SAMAR dalam kemegahannya. Pandanganku tak cukup luas untuk memandangi bangunan itu di dalam kegelapan. Butir hujan yang jatuh membuatku melangkah melawan rumput yang sama menunduknya. Aku nyaris kehilangan tanganmu malam itu, tapi kau terus-terusan memanggil namaku. Seperti langit yang semakin dekat, dan pohon-pohon menggiring kita ke tempat paling gelap.
"Hildan! Di sini."
Suara yang cuma kau pemiliknya. Terkadang membuatku mematahkan ujung pensil saat menulis kata-kata tentang kepedihan hati di atas kertas. Aku merasakan sentuhanmu ketika justru air dingin mengguyur tubuhku jam dua belas malam. Suara itu kembali lagi. Suara yang sama seperti berputar-putar setiap kali aku mencoba tidur.
Kita pernah bercerita tentang si pemegang kunci. Di atas jembatan tembok yang melengkung di atas kolam ikan warna-warni. Saat hujan menjauh, saat kita tak sedikitpun merasa jenuh. Kau nyaris menciumku ketika malam gelap, tapi waktu menarik kita ke sesuatu yang lebih indah. Akhirnya pohon-pohon itulah yang menemani kita tertawa, menangis karena bahagia, dan menaungi saat aku melukis wajahmu penuh warna.
Pemegang kunci selalu tahu kotak tempatnya menyimpan semua barang berharga. Kadang kali ia menawarkan hatinya untuk menjaga kotak orang lain. Menjaga sepenuh hati, tak nyenyak tidur dibuatnya. Apa yang ada di balik pintu dan kotak-kotak itu, tak banyak yang tahu. Tak banyak yang peduli.
"Aku sedang mencari pemegang kunci itu, Hildan."
Aku menerima pernyataan yang lebih mirip pertanyaan merasuk benakku. Harus kujawab apa pertanyaan tak biasa itu? Sampai akhirnya dengan senyuman dingin dan pandangan yang mengarah ke gelombang kecil oleh batu yang kaulemparkan menembus air. Kita bisa duduk berjam-jam di situ. Tanpa ketegangan, tanpa gangguan. Bodoh, karena aku merasa kita seperti kita memegang kunci untuk kamar kita berdua. Dan tak seorangpun bisa membukanya.
"Kita pernah berbeda, Hildan."
Tentu saja, jawabku. Aku sering kali membuatmu jatuh. Sering kali melihat kakimu lemah dan tak berbuat apa-apa. Tanganku lebih sering dingin daripada hangat untuk memegangmu. Tapi kau tetap di sana tanpa satu keluhanpun.
"Kau terlalu sempurna buatku, Hildan."
Kau selalu begitu. Terlalu berani jujur pada sanubari bahwa kita terkadang terjebak bersama hujan. Dan aku tak bisa menaungimu dengan tangan kecil dan satu tangan lagi yang menyimpan dusta. Tak pernah lebih baik setelah itu. Seperti aku terkungkung di dalam kotak emas yang kau pegang kuncinya.