OBITUARI
Charles Badwin
Ia berlari saat orang lain berjalan. Ia melompat saat orang lain berjinjit. Kemenangan menurutnya adalah ketika seseorang menemukan apa yang telah lama dicarinya, dengan perjuangan yang tak pernah disangkanya. Mengenal seorang Charles Badwin membuka mata tentang apa yang perlu dihadapi dalam hidup. Menurutnya, karena takdir telah ditentukan oleh Tuhan, tidak ada tujuan lebih penting dari kehidupan manusia daripada menemukan diri sendiri, seutuhnya. Untuk kekurangan yang disadari lebih dulu, untuk kelebihan yang ditemukan belakangan.
Alasan sama mengapa ia memilih mendiamkan penyakit gagal ginjalnya selama hampir tiga belas tahun.
Charles Badwin lahir di Langkat, Sumatra Utara dari sepasang pedagang kayu yang konon pernah ikut terlibat dalam peperangan Bukittinggi. Kisah hidupnya kemudian berlanjut lebih banyak dalam dunia Literasi, meski ia sendiri membenci kerja jurnalistik yang akrab dengan kerja kepenulisan. Suatu hari ia pernah bilang kalau menjadi wartawan memang akan membuatmu jadi penulis, tapi penulis yang dicongok hidungnya. Menulis bukan karena inspirasi, tapi tuntutan, dan itu bukan kemerdekaan seperti yang sejatinya ada dalam roh setiap pengarang yang melahirkan kisah-kisah.
Mungkin Charles berpikir tugasnya membangun dunia literasi Indonesia belum rampung hingga akhirnya ia meninggal. Meski demikian fakta-fakta kembalinya orang-orang yang dulu membencinya menyiratkan tanda bahwa suara-suara yang terbuang itu masih akan diperjuangkan, entah oleh siapa. Charles bukan seorang pembenci pemerintah, akunya suatu hari dalam wawancara televisi. "Yang saya benci adalah sikap abai orang-orang mengerti. Mereka geram tapi tidak bertindak, kupingnya muak tapi tetap menyimak."
Charles pernah berpesan yang saya pikir adalah candaan, bahwa jika ia meninggal, ia ingin bukunya difotokopi sebanyak mungkin untuk dibagikan ke semua sekolah di pelosok negeri. Dan kalau ada yang ingin membuang atau membakar buku-bukunya, biar saja. Karena itu berarti paling tidak mereka mulai berpikir untuk sesuatu yang mungkin lebih baik.
"Menulis apa?"
Pertanyaan itu tidak terjawab. Di pikiran orang yang ditanya, yang sedang mengetik itu, kerangka ide yang telanjur utuh pantang untuk dibuyarkan oleh hal apapun saat semua fungsi kinetisnya bekerja dengan sempurna.
"Kau menulis terlalu banyak."
Tukang ketik menghentikan ketikannya. Kalimat seperti itu bukan pertama kali ia dengar dalam dua minggu terakhir, akan tetapi ia selalu mendapatkan pesan berbeda. Jika minggu-minggu sebelumnya istrinya itu berkata yang sama untuk alasan pertemuan makan malam yang hampir batal, malam-malam kemarin banyak karena mereka mungkin kuran mempunyai waktu berkualitas untuk cerita-cerita yang bisa dibagi. Pengetik engangkat telunjuknya meminta satu-dua menit lagi -karena jemarinya masih asyik menari-nari di atas papan tombol-akan tetapi yang terdengar tak lain adalah ketukan di meja.
Yang mengetik lantas melihat air muka istrinya yang seperti sudah tidak tahan diabaikan, kemudian menyeringai dan bangkit.