Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Nasi Pak Guru

24 Februari 2011   13:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:18 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Selalu ada berkah dalam segumpal nasi. (funini.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Inilah segumpal nasi seperti kebanyakan makanan. (funini.com)"][/caption] Sruuuupt.... Pak Guru menikmati tegukan pertama teh susunya. "Ah.... Rasanya nikmat sekali minum teh susu hangat di petang menjelang maghrib begini." kata Pak Guru memulai pembicaraan empat mata kami yang sangat santai sore ini. Hari menjelang malam Jumat ini rasanya begitu rileks, perasaan begitu damai sehingga duduk di sisi meja makan ruang tengah rumah rasanya tenang sekali. Sesuatu yang sangat jarang terjadi. Pak Guru baru saja pulang dari kampus. Setelan kemeja merah bergaris-garis dengan balutan dasi motif kebiruan belum ia tanggalkan. Ya, Pak Guru sudah 3 bulan menetap bersamaku dan kawan-kawan di rumah kontrakan kami. Kami-kami ini bertugas sebagai mahasiswa S-1, sedangkan Pak Guru membenarkan kewibawannya sebagai mahasiswa S-2. Segala pancaran itu pun selalu nampak setiap kali kami melihat dasinya berayun atau menghirup aroma parfum dari kemejanya setiap kali berpapasan. "Mari makan mi, pak." sapaku seadanya. Tidak rela juga rasanya membagi mi rebus instan yang porsinya bahkan tidak cukup untuk perut kecilku ini. Tapi rasa hormat yang wajar melontarkan sapaan basa-basi semacam itu kepada orang yang dihormati. Sesuatu yang sebenarnya sering terjadi di luar sana. "Ya, silakan. Ini saya mau minum teh dulu. Enak sekali." Pak Guru menjawab dengan senyum sebelum akhirnya ia menempelkan bokong dan punggungnya tepat mengisi ruang kursi kayu itu. "Rasanya waktu cepat sekali ya berjalan." Pak Guru kembali berucap setelah beberapa kali meneguk teh susunya yang nampak kecoklatan di dalam gelas bening tak bertelinga dan bermotif bunga-bunga itu. Pernyataanya itu menghentikan bibirku sejenak yang sedari tadi menghisap dalam-dalam setiap bulir mi soto yang rasa dan hangat kuahnya menusuk hingga paru-paru. "Bukannya memang biasanya waktu akan terasa cepat kalau hari-hari diisi dengan kesibukan ya Pak?" jawabku mencoba mengiyakan. "Betul." "Itu adalah anugerah. Berkah. Waktu tidak akan ada artinya kalau dibiarkan berlalu begitu saja. Kalau kita membiarkan waktu berjalan begitu saja, tanpa melakukan apa-apa, kita yang mati. Waktu jadi barang lalu saja yang tidak pernah pusing apa-apa." kata Pak Guru lagi. "Saya juga pernah mendengar itu. Waktu tak akan pernah menunggu siapa-siapa." lanjutku mengimbangi. "Itulah berkah." Kami ngobrol ngalor -ngidul di sela-sela kunyah demi kunyah makanan menggeliat dalam mulut kami masing-masing. Mi di mangkuk punyaku sudah lama habis saat Pak Guru masih sibuk menghabiskan potongan kue gula merah di tangannya. Ia memandangi kue berbentuk telinga itu sejenak. Dahinya mengerut, lalu senyumnya mengembang. Pak Guru kemudian berkata, "Waktu saya (menderita) maag dulu, wah. Rasanya semuanya adalah berkah." "Bahkan nasi sebegini pun, rasanya saya tak habis pikir kok sampai bisa menjadi sumber energi bagi tubuh selama beberapa jam bahkan hari." Pak guru membentuk tangannya sedemikian rupa sehingga terlihat bayangan bahwa ada segumpal kecil nasi di meja kami saat itu. Aku menyandarkan punggung, mengangguk, mendengarkan. "Coba pikir...." "Nasi segumpal ini kalau disimpan di gerobak sampah. Tidak ada artinya. Nasi itu mau menyuplai energi untuk siapa? Bahkan kalau disimpan di gerobak soto sekalipun, nasi tidak akan berarti apa-apa kalau belum melewati kerongkongan kita." Ia menjelaskan, kali ini semakin bersemangat. "Sama halnya dengan uang ya Pak? Aku akhirnya menyelipkan pendapat. "Ya. Uang tak berarti apa-apa sebelum kamu sampai di toko makanan atau distro." "Waktu saya sakit maag dulu itu. Sangking terheran-herannya saya, sampai-sampai terkadang rasanya sangat tersiksa kalau nafsu makan saya hilang." tambahnya lagi. "Itulah kenapa orang-orang tua kita dulu selalu menjelaskan berkah dalam sebutir nasi." "Karena yang kita makan sebenarnya itu bukan nasinya, tapi berkahnya." "Berkahnya?" tanyaku menyocokkan pikiran. "Iya. Apakah sama rasa nasi yang dimakan orang kenyang dengan orang kelaparan yang tiga hari berpuasa?" "Oh...." belum selesai aku membenarkan, Pak Guru langsung mengacungkan telunjuknya mantap. "Itu." katanya kemudian. "Jadi nasi itu tidak akan berarti apa-apa, walau kita makan sebanyak apapun, kalau kita tidak merasakan berkah yang dikirimkan Tuhan di dalamnya." "Berarti selama ini gizi dalam tubuh kita itu berasal dari berkah di dalam nasinya, bukan nasinya?" "Iya. Itulah juga kenapa beda makanan haram dengan makanan halal, walaupun fisiknya sama saja." Ia akhirnya menelan habis semua kue di tangannya setelah menunjukkannya terakhir kali di depan mataku persis. Sekarang bersih sudah. "Jadi begitu ya...." kataku tak kuasa menahan anggukan. "Terjawab kan semuanya?" Pak Guru kemudian meletakkan gelasnya dengan mantap. Tak nampak lagi teh susu di dalamnya. Aku lalu memperhatikan seluruh bidang meja, bahkan serbuk bekas remah kue Pak Guru pun tak nampak. Entahlah, mungkin saja karena warna coklatnya senada dengan warna kayu meja. Tapi itu cukup meyakinkan batinku. Untungnya juga, tak satu pun bagian mi instanku tercecer. Ada sih, kuah. Sedikit. Malu juga rasanya. Semakin terjawab pertanyaan-pertanyaan di benakku oleh pembicaraan singkat kami ini. Selama ini aku sering bertanya-tanya kepada diri sendiri kenapa belum bisa menjadi orang dengan pola hidup sederhana namun rapi seperti Pak Guru. Janganlah dulu bandingkan keadaan kamar kami, hal-hal kecil seperti kondisi piring setelah makan saja sudah berbeda. Atau kondisi permukaan bodi kendaraan kami masing-masing. Maksudku, benar-benar berbeda! Jadi berkah itu ya jawabannya. Mungkin saja selama ini Pak Guru tahu tentang hal-hal yang sering aku tanyakan. He, Pantas saja ada orang kurus dan orang gemuk yang ternyata sudah tinggal serumah atau bersahabat selama puluhan tahun, pikirku puas. Adzan Maghrib berkumandang.... Di rumah ini, Pak Guru memang seorang guru. [Afs] Yogyakarta, 24 Februari 2011.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun