Three Spheres II, cetakan Litograf dari Maurits Cornelis Escher.
*
Sebuah negeri, entah itu konkret atau abstrak, mengandung setidak-tidaknya empat elemen yang menyeimbangkannya pada arah-tujuan penciptaannya, atau setidak-tidaknya dua kutub yang menjaganya berotasi pada poros diamnya.
Kita mengenal elemen Api, Air, Tanah, dan Udara yang diadopsi dari zaman jauh sebelum Confusius, dan digambarkan dalam legenda-legenda tiga dimensi buah karya komputer. Masyarakat penyihir di pelosok New Forest, Inggris pada tahun enam puluhan bahkan begitu mencintai orang-orang berelemen air, dan senantiasa berhati-hati saat menyadari tahun berjalan sedang memasuki elemen angin atau kayu.
Dalam realita opini dan perkembangan interaksi, manusia mendapati dirinya bermain dengan persepsi, lalu membentuk kekuatan jati diri. Sejak lahir dikenalkan dengan tujuan penciptaan, manusia senang menggambarkan fenomena ini dalam analogi sekawanan yang menaiki tangga-tangga, di mana satu orang berada pada ketinggian berbeda-beda dengan tujuan yang berbeda-beda pula.Â
Ada yang cukup dengan sepuluh anak tangga, ada pula beberapa yang menanjak tinggi dan merasa segumpalan awan yang baru saja dilewatinya belumlah cukup.
Dalam dimensi egoisme dan kemerdekaan naluriah itulah, agar senantiasa berpikir, makhluk berakal mendapati dirinya terjebak di antara elemen-elemen yang mengandung konsekuensi. Itulah karakter, di mana sebagian orang menikmati keriuhan dirinya di tengah keramaian bak api yang membara, sementara lainnya memojokkan dirinya dalam kurungan emas kokoh di mana ia merasa akan terlindungi, dan tak seorangpun dapat mengganggu-gugat pemikiran serta persepsi lahiriahnya.
Di negeri sederhana yang tak beraturan inilah lahir lima kelompok cendekia yang menonjol, termasuk Penguasa Senyap, si pemilik tahta yang sejatinya tak berkuasa, dan Pembisik angin, pejalan kata yang menguasai arah persepsi manusia-manusia lainnya.
Kelima golongan cendekia berada dalam satu bumi yang sama, tetapi bernaung di bawah atmosfer yang berbeda-beda.
Tidak satupun dari mereka menikmati berlama-lama menjadi bagian dari golongan lain. Dan kalaupun terjadi pembauran, kadang kala itu sifatnya semu, mewakili kampanye karakter atau perwakilan yang tidak jujur, tendensius, atau mungkin muslihat.
Di banyak waktu, tiap-tiap dari lima golongan cendekia ini menikmati keriuhan di kelompok mereka sendiri, dan atau mengurung diri pada apa yang diyakininya sebagai cara aman agar tidak tercemari. Mereka sering kali tidak percaya struktur.Â