[caption id="attachment_353618" align="aligncenter" width="580" caption="Karto Utomo, seorang lansia, perajin mainan tradisional sedang merapikan Payung Megar di rumahnya di Dusun Pandes, Bantul (9/11). Dusun Pandes menjadi pusat pembuatan mainan anak tradisional yang kini mulai langka. (Foto: FS)"][/caption] Saya melihat pria kurus, ramah, dan lincah memeragakan eggrang di satu stan gelaran Semarak Kuliner Jogja yang disponsori Kompas Gramedia di Pasar Ngasem, 25 Oktober lalu. Sosoknya begitu kentara karena berada di ketinggian hampir dua kali badan orang dewasa. Joko, 27, pria yang sore itu bertugas berjualan dan menghibur di antara para pengunjung, menerima saya untuk mencoba peruntungan. Eggrang, permainan “kaki bambu” dengan dua pijakan kaki itu memang belum pernah saya jajal sejak mengenalnya pertama kali dari buku-buku zaman SD. “Jangan pulang sebelum bisa (main eggrang) lo!” Joko mengultimatum. Saya balas, “Oh iya pastinya!” dengan begitu percaya diri. Telajur banyak turis yang siap memotret. Tetapi, jangankan berjalan bambu dengan pijakan satu setengah meter di atas tanah seperti yang lihai dijingkat-jingkatkan Joko, mencoba ngimbangi eggrang seukuran standar saja saya kerap jatuh. Bayangan bermain eggrang yang di kepala saya kayaknya gampang ni, akhirnya buyar. Bambu-bambu itu membuktikan kesaktiannya. Saya jejakkan dua kaki di pijakannya tetapi bambunya oleng ke depan, ke samping, kadang tiba-tiba terpeleset dan jatuh. Penonton tidak begitu kecewa, malah menertawakan. Menyerah, saya lalu serahkan eggrangnya ke sekelompok pelajar Papua yang dari ekspresi mata-mata mereka, nampak jauh lebih penasaran. Oleh Joko saya lalu diajak ngobrol, di pojok stan angkringan yang menjajakan aneka mainan tradisional itu. Berlindung di bawah layang-layang yang mulai direngeki oleh satu-dua anak kepada bapak-ibunya, Joko menjelaskan apa yang dijajakan kelompoknya di stan beraneka rupa. “Semua (mainan) ini dibikin di Pandes,” ucap Joko memamerkan wayang karton kepada saya. Obrolan sore di Ngasem itulah yang mengajak saya mengunjungi langsung Kampung Dolanan Anak di dusun Pandes, kelurahan Panggungharjo, Sewon, Bantul, Minggu (9/11) kemarin. Sekilas, Pandes nampak seperti dusun-dusun di daerah suburban lain: jalanannya kecil, sebagian masih sawah terhampar, sementara gerbang berangka besinya yang bercat hijau sudah berkarat di sana-sini. Ada pos ronda, piet onthel, dan anak-anak bermain. Tetapi begitu sekitar 50 meter masuk kampung, mulailah saya merasakan atmosfer perajin. Ada banyak plang penunjuk yang bertuliskan nama-nama orang, lengkap dengan tanda panah ke arah rumah-rumah. Warna-warni. Sekilas agak lain karena biasanya plang-plang menunjukkan nama sebuah tempat. Di sebuah padepokan yang berada tak jauh di selatan jalan kampung, tertulis judul "Kampoeng Dolanan". Menurut cerita Joko, Pandes mulai digagas menjadi Kampung Dolanan dalam masa pemulihan pasca-gempabumi mengguncang Yogyakarta (khususnya Bantul), Mei 2006 silam. Waktu itu, lanjut Joko, bantuan pendampingan psikologis bagi anak-anak korban gempa melibatkan aneka mainan tradisional yang sebagian besarnya juga diproduksi di Pandes. [caption id="attachment_353620" align="aligncenter" width="294" caption="Payung Megar yang sudah jadi. (Foto: FS)"]
[/caption] Mainan-mainan seperti klotokan (diputar kemudian berbunyi),
othok-othok, wayang kertas, payung
megar,
kurungan manuk, gamelan,
angkrek (semacam boneka karton yang tangan dan kakinya bisa digerak-gerakkan dengan menarik seutas tali), dan
blimbingan dibagikan rata sampai ke kampung-kampung tetangga. Upaya itu ternyata berdampak sangat baik pada mentalitas masyarakat, sehingga dilanjutkanlah dalam bentuk acara jangka panjang. Bantuan kemudian datang saat sebuah bank swasta menawarkan pendirian pendopo kegiatan masyarakat dan tempat bermain anak.
Dibuat oleh Lansia Saya lalu diterima di sebuah rumah khas Jawa. Di mana saya menyaksikan sendiri bagaimana tangan-tangan para perajin mainan anak itu bekerja. Oh iya, saya memutuskan meliput Pandes bukan hanya karena dusun ini melestarikan mainan tradisi, tapi juga karena para perajin yang membuat dolanan anak ini adalah kaum lanjut usia. Di serambi teduh, saya diterima oleh Kardi, pria 48 tahun yang menceritakan sedikit-banyak sejarah Pandes hingga terkenal sebagai dusun tempat pelestarian mainan anak tradisional. Kardi jugalah yang menyilakan saya menengok
si mbok-nya, Karto Utomo, di sayap lain rumah yang berhadapan langsung dengan halaman. Perempuan tua yang oleh orang-orang kampung terkenal dengan panggilan
Mbah Karto itu langsung menyambar kebaya lusuhnya dari kursi kemudian terkekeh-kekeh. Tangan-tangannya lincah memilah kerangka-kerangka bambu, membalutnya dengan kertas minyak kemudian merekatkannya dengan nasi yang dijadikan lem. Lalu dengan sedikit gulungan dan gosokan tangan merapikan, jadilah, payung-payung megar warna-warni yang bisa dikatup dan dibuka. Menurut Kardi, umur ibunya itu setidaknya sudah 100 tahun. Tapi dengan penggambaran usia seperti itu, sulit dipercaya Mbah Karto masih telaten membuat aneka mainan yang memerlukan ketajaman penglihatan, pengukuran, dan penghitungan. [caption id="" align="alignnone" width="271" caption="Wayang orang dan Klotokan (Foto: FS)"]
Wayang orang dan Klotokan (Foto: FS)
[/caption] “Wah dulu waktu
si mbok masih kuat, dia ini jalan kaki dari Pandes sini sampai ke Pasar Gamping, jualan!” Saya terkejut mendengarnya. Meskipun di banyak daerah Jawa angka harapan hidup sangat tinggi sehingga kakek-nenek renta terlihat biasa saja saat berjalan memanggul barang-barang berat, tetap saja penuturan itu bagi saya luar biasa. Sekadar informasi, jarak dari Pandes di daerah Bantul hingga ke Gamping di Sleman itu sekitar 10 sampai 15 kilometer. Dengan sepeda motor saja, dibutuhkan waktu tempuh lima belas sampai duapuluh menit. Kardi bercerita, sejarah kerajinan tangan aneka permainan anak di Pandes agak sulit dilacak. “Kalau
si mbok cerita, konon dulu di tahun-tahun 1940-an, zaman penjajahan itu, sudah banyak yang bikin dolanan di sini. Siapa yang mulai, saya tidak tahu,” ujarnya. [caption id="attachment_353623" align="aligncenter" width="450" caption="Pak Kardi bercerita tentang sejarah Pandes menjadi kampung dolanan anak, sambil menunjukkan beberapa mainan seperti Angkrek yang saya mainkan itu. (Foto: FS)"]
[/caption] Konon, selain bertani, dulu orang-orang di Pandes gemar berdagang. Karena waktu itu permintaan pasar untuk mainan anak-anak sangat tinggi, mulailah bertambah satu demi satu perajin yang membuat mainan. Mereka bekerja dari rumah-rumah, kemudian menjualnya sendiri-sendiri di pasar Gamping dan beberapa pasar sekitar Bantul. Usaha mainan kala itu, menurut Kardi, orang-orang Pandes bisa sejahtera sampai menyekolahkan anak-anak mereka.
Tergusur Mainan Plastik “Sekarang, sulit mainan beginian bersaing di pasar. Kalah sama mainan plastik!” ujar Kardi sambil tersenyum. Menurutnya, dengan harga jual yang hanya Rp2.000,- per biji, cukup sulit menjual dolanan anak di pasar seperti dulu. “Kebanyakan sekarang dibikin untuk pemesanan saja, pameran, atau sekolah-sekolah di Jakarta, ada. (Bikinnya sejumlah) seratus, kadang dua ratus, masih bisa,” tambahnya. Untuk membuat sejumlah itu mainan beraneka bentuk, tiap perajin menghabiskan biaya sekira Rp50.000,-, termasuk untuk membeli kertas karton polos dan tinta khusus untuk pewarnaan. “Kalau dulu masih bisa pakai kertas-kertas bekas, sekarang sudah susah, jarang dapat kertas atau karton bekas seperti ini,” ujar Kardi sambil memainkan angkrek yang separuh bagiannya ternyata bergambar merek makanan ringan.
Bagian dari kehidupan Tapi nampaknya, dengan persaingan ekonomi sekeras itu pun dolanan anak bisa berjuang. Panji Utomo, pengurus pendopo dusun Swadaya Pandes yang juga pendamping Kampoeng Dolanan menjelaskan mengapa ia optimistis tradisi mainan anak ini akan bertahan. “Sejak awal, Pandes melakukan semuanya secara swadaya. Adapun bantuan pendopo atau gedung rapat ini hanya bentuk fisik. Tapi secara mental, masyarakat Pandes melakukan ini semua karena mereka cinta. Mereka senang dengan yang mereka kerjakan,” ujar Panji saat menerima saya di ruang rapat yang saat itu sedang memutar beberapa video kegiatan Kampoeng Dolanan hasil liputan sejumlah stasiun televisi. Menurut Panji, apa yang disaksikan di Pandes adalah proses yang terjadi secara alami. “Sekarang kampung pembuat
dolanan anak di Jogja sudah ada beberapa, tapi kebanyakan mereka jual untuk kebutuhan ekonomi. Pandes tidak. Semua karena kebiasaan, bagian dari kehidupan
si mbah-si mbah ini.” Menurut data yang dirangkum tim pendampingan, saat ini perajin
dolanan anak di Pandes tersisa 12 orang, di mana 8 orang di antaranya adalah orang-orang lanjut usia, antara 80 hingga 100 tahun lebih. Sebagian dari para perajin tua sebelumnya mulai pensiun karena alasan kesehatan. Sementara dari sisanya, ada yang masih berusia 28 tahun. “Kami yakin ini akan lestari,” ujar Panji mengangguk mantap. Bagian dari kekayaan budaya bangsa itu kini mereka upayakan dengan membentuk sanggar-sanggar seni kerajinan, memublikasikan media edukasi berupa film dan cerita, juga mendokumentasikan sebanyak mungkin tradisi
dolanan anak. Tidak cuma yang berupa mainan berwujud benda, tetapi juga jenis-jenis permainan tradisi, cerita-cerita dongeng, ataupun laku kesenian yang bisa ditampilkan dalam wujud lebih baik dan menyenangkan. Saat saya bertanya harapan, tidak satu pun narasumber saya di Pandes menyinggung “dana” atau “modal” sebagaimana saya duga sebelumnya. Malahan, Panji berharap bahwa Pandes bisa mengilhami lebih banyak dusun atau kampung untuk ikut melestarikan
dolanan anak. Sementara Kardi, lelaki paruh baya yang kini ikut membuat
klotokan dan sibuk menghadiri undangan-undangan perwakilan Kampoeng Dolanan itu hanya berujar, “Sepuluh tahun, dua puluh, lima puluh tahun lagi, mainan seperti ini masih bisa bikin orang senang. Ini punya kita, dari dulu sampai besok-besok.” [caption id="attachment_353626" align="aligncenter" width="374" caption="Penunjuk arah ke rumah-rumah perajin dolanan anak Pandes. (Foto: FS)"]
[/caption] [caption id="attachment_353629" align="aligncenter" width="300" caption="Inilah Kampoeng Dolanan Pandes yang berjuang sebagai pelestari. (Foto: FS)"]
[/caption] Di sebuah pojok rumah saya menemui sekelompok anak-anak ini, sedang bermain dengan cerianya. Saling tunjuk dan saling tertawa, meledek-ledek yang belum mandi dan yang tidak bisa main gasing. Wajah-wajah mereka jauh lebih bersinar ketimbang anak-anak metro penggemar
smartphone yang kerap saya temui di bandara ataupun pusat perbelanjaan. Sementara para perajinnya masih menikmati masa tuanya dengan memberi kemanfaatan tradisi
dolanan anak, Pandes mempertontonkan optimisme sederhana bahwa apa yang mungkin tergerus zaman, masih sangat bisa dilestarikan. Bagi saya, potret ini serupa benteng kebudayaan yang masih berdiri kokoh. Hingga laporan ini saya tulis, Kampoeng Dolanan Pandes sedang siap-siapnya menyambut kunjungan oleh rombongan sekoah, rencana pameran akhir tahun yang diminta oleh beberapa lembaga, dan berbagai rangkaian acara yang digagas dan disponsori sendiri oleh warga setempat. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya