Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Penulis Fiksi Gandrung Film

5 September 2012   02:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:54 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada alasan sedikit cerdik untuk menonton film. Sebagai penulis fiksi, saya jadi tahu bahwa industri film memiliki kaitan tak terlihat dengan industri kepenulisan. Tanda-tandanya? Ya, sebut saja film-film Indonesia yang banyak lahir dari karya sastra. Selain mengejar pangsa pasar, ternyata film bisa jadi ujian dan tempaan kemampuan berpikir bagi seorang penulis. Jika hubungan itu benar-benar ada, maka bolehlah dikatakan bahwa penulis fiksi mestinya gandrung nonton film.

Di antara sedikit penulis wanita Indonesia yang naik daun, kita bisa sebut Ayu Utami sebagai satu-satunya yang punya kemampuan mencerna ide film dengan begitu baik hingga memerlukan waktu hanya dua minggu untuk menulis buku Soegija. Filmnya tidak begitu sukses secara komersil, tapi Ayu tetap diakui sebagai seorang srikandi sastra yang gandrung film-film dalam negeri. Tentu mudah jika mengalami koordinasi dengan tim yang begitu baik. Tapi, bagaimana dengan penonton “awam” seperti saya yang sama sekali belum pernah terlibat dalam industri film? Jadinya, jikapun mengais ide-ide fiksi, sebisa-bisanya cuma dari menonton filmnya lewat bioskop atau kepingan DVD.

Bagi saya, nonton film serasa mendapatkan separuh hiburan dan separuhnya inspirasi, apapun jenis filmnya. Setelah menonton, akhirnya saya jadi paham mengapa The Dark Knight Rises begitu ditunggu dan menembus nilai penjualan di atas 1 miliar dolar di seluruh dunia. Atau, sedikit tersenyum ketika membaca serentetan kritik yang dilayangkan atas film The Bourne Legacy yang disebut-sebut jauh dari kualitas film sekelas trilogi Bourne. Menurut saya itu hal teknis saja, berupa cara mengambil sudut pandang.

Film The Bourne Legacy tetap menarik buat saya, terlebih karena kualitas peranan yang ditampilkan Jeremny Renner begitu khas, berhasil lepas dari bayang-bayang Matt Damon yang memang lekat dengan karakter Jason Bourne yang dilesapkan di balik  karakter Aaron yang dipoles begitu gaya muda tapi tetap maskulin. Saya yakin penonton perempuan tak banyak menyayangkan Jeremy “menggantikan” Damon.

Yang lebih menarik adalah, bahwa alur yang dipakai di film ini begitu kompleks sampai penonton nyaris kebingungan. “Endingnya menggantung!” begitu komentar salah satu teman sehabis kami nonton bareng lewat salah satu bioskop ternama di Yogyakarta. Saya mengerti keluhannya. Tapi inilah seni film Bourne, dan sutradara Tony Gilroy berhasil membuat penonton menebak-nebak akankah ada lanjutan untuk kisah Aaron.

Kritik atas kualitas film ini kemudian akan berimbang saat kita tahu bahwa cerita Bourne sebenarnya diadaptasi dari sebuah seri novel karya Robert Ludlum, dan hanya The Bourne Legacy yang ditulis oleh orang yang berbeda Eric van Lulstbader dan alur filmnya sama sekali berbeda dengan novelnya. Pemahaman tentang sebuah film bisa dirunut dari pandangan kita terhadap karya sastra yang melatarinya.

Wah, tak usahlah dibahas betapa megahnya cerita The Lord of the Rings karya J.R.R. Tolkien sampai filmnya begitu menghipnotis dunia satu dekade terakhir.

Kembali ke Indonesia, inspirasi penulisan sastra dari film atau sebaliknya bisa kita pelajari dari larisnya film Ayat-ayat Cinta, Laskar Pelangi, dan yang terbaru adalah Perahu Kertas. Oh, tentu saja kebanyakan penonton judul film terakhir adalah pecinta novel, dan mungkin sebagiannya adalah calon penulis novel yang memutuskan genre karyanya di masa depan tak akan jauh-jauh dari romantika muda. Lalu ada film pendek Tuhan pada Jam Sepuluh Malam yang juga diadaptasi dari sebuah cerpen berjudul “Eskperimen Moral”, yang, hingga sekarang produser dan sutradaranya masih sibuk mencari penulis asli dari cerita tahun 1996 ini.

Saya katakan sebagaimana yang saya rasakan, bahwa penulis fiksi yang perlu banyak latihan, akan perlu juga banyak nonton film. Di film ada serangkaian tim kerja yang membentuk kualitas begitu apik dari alur, tata gambar, sampai musik. Tapi bagi penulis yang mencari inspirasi, melihat detil-detil film itu seperti membangun konstruksi berimajinasi sendiri. Ketika memahami gerakan Bertie dalam The King’s Speech saat berjalan melewati koridor terluar menuju bilik pidatonya di Buckingham, seorang penulis fiksi akan memutar otaknya memikirkan kata-kata yang pas jika menggambarkan adegan itu ke dalam tulisan novel. Atau, jika belum membaca bukunya, akan sangat menarik menggambarkan adegan saat Forrest Gump memandangi langit berbintang saat dirinya tenggelam di kubangan air setelah hujan di Vietnam.

Konstruksi fakta dan fiksi

Menonton film adalah membangun konstruksi berpikir, menyelami isi pikiran sutradara, penata gambar, mengulik rahasia sinematografi dengan sudut pandang sendiri, dan mencerna dialog per dialog jika semuanya bisa dituangkan dalam karya tulis. “Seperti apa film ini bisa saya cerpenkan, atau novelkan.” Atau menanyakan seperti apa fakta-fakta di kehidupan sehari-hari seorang perempuan bisa digubah jadi film menarik semacam The Iron Lady atau kemampuan orang Jepang melegendakan Oshin.

Jika sudah melewati fase itu, saya kira seorang penulis fiksi sudah tahu ke mana tangannya akan menuntun isi pikiran dan idenya hingga menghasilkan cerpen-cerpen yang membuat pembaca seakan-akan sedang menonton film. Tidak. Itu tidak begitu utopis kok. Saya sudah mencobanya melalui satu-dua cerpen. Dan apresiasi yang dihasilkannya benar-benar beda. Meski belum menempuh komersil, tapi saya menyukuri cerpen-cerpen tersebut karena berhasil lahir dari inspirasi satu-dua film.

Karena tak pernah ada film yang benar-benar "fakta" meski tertulis "diangkat dari kisah nyata", maka selalu ada celah inspirasi yang dibayangkan seorang penulis bahwa aksen-aksen fiksilah yang memantapkan kualitas sebuah film. Dan karya tulis apapun bisa berbuah menjadi karya layar yang ditonton dan diapresiasi secara holistis.

Memahami kotak batin antara film dan karya sastra itu selalu menarik. Saya berpikir, kalau pembelajaran ini berlanjut, kita semua bisa jadi penulis fiksi yang tersenyum-senyum saat mengetikkan kata-kata. Karena serasa mendengar soundtrack sendiri dari karya tulis kita. Yang belum pernah ada sebelumnya.

*untuk KOMiK - Kompasianer Movie Enthusiasts Kommunity*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun