Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Motivasi Es Dawet

16 Juni 2010   10:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:30 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

"Pada haus gak nih...?" Tanya seorang motivator di depan para pesertanya yang berjumlah kurang lebih 100 orang. "Hauus, Pak." peserta serentak menjawab dengan semangat berhubung mereka sejak pagi dilatih terus berpikir positif, terbuka, dan tidak berhenti berharap. Harus begitu. Mereka sudah membayar hampir jutaan untuk seminar full day ini. Harus ada manfaatnya. "Ya sudah. Kalo gitu kita minum-minum sejenak. Segera kita pindah ke ruang sebelah ya...." "Dahsyat... Mari...!", peserta kembali bersorak. Sang motivator terkenal ini langsung masuk, kemudian diikuti peserta berduyun-duyun. Di dalam ruangan hotel luas bergaya Jawa Kuno itu sudah tersedia ratusan gelas berkaki ala eropa. Di meja sebelahnya sudah tertata pula piring-piring kecil, nampaknya untuk snack kawan minum. "Nah, sekarang. Pelayan, bawa minumannya masuk." Dari arah pintu yang lain enam orang karyawan berpasangan dua-dua orang mengangkat wadah minuman yang lebih mirip ember besar bertutup. Para peserta yang memang sedari tadi berdiri karena tak satupun kursi di ruangan itu spontan melongo... melihat dan penasaran dengan minumannya. Ok, mungkin mereka tidak begitu penasaran karena di pikiran mereka minumannya ya standar hotel bintang lima. "Kawan-kawanku yang penuh harap, silakan lihat. Inilah minuman berkelas kita hari ini." komando yang diberikan oleh sang motivator seraya dipatuhi oleh para peserta. Para pelayan yang berdiri di depan wadah minuman langsung mengangkat tangan mereka dan penutup wadahpun terbuka. Sontak saja tercium aroma khas gula jawa di ruangan ber-AC itu. "Hari ini minuman spesial kita adalah es dawet!", sang motivator mengedarkan senyum lebar dari kiri ke kanan ruangan. Dari apa yang dilihatnya sang motivator bisa mengerti kenapa hanya sebagian kecil peserta yang langsung bertepuk tangan, dan hanya satu di antara mereka yang langsung berteriak, "Dahsyaaat...!" "Aaahh... itu ada satu." sang motivator akhirnya menyadari tebakannya terbukti. Sejak tadi, sang Motivator tahu persis bahwa kemungkinan besar, saat perkiraan dan pemikiran para peserta kelasnya meleset, maka akan terlihat sesuatu yang menarik, dan ia bisa menyimpulkan siapa saja dan dari kalangan mana saja para pesertanya berasal. Saat hanya ada satu dari peserta yang berteriak "Dahsyat!" saat mengetahui kalau sebagian dari uang pembayaran seminarnya berbuah coffee break es dawet, maka sang Motivator langsung tahu bahwa orang tersebut berasal dari masyarakat kalangan menengah, atau paling tidak sering bergaul dengan masyarakat "bawah". Sementara yang lain yang begitu tahu bahwa minuman rehatnya (hanya) es dawet dan langsung berbicara dengan orang di kanan dan kirinya tentang keheranannya, kemungkinan berasal dari kalangan masyarakat yang tidak dekat dengan kehidupan es dawet atau bahkan tidak suka dengan minuman khas lokal itu. "Bagaimana jika es dawet ini kita beri motivasi juga?", tanya Sang motivator menyela chatters yang sempat membuat ruangan itu sedikit gaduh. Suaranya langsung terdengar karena kemanapun ia berjalan di ruangan itu, mikrofon mengikutinya. Suasana kembali hening. Para pelayan mengerti isyarat wajah dari sang Motivator dan mereka langsung keluar. "Silakan satu persatu dari Anda yang ada di sini mengambil gelas, tuangkanlah es dawet itu dengan tangan Anda sendiri, angkat sendoknya dan masukkan ke gelas berkaki Anda, kemudian ikuti instruksi ini." Peserta pun dibagi dan dideret sehingga mereka berbanjar tiga. Tiap-tiap di depan barisan itu sudah tertata segentong penuh es dawet lengkap dengan sendok khususnya." "Saya minta 3 orang wanita, yang belum menikah, ambil posisi masing-masing paling depan barisan." "Ya Anda, Oke,... yap Anda,... Satu lagi... Oh, Anda yang blus Putih, boleh. Silakan." Akhirnya kini tiga banjar peserta itu tersusun sedemikian rupa dan tiap-tiap kepala barisannya adalah seorang wanita muda single. "Orang yang pertama kali maju, tentunya yang paling depan, Ya Anda Mbak yang memakai blus putih, seilakan mengambil lalu mengisikan es dawet, kemudian..." "Iya silakan maju...", lanjut sang Motivator kemudian seseorang yang dimaksud tadi langsung memegang sendok. "Silakan isi ke dalam gelas cantik itu yang kalah cantik oleh Anda. Ehem...." "huuuuu.... suit.. suit...", peserta menyambuti lirih". "Dan kemudian," lanjut sang Motivator. "Gelas cantik berisi es dawet itu silakan berikan kepada orang di belakang Anda." Peempuan itu mengikuti petunjuk dengan sigap dan penuh senyuman. "Ya, silakan diterima Pak." sang Motivator melanjutkan. Orang yang kedua dalam tiga barisan bergerak bersamaan ini masing-masing sudah memegang segelas penuh es dawet kelapa jawa berhiaskan potongan-potongan nangka. "Lalu anda, orang-orang kedua," "Silakan taruh sejenak gelas Dawet Anda di Meja, kemudian mengisikan satu gelas baru lagi." Peserta kedua ini menurutinya. "Dan sekarang Anda boleh... Eh, tunggu sebentar. Di mana para peserta pertama tadi...?", sang motivator mengerti ketidakmengertian 3 orang pertama tadi yang akhirnya berdiri tidak menentu di luar barisan. "Orang di barisan pertama tadi silakan mengambil tempat di paling belakang." Ketiga orang itu pun mengikuti. "Sekarang,... Sudah orang yang kedua. Anda lakukan hal yang sama, dan berikan kepada Orang di belakang Anda, barulah Anda boleh meminum es dawet bagian Anda." "Begitu seterusnya...." Dan peserta pun kini sibuk mengoper dan saling mengisikan es dawet kepada rekan-rekannya. Tiga wanita orang pertama tadi kini sudah hampir kembali mencapai ujung depan lalu tidak lama kemudian mereka juga akhirnya kebagian es dawet, coffee break khas siang itu. Permainan kecil selesai. Saatnya sang Motivator menjelaskan maksudnya. Sedari tadi beberapa peserta nampak keheranan dan kepalanya dikabuti tanda tanya maksud sebenarnya dari semua ini. "Saya harap semuanya sudah mendapatkan minuman." sang Motivator kembali memulai. "Hadirin sekalian semua, rekan-rekan saya calon orang sukses dalam masyarakat." "Amiiiiiinnn....", dibalas lirih seisi ruangan. "Hidup itu tidak akan nikmat jika kita menjalani yang itu-itu saja. Betul?" "Betul...", spontan dijawab para peserta. Beberapa di antara mereka hanya mengangguk-angguk. "Kita tidak akan menjadi semakin kuat dan produktif jika kita sudah merasa cukup. Betul?" "Betul...", kembali peserta mengangguk-ngangguk. "Terkadang pandangan yang luas terhadap apa yang ada di sekitar kita bisa membantu kita untuk mengetahui seberapa hebat kita." "Misalnya dalam es dawet bertempatkan gelas mewah berkaki di tangan Saudara-saidara sekalian." "Sebenarnya, untuk menjadi orang hebat kita harus mengerti APA YANG BERADA DI DALAM, bukan APA YANG KELIHATAN DI LUAR." "Gelas mewah berkaki ala Eropa bisa saja nampak menarik, tapi Anda tidak akan tahu apa dan seperti apa rupa zat yang mengisi cekungan itu kelak." sang Motivator mengedarkan pandangan sambil tersenyum lebar. Wajahnya kini nampak puas. Para peserta pun kini mengerti. Hampir semuanya kini nampak mengangguk-ngangguk. "Gelas hanya pakaian, sama artinya dengan pakaian kita sekarang." "Itu sama sekali tidak bisa jadi patokan apakah nanti akan jadi kelihatan benar-benar mewah, apalagi mewah seutuhnya." "Semua orang, seperti di ruangan ini, semua orang bisa saja terkesan mewah dengan gelas berkaki." "Namun ketika di mata Anda sekarang terisi es dawet di dalam gelas itu..." "... Pandangan Anda, dan Pandangan orang terhadap Anda, bisa jadi berubah." "Kita seharusnya melihat kehidupan ini sebagai ruang yang terdiri dari beberapa bagian yang menyatu." "Seperti halnya kita melihat sebuah menu di makan siang tadi, semuanya bisa dimakan, walaupun bentuknya berbeda-beda. Ada yang dari kelihatannya saja sudah enak, ada pula yang nampaknya menyeramkan namun ternyata enak, kepiting atau sambal pete misalnya." "Es dawet ini juga demikian. Es dawet ini adalah representasi dan manifestasi dari bagian-bagian kehidupan kita yang terkadang tidak dipedulikan, tidak dianggap, bahkan tidak terlintas di pikiran, namun ternyata ada dan menghinggapi kehidupan kita.... sebagai penyeimbang." "Tadi saya katakan, jangan berharap sukses jika saat ini sudah menganggap diri Anda sukses." "Jangan anggap bahwa Anda sudah menjadi orang paling tekun bekerja, karena di luar, banyak yang lebih tekun dan berjuang tanpa lelah." "Dengan Es dawet menjadi APA YANG ADA DI DALAM, maka sekarang Anda semua di ruangan ini jadi tahu bahwa setinggi apapun diri kita, prestasi kita, kesuksesan kita, maka ada juga kesederhanaan yang menemani kita." "Kita setiap hari selalu teralihkan ke hal-hal yang duniawi, mewah, berkilau, mirip gelas berkaki ala eropa namun kosong ini." "Setelah diisi dengan kesederhanaan, barulah kita sadar bahwa ada juga orang-orang di sekitar kita yang hanya kenal minuman enak ya Es Dawet!" "Kita tidak akan tahu setinggi apa kita saat ini jika kita tidak pernah melihat ke bawah." "Jika Anda bisa terbang, bagaimana Anda memperkirakan bahwa seberapa tinggikan Anda sudah melesat?" "Ya, dengan melihat ke bawah. Melihat atap-atap rumah semakin menjauh, melihat kendaraan sudah kelihatan kecil dan semakin kecil. Seperti itu." "Dan percayalah.... Tantangan kita saat ini adalah semakin tinggi kita melesat, maka semakin kuat godaan untuk memperdulikan 'YANG ADA DI BAWAH'. Semakin kita terpaku pada gelas cantik, maka akan semakin jauh pemikiran kita dari hal-hal sederhana namun bermakna seperti Es Dawet. "Maka jika demikian, Anda akan sulit untuk memberi dan berbagi kepada mereka yang ada di bawah." "Jika anda tidak MEMBERI, maka Anda hanya bagaikan roket yang melesat tinggi namun hilang entah kemana, hilang dari kesatuan dimana ia berasal." "Anda bertiga yang tadi ada di barisan paling depan adalah semuanya wanita lajang." "Saya tidak pilih anda bertiga karena yang paling cantik. Kecantikan itu subjektif tergantung seberapa besar cinta yang dituangkan dalam sebuah pandangan." "Saya sengaja memilih Anda bertiga yang masih single karena ada maksud di dalamnya." "Anda tadi sempat kesal, karena memberikan yang pertama kali namun akhirnya mendapatkan Es Dawetnya belakangan?" "Saya yakin ada perasaan itu." "Nah, untuk siapa kita merujuk kejadian ini?", tanya motivator yang hanya dijawab dengan diam oleh para peserta. Mereka lebih asyik menunggu lanjutan ceramah daripada menjawab. "Untuk Ibu...." "Mengapa?" "Karena Ibulah yang paling mengerti apa itu MEMBERI." "Kita bisa mengerti arti MEMBERI itu dari seorang Ibu." "Karena Anda bertiga yang saya pilih masih single, lajang, maka berlatihlah untuk Memberi mulai dari sekarang, sebelum Anda merasakan yang sesungguhnya sebagai seorang Ibu." "Tadi mereka bertiga ini mengorbankan Es Dawetnya bagi orang penerusnya bukan?" "Nah, Itu juga gambaran seorang Ibu. Seorang Ibu yang rela mengorbankan apapun demi penerusnya. Anak kandungnya, anak angkatnya, anak asuhnya, anak didiknya." "Ibu juga yang rela bersabar lama, menunggu bertahun-tahun, puluhan tahun, membesarkan anaknya, mengasuh anak orang lain ketika dipercayakan padanya, barulah kemudian ia bisa menikmati buah asuhannya, ketika Anak-anaknya menjadi dewasa dan berguna. Barulah setiap minuman yang lewat di kerongkongannya terasa segar dan menghapus dahaga kekhawatiran dengan Es Dawet, misalnya. Tugasnya selesai." "Memberi dengan tulus adalah kunci keterangkatan posisi kita. Adalah bahan bakar bagi roket kita hal-hal yang kita bagikan dan siapkan di tempat dimana kita sebelum meluncur. Ada tim di darat yang selalu memastikan roket Anda baik-baik saja ketika sudah terbang jauh ke atas sana." "Jika Anda sudah memberi banyak dan cukup, orang-orang akan senantiasa menatapi kepergian Anda terbang ke angkasa ke langit kesuksesan." "Mereka melepas Anda dengan berkata 'Dia itu bagian dari kami'." "Jangan pernah melupakan tempat Anda berasal." "Nah, karena itulah arti kesuksesan. Dengan menyeimbangkan apa yang nampak di luar dengan apa yang tertuang di dalamnya. Selalu ada sisi baik dan sisi kurang baik, memang. Kekerasan selalu diiringi kelembutan, dan kemilau kemewahan selalu diikuti apa yang ada di baliknya." "Jadi, saudara-saudara, teguklah es dawet ini bersama-sama, dan resapilah arti MEMBERI DENGAN TULUS HATI melalui bulir-bulir es dawet yang melewati kerongkongan Anda, dan beberapa potongan kecil nangka sebagai bahan bakar kesuksesan Anda, untuk saling peduli, saling rela mengorbankam demi kebaikan, untuk senantiasa menyeimbangkan apa yang nampak di luar kita dengan apa yang ada di dalam hati kita, dan bahwa untuk mengerti arti kesuksesan, kita harus tahu darimana kita berasal." Para pesertapun bersorak soray sambil bertepuk tangan. Ada juga yang mengangkat-ngangkat jempol. Yang sedari tadi beberapa kali berteriak "Dahsyat", kini ia tetap berteriak kata-kata itu berkali-kali namun lebih bersemangat dari biasanya. Kalau saja tidak adal es dawet di gelasnya, mungkin ia sudah loncat-loncat. "Selamat menikmati rehat siang Anda. Saya berharap bisa mendapati Anda dalam kebahagiaan yang lebih baik di ruangan sebelah satu jam lagi. Terima kasih." sang Motivator menutup acara break panuh makna ini sambil menengadahkan kedua tangannya setinggi perutnya dan mengedarkan senyuman lebar ke arah para pesertanya. Ia pun kemudian beranjak keluar.... Dan tepuk tangan masih terdengar.... [FIKSI. manifestasi es dawet] [caption id="attachment_168726" align="aligncenter" width="300" caption="Es Dawet bukan Coca Cola (dari http://postr.yanrf.com/iklan-es-dawet)"][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun