan tetapi tak jarang ia bercengkerama, bertukar pikiran dengan Satria di tangga musola. "Sembahyang, Pak Satria?" Bu Martini memulai pembicaraan sesaat setelah duduk berhadapan di lantai papan. "Iya bu. Ini sambil istirahat sebentar." Satria menyambut. "Pak Satria.... saya bingung ini." "Kok dari dulu Bu Martini panggil saya 'Pak'? Saya jadi berasa aneh." "Pak Satria kan sudah mau mengajar di sekolah tadi pagi. Jadi saya senang memanggil Pak Satria pake 'Pak'" "Sudah lama sekolah tidak ada gurunya selain saya. Murid-murid selalu bertanya mengapa hanya ada pelajaran Selamat Pagi Bu Guru, tidak ada Selamat Pagi Pak Guru?" "Mereka senang sekali melihat ada guru laki-laki, Pak Satria. Belum pernah mereka melihat ada Pak Guru. Dan tadi, mereka sampai tinggal di sekolah sampai sore, belajar membaca lagi, tapi pakai kata-kata 'Pak Guru'" jelas Bu Martini. Satria jadi tahu mengapa Bu Martini baru pulang menjelang petang. "Ooo.... begitu." "Pak Satria." Bu Martini cemas. "Iya ada apa, Bu? Lantai kelas jebol lagi?" tanya Satria. "Baik-baik, Pak, lantainya. Masih seperti kemarin. Tapi bendera itu Pak." "Bendera?" "Iya. Saya baru ingat. Sudah hampir dua tahun berkibar di halaman sekolah. Tidak pernah diturunkan, tidak pernah diganti. Saya kuatir kalau tidak diganti bendera Merah Putihnya jatuh sendiri." Setiap kali mendengar cerita-cerita Bu Martini, Satria merasa semakin sedih. Semakin prihatin. Itulah mengapa ia tak banyak berbicara, hanya mendengarkan. Ia ingin terus mendengarkan. Ia ingin tahu semua yang dibutuhkan Bu Martini, Pak Bodes, Pak Arman, atau warga-warga yang lain di sini. Ia merasa bahwa ia diutus Tuhan sendirian ke desa itu sebagai penyampai pesan, bukan tamu. Ia sadar akan misinya, dan ia tak mau melewatkan satupun permintaan dari orang-orang ini, orang-orang yang menjadi keluarganya di sini. Di matanya, hanya Bu Martini yang bisa menyampaikan semua persoalan desa dengan baik, karena hanya dia yang berpendidikan cukup untuk menyampaikan sesuatu secara jelas. Karena itu pula setiap siang atau sore Satria menyempatkan untuk berbagi cerita sejenak dangan Bu guru luar biasa itu. Agak lama mendengarkan cerita-cerita Bu martini, Satria mengeluarkan buku catatan kecil. Ia memutuskan untuk mencatat semua keperluan yang disampaikan Bu Martini hari ini. Buku kecil ini, berukuran hanya segenggam tangan. Hari ini Satria sudah nyaris memenuhi pertengahan dari total lembaran buku itu. Ia menuliskan "bendera baru", "kapur warna", dan "obat demam" di situ. Tentu saja, di halaman sebelumnya ia sudah menulis satu rangkaian frasa, "Ais anak Pak Pos, bukan WNI!". Lengkap dengan tanda serunya. Buku ini adalah daftar kebutuhan masyarakat Desa Kahuliyat. Namun bagi Satria, ini adalah daftar keinginannya. Daftar harapan yang ingin ia penuhi agar misinya terselesaikan dan ia bisa tenang. "Saya permisi, Pak Satria." Bu Martini Pamit. "Silakan, Bu. Hati-hati." balas Satria. Setelah dari musola, Satria menyusuri jalan setapak yang baru ia lewati. Dengan cara ini ia bisa tahu seluk-beluk semua jalur kampung desa. Celananya tergulung hingga lutut. Sandal jepitnya berbunyi tiap kali ia melangkah. Sambil bersiul-siul, ia teringat akan surat dari sahabatnya di Jogja. Seharian ia disibukkan dengan tugas humanitarian dan lupa dengan berita yang ditunggu-tunggunya, berita tentang harapan. Baru ia menarik amplop dari saku belakangnya, tiba-tiba... Guk... guk! Seekor anjing berbulu gelap berlari ke arah Satria. "Haa...." Satria tak sempat mengelak. Guk! Kaing...Kaing! Anjing itu menggigit kaki kanan Satria, tepat di pergelangan. Dua taring anjing itu menembus kulit kaki Satria, darah mengalir deras. Dihentak-hentakkan kaki Satria, anjing itu tak mau lepas. "Aaaaaa....." Satria meringis. Ia meninju kepala anjing itu dengan tangannya, dipukulnya dengan kayu, tak mau lepas. Sesaat sebelum Satria benar-benar pasrah, sekelompok warga laki-laki datang. "Ssssh.... ssshhhh...!" salah seorang di antara mereka, yang paling tua, mendesis. Anjing itu melepaskan gigitannya, kemudian lari ke dalam semak. Oleh sekelompok warga itu Satria dibantu berdiri, ia meringis kesakitan, tangannya meraba kakinya. Masih utuh, namun luka itu cukup dalam. "Ouk.... lawia hua marum." kata lelaki tertua. Ayo, bawa dia ke rumahnya. Satria pun digotong beramai-ramai. Ia masih merintih. Seorang warga kemudian memungut amplop cokelat yang tadi terjatuh. Satria menjulur-julurkan tangannya meminta amplop itu. Ia terluka, darahnya menetes di sepanjang setapak. Anjing gila menggigitnya. *** Satria sudah terbangun, suasana ruangan kamarnya nampak lebih suram dari biasanya. Setelah warga penjenguk terakhir pamit, ia sendirian. Terbaring di atas papan, sendirian. Hanya ada lilin. Seorang warga tadi sebenarnya bermaksud menjaga semalaman di situ, namun Satria memintanya pulang, sadar setiap warga di sini harus menyambut rejekinya besok pagi. "Aaahh....iissshh...." Satria meringis sendirian. Lukanya sudah dibalut kain, di dalam kain sudah tertempel banyak serat dedaunan yang tadi dipasang oleh warga yang menolongnya. Satria tersadar sesuatu. Ia mencari-cari surat dari sahabatnya. Akhirnya amplop itu ketemu di dekat kain pengalas kepalanya. Sepertinya sengaja diselipkan oleh warga di situ. Satria dengan susah payah berusaha bangkit, ia duduk sambil menyandarkan punggungnya ke tiang rumah. Didekatkannya lilin, ditaruhnya di tempat yang lebih tinggi. Dibukanya amplop itu, dan ditemukannya sebuah kotak plastik tipis, mirip tempat kartu nama, tapi lebih tipis. Dibukanya, lalu Satria tersenyum lebar. "Ardi...." digumamkannya nama sahabatnya pelan. Di dalam kotak plastik berwarna biru tua itu, tertumpuk rapi beberapa batang kapur beraneka warna. Merah, kuning, biru, dan sebagian lain kapur tulis berwarna putih. Di dalam amplop itu, masih terdapat pula satu kain kasa yang menempel ke balok kayu ringan. Ternyata penghapus papan tulis. Satria tak menyangka, apa yang  baru bisa ia tuliskan ke buku "Daftar Keinginan" petang tadi sudah dipikirkan dan dikirimkan langsung oleh Ardi, sahabat seperjuangannya. Dalam hal ini, Satria menyadari bahwa sejatinya Ardi berpikir, mungkin, lebih keras dari dirinya sendiri untuk membantu masyarakat Desa Kahuliyat. Kemudian Satria akhirnya mengeluarkan sepucuk kertas, terlipat, sebuah surat yang ia tunggu-tunggu.

Jogjakarta, 24 April 2011. Sahabatku Satria, Puji syukur. Bagaimana kabarmu di sana? Pasti makin kuat ya! "Survival is the best". Semoga kau semakin sehat saja.

Satria berhenti sejenak, memandangi pergelangan kakinya, ia tersenyum.

Ohiya, langsung saja ya. Satria, aku sudah bersusah payah meyakinkan Pak Puji si staf kementerian itu agar proposal kita bisa didanai untuk proyek pengadaan guru di sana dan kebutuhan pokok di sana. Tapi aku tetap diminta menunggu sekitar sebulan agar ada tanggapan. Birokrasi, Satria, Birokrasi! Aku sebenarnya muak! Tapi, Satria. Ada kabar baik. Karena aku tak tahan, makanya aku terpaksa membuat tulisan reportase sederhana ke media online, berdasarkan sedikit gambaranmu melalui surat kemarin itu. Beberapa media sudah menerbitkannya tiga hari terakhir, bahkan salah satunya meminta nomor kontakmu, tapi belum aku kasih. Menunggu keputusan dari kamu dulu. Pak kementerian sendiri marah besar setelah itu. Mereka mengancam tidak akan menanggapi proposal kita. Sama sekali, kalau media sampai mewawancarai mereka dan meminta klarifikasi. Aku khawatirnya di situ. Tapi menurutku kita harus demikian. Kalau tidak, maka tak adalah realisasi. Pemerintah hanya bisa bilang "Saya turut prihatin, Bantuan akan segera dikirmkan." Hanya prihatin, hanya segera, tidak pernah terlaksana. Jadi, sahabatku Satria, bersabarlah lagi. Aku tahu ini tidak mudah. Proses ini adalah perjuangan terpanjang dalam sejarah pertemanan kita. Dan aku bersyukur kita mengalaminya untuk tujuan yang benar-benar serius dan memberi kehidupan. Ohiya, beberapa kotak kapur tulis dan penghapus itu sebagai tanda terima kasihku karena sudah membuat Dea suka padaku. Aku ingin memberimu boneka beruang kecil, sebetulnya, tapi pikirku kau tak butuh itu di sana. Hahaha..... Balas surat ini. Akan aku berikan terus kabar baik. Semakin banyak yang tahu keadaan disana, semakin cepat bantuan datang. Ohiya, jika kau mengijinkan, akan aku berikan kontak HP-mu ke satu media. Satu media ini menurutku paling bijak, karena mereka sekalian mau mengadakan penggalangan dana. Waktunya kapan aku belum pasti. Tapi tunggulah. Biarkan HP terus menyala. Begitu saja dulu. Satria, keluargamu berkali-kali menelepon, menanyakan kabarmu. Aku bingung harus bilang apa. Tak mungkin aku kasih tau mereka bahwa kau ada di pedalaman sendirian. Mohon petunjuk. Good luck, Bro! Tuhan bersamamu. Ardi.

Satria tersenyum lebar. Ia merapatkan surat itu ke dadanya. Rasa nyeri di kakinya terobati oleh perasaan bahagia bahwa pesannya disampaikan oleh sahabatnya sendiri, kepada orang-orang baik di luar sana, jauh di seberang lautan. Ia mulai tertidur, direbahkannya badannya lagi, surat itu masih dipeluknya. Ia membayangkan mimpi-mimpi indahnya segera terwujud, dan ia bisa segera pulang, kecuali bahwa sekarang ia kesakitan. Dibukanya buku "Daftar Keinginan" sejenak, dicarinya lembaran terakhir, lalu ia menunjuk ke satu rangkaian kata. "Kapur tulis dan penghapus" Dicoretnya kata-kata itu dengan senyum lebar, tepat di bawah cahaya lilin yang remang. Ia kemudian menutup bukunya, meletakkan kacamata, berdoa, merilekskan badannya, lalu berbaring. Lilin sudah diletakkanya di sisi kiri tubuhnya tadi. Perlahan ia menutup mata, menyusun dalam kepala semua rencana hebatnya untuk esok hari. Ia sudah tak ingat lagi luka basah di kakinya. Ia masih tersenyum, kemudian saat wajah Ais melintas dalam pikirannya ia berhenti tersenyum. Ia lalu tersenyum lagi, tangan kirinya meraba gelas keca di dekat kepalanya, lalu diangkatnya, lalu diturunkannya perlahan-lahan di atas lilin. Gelas itu menutup badan lilin, menutupi nyalanya. Satria tak melihat, namun ia tahu bahwa lilin itu mulai redup, cahayanga melemah dari balik gelas yang tertungkup di sekelilingnya, tak ada oksigen, dan akhirnya api itu padam. Pukul 22:10. Dalam kegelapan, Satria tetap tersenyum, tentang mimpi-mimpi indah Desa Kahuliyat. Suara jangkrik menemaninya, hingga ia tertidur. (bersambung...) _________________________ CERITA SELANJUTNYA

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun