*
Home Up! adalah judul permainan Android yang sedang gandrung-gandrungnya dimainkan Putri. Membangun rumah! begitu kira-kira cara mainnya. Sudah dua jam ia menunggu di sudut meja Quimic’s dan wafel krim zaitunnya tersisa tinggal dua sentimeter di pinggir piring. Dari toilet kemudian muncul wewangian AquaSplash yang segar, mendekat lalu menepuk pundaknya dengan semangat.
“Orangnya belum datang?”
Sosok itu adalah pria idaman, seorang jenius pemeriksaan akuntansi, pakar angka-angka, singkatnya, auditor pajak. Kebersamaan satu setengah tahun yang naik turun tidak sesingkat kenangan meriah bagi Putri bersama seseorang bernama Fahmi ini. Asia terlalu sempit bagi mereka, dan Eropa terlalu merindu.
Putri kerap memuja indahnya Arc de Triumph dan Fahmi menjelaskan sejarah penaklukkan hingga Kuburan Prajurit Tanpa Nama di bawah lengkungannya. Putri mengagumi bentuk Eiffel yang “jantan namun anggun” kemudian Fahmi melengkapinya dengan hitung-hitungan jumlah besi yang diperlukan untuk menopang keempat kakinya. Mereka melebur seperti semen dan tulang-tulang baja, bersatu seperti batu yang meriak-riak di kejernihan sungai. Mungkin karena kecocokan yang lama itu pula, Putri merasa tidak terkejut bahwa lelaki berahang kokoh, beralis tebal, dan berpundak lebar di depannya kini akan jadi suaminya pada bulan berikutnya. Ia menikmati saat-saat Fahmi-lah yang lebih bersemangat tentang pernikahan mereka, mengatur warna gaun sampai lipatan renda di ruang tamu.
“Oh, si pembawa bunga. Dia janji datang jam sebelas, sekarang sudah hampir jam duabelas. Kalau lima belas menit belum juga datang, kita cari yang lain saja.”
“Wah! Tidak bisa begitu. Dia harus datang, sayang. Mereka sudah mengukur rangka dekorasinya dan, sesuai kesepakatan, mereka kasih kita kesempatan untuk memilih bunganya. Di sini, hari ini. Bukankah tematik memang begitu? Mereka menurut keinginan kita. Tenang. Dia pasti datang. Kau kenal dia lebih baik dari aku, mestinya kamu lebih yakin padanya. Ah--ini dia. Aduh, dia naik sepeda kemari?”
Fahmi bangkit dari kursinya melihat United tua berkeranjang itu menikung sebelum dipepetkan ke dinding persis di luar jendela. Air dekoratif di balik kaca memburamkan penglihatan tapi ia yakin si pembawa bungalah yang datang. Dengan terbungkuk-bungkuk, petugas itu masuk dengan koran membalut puluhan warna bunga di pelukannya. Putri, setelah menyadari siapa yang datang, lalu menekan pause di permainan Androidnya dan turut menyambut, coba menyusun kalimat apa yang akan dikatakannya. Pada orang itu, pada lelaki pembawa bunga. Jujur, soal bunga itu sendiri ia tidak terlalu peduli.
**
“Sebetulnya pertemuan ini tidak perlu terjadi.”
Lelaki itu, dengan senyuman lebar yang tersembunyi di tengah kesemrawutan penampilannya, menyodorkan teh melati panas kepada Putri yang duduk di panggung kursi yang lebih tinggi darinya. “Aku tidak begitu senang dengan ini.”
“Ah, kamu. Memang tidak pernah senang benar kalau ketemu aku.” Putri menghardik canda, menyesip tehnya lalu menghela panjang. “Tidak, Irwan. Aku cuma ingin memastikan tidak meninggalkan masalah dengan siapapun sebelum menikah dengan orang yang kucintai. Lagipula, mungkin cewek juga punya pesta bujang-nya sendiri.”
Irwan tersedak. “Kamu sungguh percaya dengan pesta semacam itu?”
“Metaforis, Irwan. Kamu terlalu serius, ah. Aku kemari juga atas seizin Fahmi. Bahkan dia menungguku di mobil. Jadi tenang saja. Aku di sini karena ingin meminta tolong padamu. Untuk yang terakhir kalinya, mungkin, dan cuma bisa kuminta dari seorang sahabat yang paling kupercaya.”
Irwan tersenyum, bersandar di tiang dan mengamati pusaran di gelas tehnya. “Tiga setengah tahun, Putri, kau tidak pernah meminta apapun dariku. Tidak dengan kata-kata, tidak dengan bahasa tubuh. Dekat tapi berjarak, peduli tetapi diam. Kukira aku lebih menikmati masa-masa indah kita dulu yang serba-cuek, formil, dan saling egois kekanak-kanakan. Itu lebih menyenangkan lo! Memperbaiki kebiasaanku sejenak waktu. Tapi kukira, pernikahan memang mengubah orang. Kamu jadi lebih manis, perhatian, dan lebih dewasa sekarang. Fahmi orang yang beruntung.”
“Irwan, tapi ini serius.” Tatapan Putri menajam. “Aku bukan siapa-siapa lagi bagimu, tidak berhak atas apapun, dan juga tidak bisa mengaturmu. Kamu kini bertanggung jawab atas dirimu sendiri. Tapi kalau sahabat memang saling menasihati, anggap saja ini permintaan sekaligus nasihatku ke kamu.”
Irwan tak langsung menjawab. Ia teguk lagi tehnya kemudian menatap Putri dengan curiga. “Apa yang begitu penting kau minta dari orang sepertiku, di waktu-waktu jelang momen penting kehidupanmu? Apa yang begitu menentukan?”
“Ibumu.”
Tak ada kalimat yang keluar dari mulutnya. Bahkan untuk sejenak, Irwan tercekat, tak kuasa menelan bulir teh yang menggantung di rongga mulutnya. Mukanya memerah dan napasnya jadi terganggu. Ia hendak beranjak pergi tetapi Putri lalu menarik rambutnya yang memang gimbal, kebiasaan lama yang susah hilang.
“Sakit!”
“Tolonglah, Irwan. Kita tidak begitu berhasil dalam hubungan tetapi Ibumu begitu baik padaku. Beliau begitu perhatian, penyayang, dan seperti ibu-ibu lain, begitu sabar. Kamu mungkin belum tahu kalau selama setahun setelah kita bubar, Ibumu masih sering meneleponku, menanyakan kabar dan memintaku datang sekadar mampir. Tapi aku tahu itu tidak segampang dulu lagi terlebih setelah aku….” Putri tidak menyelesaikan kalimatnya yang itu. “Ibumu sering menanyakan kabarmu, Wan. Beliau ingin kamu pulang biar sebentar saja. Kamu tidak kangen? Setahuku, dia juga sudah mau menerimamu dan….”
“Ya, menerimaku lalu mempermalukanku di depan saudara-saudaraku yang lain, Putri. Kamu tahu sendiri alasan kenapa aku minggat dari rumah.”
“Iya aku paham. Beliau memang begitu kepingin kamu jadi guru, seperti bapakmu. Tapi setelah dua tahun lewat, aku yakin kemarahan seorang ibu tidak berlarut selama itu. Beliau sayang pada anaknya, beliau sayang kamu. Begitu keras ya hatimu sampai rasa sayang ibumu saja kau abaikan?”
“Hah! Apa pentingnya rasa sayang kalau…”
“Seperti rasa sayang kamu ke aku?”
Irwan meletakkan gelas tehnya dan lalu langkahnya tertahan. Sudah sedari tadi ia berniat pergi dari situ setelah menyadari bahwa obrolan ini membawa maksud yang tidak disenanginya. Ia berdiri mematung tanpa melihat ke belakang, setelah dua langkahnya menjauh.
Putri, dengan suara bergetar, melompat turun dari panggung kemudian berjalan menghampiri Irwan hingga jarak mereka tinggal selangkah. Irwan, yang tak tahu harus bilang apa, bahkan tak bergerak saat menyadari hawa aneh merangsek menaiki punggungnya.
“Ibumu selalu bilang kalau kamu begitu sayang padaku, dan juga menebak-nebak bercanda kalau mungkin aku juga masih sayang kamu. Aku tahu ia menebak-nebak karena setelah bubar aku tidak pernah menyinggung hubungan kita lagi di depannya. Tapi entah, mungkin naluri dan firasat perempuan begitu mudah menyatu, jadi aku tidak pernah menyanggah apapun pendapatnya tentang aku, atau tentang perasaanmu ke aku. Kamu darah dagingnya, dan tidak ada orang yang mengerti kamu ketimbang orang yang melahirkanmu. Tidak tentang penampilanmu, apalagi tentang hatimu. Entah mengapa aku selalu senang dengar beliau bilang ‘Irwan masih sayang kamu, Nak’. Tapi logika yang selalu kamu ajarkan ke aku cepat-cepat mengoreksi bahwa penghormatan lebih penting di atas harapan-harapan tipis seperti itu. Tapi dari rasa cintanya pada kita berdua aku tahu beliau sedang gelisah, gelisah memikirkan anaknya yang mungkin baginya semakin menjauh. Pulang dulu, Irwan. Temui Ibumu. Dan kalau benar perkataan Ibumu tentang sedikit rasa sayang yang tersisa padamu buat aku, tolong sampaikan rasa terima kasihku pada beliau.”
Irwan menjaga keheningan dengan begitu kasar, mengepalkan tangannya dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tak mau melihat tapi merasakan tangan lembut Putri merangkak naik lalu bertahan di pundaknya. Sentuhan simpatik yang begitu hangat, sekaligus begitu jauh. Tapi batas yang seperti itu rupanya berpengaruh, karena Irwan mereda. “Apa menurutmu,” tanyanya pelan. “Yang harus kukatakan pada Ibu?”
Putri tersenyum, menurunkan tangannya lalu menekan tengah punggung Irwan dengan tangan yang terkepal. “Hadiah apa lagi yang paling disenangi perempuan selain keindahan yang wangi? Bawakan beliau bunga. Bunga sama yang kamu pasang di pernikahanku nanti.”
**
Hari yang cerah di Sabtu sore 7 Maret. Fahmi dan Putri, mempelai di singgasana kebahagiaan itu berhias ceria dengan lengkungan mozaik bunga kasturi dan kembang mawar yang diselingi titik-titik deasy di aliran bingkainya. Hamparan bunga juga menghiasi jalan masuk, dinding-dinding kain sampai gelantungan-gelantungan di tengah tenda makan. Lagu Beautiful Girl dinyanyikan suara bariton dari barisan musik pengiring, dan pesta itu diisi tawa canda dan rasa kental keluarga. Dua jam lelah menjamu tamu, Putri mencari-cari seseorang di tengah kerumunan pendatang. Tapi tak ditemukannya.
“Dia pasti datang,” ujar Fahmi. Resmi jadi seorang suami, dengan tenang saja ia melaksanakan tanggung jawab pertamanya menenangkan Putri dari bentuk kegusaran seperti apapun. Rupanya ketenangan itu berhasil, karena sepuluh menit kemudian tamu yang ditunggu-tunggu itu datang.
Potongan rambut pendek dan rapi bersisir samping sejenak tampak aneh di kepala Irwan, dan hampir memecah tawa dari mulut Putri. Tetapi kecantikan tak boleh dirusak oleh emosi berlebihan yang tidak sopan.
“Halo, Nona Putri.”
“Halo, Irwan.” Putri, dengan sumringah, menyambut sahabatnya. Seperti biasa, ia berada di atas panggung dan lelaki itu berada di bawah. “Irwan kamu seharusnya membawa bunga buat aku, tahu enggak?” Melirik nakal ke arah suaminya.
Irwan tertawa, “Tidak lagi, Put. Tidak lagi,” balasnya kemudian menjabat tangan mempelai pria yang sama ramahnya. “Bukan aku yang akan membawakanmu bunga. Fahmi yang akan lebih sering dan itu wajib, ya bro?” Lirik isengnya ke mempelai pria yang malu-malu. “Dan seorang lagi yang mungkin kamu tunggu-tunggu.”
“Siapa?” Putri ingin bertanya, tetapi pandangannya langsung menangkap sosok gemuk berbalut kerudung kuning langsat yang berjalan pelan dengan balutan lurik batik. Tidak salah lagi ia mengenali perempuan dengan senyuman itu, dan tanpa pikir panjang ia melompat turun lalu memeluk. “Oh, ya ampun, Ibu!”
“Terima kasih, Nona Putri, atas nasihatmu tempo hari. Aku bawakan ibuku. Sebagai ucapan terima kasih, dan ucapan selamat untuk kalian berdua.” Irwan coba menahan senyumannya seramah mungkin meski ia sendiri tak memahami bagaimana kejadian ini bisa berlangsung. Ia menikmati momen itu sejenak, dan menyadari kebahagiaan sama yang dirasakan ibunya.
“Terima kasih. Terima kasih.” Putri menahan air matanya. Kemudian memeluk lagi perempuan yang dihormatinya. “Tapi Irwan,” katanya kemudian. “Ini tetap berarti kamu tidak bawa kado buat aku lo! Bunga ini dari ibumu. Darimu mana?”
Irwan tertawa. Ibunya pun tertawa--lebih pada kebingungan.
“Oh, kadoku sudah kukirim dua hari yang lalu.
“Apa?”
“Home Up! Permainan Android yang cocok untuk kalian yang membangun keluarga. He-he-he. Tidak susah membeli update-annya bersi yang penuh berlisensi resmi. Sampai ada level “membangun kebun buah”-nya juga, kalau tidak salah. Besok--setelah bulan madu, tentunya--coba buka ke email, ekstrak, copy, install, dan… voila! Selamat membangun rumah… tangga.”
----------------------------------
Sumber Ilustrasi: Masterlife.com.
----------------------------------
No. 10 - Fandi Sido
Untuk Helatan "Cinta dan Perjuangan" - Fiksiana Community
Kumpulan cerita para peserta helatan ini bisa dibaca di sini.
Ikuti juga semua perkembangan gelaran fiksi Kompasiana lewat akun Facebook Fiksiana Community.
Untuk pasangan berbahagia Fahmi Idris "Ghumi" dan Putri Gerry,
Selamat menjalankan tanggung jawab baru sebagai suami dan istri, sepasang kekasih yang saling menjaga sampai tua. Saling mengisi hati dengan macam warna. Teruslah berbagi cerita.
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H