Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pagar

4 Februari 2014   07:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:11 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Pada dasarnya orang penuh pengertian, Samin.”

Sodik menerawang langit sebentar. Kalimat yang keluar dari mulutnya barusan seperti telah lama direncanakan oleh laki-laki empat puluh tahun ini. Posisinya berdiri persis di tengah depan tanah yang dibangun itu, memeluk dada dan membelakangi matahari. Sudah tiga bulan pembangunan rumahnya ini, dan Sodik berpikir sudah waktunya menyampaikan isi hatinya. Mungkin, suatu hal yang akan dianggap sebagai jawaban atas pertanyaan orang-orang. Terlebih, ini menyangkut hal kelaziman yang sejak rumah itu diniatkan dibangun, telah mengundang rasa heran dan banyak pertanyaan dari warga kampung.

Kalau dibilang orang kampung, --dengan tidak bermaksud mengatakan bahwa itu berarti semua orang, mungkin Sodik harus pakai kalimat yang lebih hati-hati. Kalimatnya harus tertata baik dan maksud hatinya tidak boleh menyinggung satu orang pun. Tapi atas keputusannya atas rumah barunya itu, Samin, seorang paruh baya dengan rambut peraknya yang berserak di ujung-ujung kepala, termasuk orang-orang yang paling heran. Maka ketika didengarnya kalimat itu keluar dari mulut calon tuan rumah baru di kampung Tiyasan, yang tak lain adalah karib masa kecilnya sendiri, Samin dengan hati-hati juga menyergah.

“Apa maksudnya itu?” ujar Samin, setelah sepotong pisang goreng dilumat dan ditelannya.

Bukan kebetulan lelaki paruh baya berambut perak ini terlibat dalam tim delapan –istilah yang mereka buat sendiri untuk menyebut delapan buruh bangunan  yang bertanggung jawab atas selesainya rumah itu. Dan jelang zuhur begini, ketika biasanya seorang pekerja merindukan momen tenang untuk mengobrol barang sebentar, Samin memilih sang tuan rumah. Pernyataan filosofis yang dilontarkan Sodik barusan, kadung menggelitik pikirannya.

“Coba lihat rumahku, Min,” ujar Sodik, takzim mengagumi proses calon huniannya terbentuk sepotong-demi-sepotong. “Orang pasti sudah bosan mengira-ngira kenapa kupilih membangunnya tanpa pagar.”

Samin menggeleng. “Jangankan orang-orang!” selanya berapi-api. “Aku saja yang kenal kau sejak SD, masih enggak habis pikir. Kenapa sih rumah bagus dibiarkan telanjang polos begini. Orang-orang sini pada takut kemalingan, eh… kau malah ambil risiko. Bukannya istri anak-anakmu kau taruh dalam bahaya, kalau begini modelnya? Nah, mereka juga protes ‘kan kemarin-kemarin? Sekarang gimana? Mereka sudah setuju?” Suara hati yang ia pendam berhari-hari akhirnya terlontar juga.

“Belum.”

“Nah llooh, itu. Kenapa masih menimbang-nimbang?”

“Memangnya kau mau membongkar terus bangun ulang?” Kalimatnya itu tak kuasa dibalas oleh Samin, maka Sodik menghela napas dalam-dalam. “Bukan menimbang-nimbang lagi, Min—tapi sudah mantap. Yani dan anak-anak bisa segera mengerti. Aku yang harus menjamin mereka kalau soal ini.”

“Lantas?”

Sodik mundur dan nimbrung duduk di samping Samin. Segelas kopi ditenggaknya juga. “Kalau keluargamu harmonis dan penuh cinta, ide macam apapun akan jadi bahan bicara yang enak. Pikiranku cuma satu—bagaimana aku menjaga ketenangan orang-orang kampung sini soal rumah ini nantinya. Aku tahu kampung ini menjunjung tinggi prinsip keamanan dan keseragaman pemahaman. Aku hargai sekali itu. Dan ketika aku datang membawa sesuatu yang berbeda, bermaksud menyampaikan pesan tertentu yang tak banyak orang mengerti, aku tetap takut menempatkan orang-orang kampung pada risiko yang tidak perlu. Soal pagar, ini keyakinanku sendiri. Meski tidak mungkin aku paksakan pendapatku soal pagar ke setiap warga di sini, pemikiranku bilang bahwa aku jangan mengalah. Aku sudah sering jelaskan ke kau, bahwa pagar sejatinya pembatas halaman saja. Biar hukum agama dan hukum negara tidak dilangkahi oleh dua orang-orang yang bertetangga. Tetapi pagar bukan pelindung agar orang-orang tidak mau atau segan menginjak halaman rumahku. Pagar bukan halangan untuk orang-orang yang ingin melihat pintu depanku, atau yang ingin membuat suasana lebih dekat dengan saling sapa. Bukannya sombong atau bagaimana ya, Min. Cuma aku memilih suasana yang normal-normal saja, sebetulnya. Yang jelas, he-he-he…. Aku bisa hemat biaya bikin pagar lebih dari duapuluh juta!”

Setelah jeda sejenak, membiarkan kopi hangat mengalir melewati kerongkongannya, Samin mengangguk dan mencoba paham.

“Terus terang aku belum mengerti. Aduh maaf…,” Samin mulai mengulat dan tidak tenang di tempatnya. “Tingkat pendidikan kita beda, saudaraku. Yang aku mengerti sebatas apa yang kelihatannya pantas dan yang tidak. Bagus kalau kau tetap mementingkan kepentingan orang hidup bertetangga dan saling damai, lebih dekat. Dulu kan memang kita di desa seperti itu.”

Lalu lalang angkutan pasir, batu bata, sampai nampan berisi segepok gorengan tempe dan teko kopi baru memberi mereka ketenangan sejenak, sembari menikmati sapuan angin yang turun dari arah utara. Suasana kampung terasa kembali, sampai akhirnya Samin menukas.

“Begini saja, biar aku bantu kasih pengertian lagi ke warga, pelan-pelan. Sekarang, kita selesaikan rumahmu.”

**

Sudah dari dulu Sodik diajarkan percaya pada hati nurani, untuk yakin pada kebaikan hati dan rasa pengertian manusia. Menurutnya perbedaan pandangan malah kesempatan buat orang-orang mempertemukan mufakat, mengeluarkan unek-unek yang selama waktu tertahan. Sodik lahir dan tumbuh di kalangan pondok pesantren, masa yang mengajarkannya pelajaran penting lewat sang bapak. “Bahwa Allah akan menjaga hambanya dengan sebaik-baiknya.”

Soal barang, isi hati, anak-istri, sampai amanah jabatan akan diurus oleh Yang Maha Kuasa, setelah manusia mengupayakan sebatas yang diyakininya. Meski hidup dengan wejangan-wejangan religius nan filosofis, Sodik tidak serta merta tumbuh dewasa sebagai anak pondok yang kolot. Bapaknya yang seorang penting di pondokan malah membawanya belajar ilmu Hubungan Internasional Sodik mendapatkan pekerjaan yang jauh dari baju koko, peci, dan tasbih. Yang ditanamnya di dalam benak sampai saat ini adalah bahwa manusia harus membangun hubungan kemanusiaan yang kuat, sambil mempelajari kedekatannya dengan Tuhan. Sodik kemudian menganggap, bahwa caranya hidup adalah cara Tuhan mengajarkannya memaknai hubungan antar-manusia itu sendiri. Dari semua pemikiran inilah, kasus pagar berawal.

Buku Sirah Nabawiyah karangan Anwar Zaidi diletakkan dengan keras ke atas lantai berlapis tikar. Dua-tiga lelaki sepuh berkopiah hitam lantas terkejut dengan bunyi itu, membuat orang yang meletakkannya barusan tersenyum-senyum meminta maaf dalam bahasa Jawa. Rapat pertemuan warga RT 10/RW 46 secara khusus membahas rencana penyambutan warga baru, dan rencana pembangunan rumah baru milik Sodik Al Gafur. Setelah mendengar rencana bahwa pemilik rumah ingin menghilangkan pagar dari kompleks halaman dan rumahnya seluas tujuh ratus lima puluh meter persegi, orang-orang dan para tokoh kampung saling pandang.

Nyuwun sewu, tunggu sebentar, Pak Sodik,” ujar Misbah, ketua takmir yang juga ketua RT setempat. Menampung masukan spontan penuh keterkejutan dari lima atau sepuluh orang di ruangan tamu yang bergema bak stadion itu, sang pemimpin rapat meminta tuan tanah menjelaskan alasannya ingin membangun rumah tanpa pagar.

“Kami sebenarnya belum mengerti. Maksud Pak Sodik, Pak Sodik tidak bikin pagar apapun di sekeliling tanah Pak Sodik nantinya?”

“Iya benar, Pak Misbah. Rumah saya itu di sebelah kanannya kan ada rumah Pak Toni. Sementara di samping kirinya ada langgar dan gang kecil tempat anak main-main, mengaji. Saya pikir tidak perlu dibatasi dengan pagar. Sebidang kecil tanah yang nantinya akan saya jadikan kebun buah, boleh dimasuki siapa saja. Kami tidak akan batasi.”

“Bagaimana kalau orang luar yang melintas masuk? Masak pagar depan juga tidak dipasang?” Demikian tanya Toni, yang merasa perlu angkat suara lantaran namanya lanjur disebut-sebut. Ia juga berposisi sebagai ‘orang yang berkepentingan’ soal diskursus rumah baru ini.

“Rencananya, bagian depan akan langsung saya bangunkan garasi menghadap ke utara, jadi pintu garasi itu sekalian jadi bagian paling depan, sedikit saja. Kalau dimaksudkan orang-orang luar kampung ini berpotensi mengganggu keamanan rumah, saya tidak perlu khawatir. Saya serahkan ke Allah. Lagipula, saya percaya dengan keamanan kampung Tiyasan. Ronda kan jalan tiap malam, saya dengar-dengar. Pak RT sudah menjelaskan sebagian dari keadaan kampung ini. Dan itu membuat saya tambah yakin, bahwa rumah saya nantinya akan baik-baik saja.”

“Tunggu dulu, bukan begitu maksud kami, Pak Sodik.” Peserta rapat lainnya, Haji Husein, nimbrung setelah merapikan pecinya yang mengkilap. Soal keamanan, dirinya yang menjabat Koordinator Keamanan Kampung punya pandangan sendiri. “Keamanan kampung memang sudah diatur, jadwal ronde insya Allah akan sangat ketat. Cuma, ya… namanya marabahaya, kita manusia tidak pernah tahu aralnya. Maaf-maaf saja ini ya, bukannya apa-apa. Saya takutnya, sewaktu-waktu ada niat jahat yang menyasar rumah sampeyan, tapi malah yang kena getahnya rumah lain. Rumah Pak Toni, atau siapapun. Tentu tidak bijak kalau menyalahkan tiap ada pencurian… ke adek-adek pemuda ronda atau koordinator keamanan.”

Hampir semua orang peserta rapat itu mengangguk-angguk setuju, kecuali Samin yang duduk memeluk lutut di pintu sembari sesekali “mengawasi” lalu-lalang makanan dengan menelan ludah.

“Niat saya, bapak-bapak, ibu-ibu… adalah membangun kedekatan dengan warga sekalian. Saya percaya, harta tidak akan datang dan pergi tanpa alasan. Begitu pula rumah dan semua bagiannya. Kalau memang saatnya pergi, akan pergi karena Allah. Tapi saya memilih yakin pada kehendak Allah. Dengan begitu, saya harap kekhawatiran kita semua bisa dihadapi dengan iman. Rumah saya, begitu juga dengan kampung ini, semoga dilindungi Allah. Saya mohon kesepakatan dan pengertian bapak-bapak sekalian. Soal pagar ini, akan kita lihat bagaimana hasilnya nanti. Tetapi sampai sekarang ini, saya minta dukungan bapak-bapak sekalian untuk membentuk rumah kami dengan cara kami sendiri.”

Setelah orang-orang saling pandang dalam diam, akhirnya keputusan itu disetujui juga.

**

Rumah satu lantai dengan empat halaman di empat sisinya itu akhirnya rampung juga. Tiga pohon lengkeng berdiri di sekitarnya diselingi pohon-pohon pisang yang sudah jauh sebelumnya. Rumah itu rapi dengan pintu kayunya, gayanya minimalis dengan dua jendela di depan, dan sebagian atap bagian belakang yang difungsikan sebagai tempat jemuran merangkap kandang kelinci. Sementara sebagai batas tanahnya dengan gang kecil dan musola di sebelah selatan, Sodik menempatkan jajaran bunga yang pangkasannya rapi setinggi pinggang orang dewasa. Dan di sebelah utaranya jajaran pohon bambu kuning ikut memperindah dinding luar rumah tetangganya.

Sodik menikmati hari-harinya dengan perasaan yang sangat baik. Istri dan anak-anaknya tidak ada keluhan dengan lingkungan sekitar, akrab dan damai. Ronda berjalan ketat dan semuanya aman. Tidak butuh beberapa bulan tinggal sampai Sodik memutuskan bahwa kehidupannya mereka baik-baik saja bahkan, lebih baik dari sebelum-sebelumnya.

Lima bulan berlalu, semuanya baik-baik saja. Anak-anaknya menikmati sekolah baru mereka; istrinya sudah akrab di ruang-ruang pengajian dan arisan. Rumahnya mulai diramaikan dengan beberapa anak yang mampir main di halamannya di sore hari kala ikut kelas mengaji, oleh para pedagang siomay dan bakso yang bernaung di bawah kanopi, atau anjing-anjing dan kucing peliharaan tetangga yang tetap harus diawasi. Sodik bisa bekerja dengan baik dan tetap aktif di takmir masjid.

Semuanya mengalir dan mudah dilupakan.

Akan tetapi, memasuki akhir tahun pertama, Sodik mulai merenung di tengah malam. Hal-hal yang mengganggu mulai membuatnya gusar. Pikirannya mulai diganggu oleh suara-suara dan bunyian yang tidak ingin ia dengar –meskipun sebenarnya cukup sering ia dengar. Dari bunyi gemerisik seperti orang menembus barisan bunganya, bunyi-bunyi lemparan batu di genteng, sampai gonggongan anjin tetangga yang sepertinya mengendus gerak-gerik tidak mengenakkan. Untuk beberapa lama Sodik diamkan, percaya pada kekuatan batinnya selama ini bahwa rumahnya akan baik-baik saja. Sampai akhirnya, di ujung-ujung pekan ia menelepon Samin.

“Kenapa baru kau rasakan sekarang?” tanya Samin sore berikutnya, ketika sudah duduk di ruang tamu Sodik dengan dua piring pisang goreng panas yang menggoda. “Mulai ada yang mengganggu?”

“Sebetulnya bukan soal bunyi-bunyian yang mengganggu dari luar, Min.” Sodik, dengan meremas-remas tangannya sendiri yang dijepit di antara dua lutut, coba menguraikan. “Kalau itu semua aku sih terbiasa. Yani enggak pernah mengeluhkan, karena toh ia sudah mengerti. Anak-anak juga tidak terganggu tidurnya.”

“Terus?”

“Biar aku tunjukkan sekalian.”

Sodik lalu mengantarkan sahabatnya itu berjalan mengitari rumah, sampai tiba di halaman belakang. Pohon-pohon jambu, nangka dan talok yang arah tumbuhnya mulai saling menghalangi jadi semacam dinding pertahanan dari arah belakang. Sodik lalu menunjukkan sesuatu di dinding yang membuat Samin terperangah, menutup mulutnya dengan tangan, kemudian muntah-muntah.

“Baru aku saja yang melihat ini, anak-anak belum tahu.”

Di dinding itu, tercorat-coret berantakan dengan noda merah yang kental, tulisan kata-kata ‘MATI’ dan ‘PERGI’ saling tindih, silang-silang mengerikan. Seakan-akan penulisnya begitu geram dan sengaja memancing ketakutan.

“Kelinci anak-anak. Satu ekor kutemukan di bawah kakimu itu tadi pagi, lehernya hampir putus. Kelinci di atas itu sudah baru lagi aku beli biar anak-anak tidak sadari apa-apa. Nah, sahabatku Samin. Menurutmu, apa yang harus kulakukan?”

Samin yang mengaku pertama kalinya melihat ancaman mengerikan begitu mengaku tidak banyak ide. Ia sempat meminta Sodik untuk melapor ke pejabat RT atau polisi, namun Sodik menolak dengan alasan mungkin itu belum perlu. “Tapi siapa tahu ini ancaman serius buat keluargamu!” bentak Samin kemudian. “Maaf, Sodik. Kita sudah lama dekat, dan kau percaya padaku kan?”

“Iya. Benar itu.”

“Yang begini ini, aduh. Ini sudah parah. Mungkin ada kaitannya dengan pertahanan rumahmu yang memang rapuh, atau keyakinanmu soal pagar dan hal-hal lain yang sulit diterima warga sini. Kau seperti membuka pintu untuk kejahatan masuk. Ini buktinya.”

“Astagfirullah, terang bukan itu tujuanku sejak awal membangun rumah seperti ini, Min. Sumpah!”

Lha ini? Apa kau tidak berpikir bahwa hal yang lebih parah dari ini mungkin terjadi besok-besok? Masih berani menaruh keluargamu di risiko-risiko, ketimbang keluarkan dua puluh juta untuk aku bangunkan pagar?”

Maka spontan saja, Sodik melirik curiga pada Samin. Hatinya begitu terganggu dengan kata-kata menyinggung uang barusan. Ia mulai berpikir-pikir dan menimbang dalam hati. Entah apa yang dilakukan Samin kala malam.

*

ilustrasi: Pagar Klasik (bengkellistriktangerang.wordpress.com)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun