Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Misteri Sepotong Roti (7)

29 Juni 2012   14:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:25 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1338826395796289860

Jejak sepatu yang tak ditemukan polisi. Untuk satu orang yang menyembunyikan misteri.

Adam dan Eno hampir sampai pada akhir yang mereka tuju.

(Sebelumnya ....)

Di Jalan Perintis Adam menyandarkan lengannya di pintu ketika Eno mengeker dari kejauhan. Kantor CAKRA sudah sepi dan pintu besinya tinggal menyisakan celah kecil yang memperlihatkan kegelapan ruangan di baliknya. Hanya ada satu ruangan yang terang di lantai dua.

“Sudah kubilang, orang itu sejak tadi mencurigakan.”

“Benar,” Eno mencoba mengimbangi opini, meski sejatinya belum mengerti.

“Sudah cukup di sini. Ayo ke rumah sakit.”

Rumah sakit yang dituju berjarak lima belas menit. Mereka harus antre dengan dua keluarga korban kecelakaan hingga dibolehkan masuk setelah satu jam menunggu. Kapten Hilmi sudah mengenakan baju santai berlapis jaket kulit hitam ketika menyambut mereka dengan terburu-buru di koridor yang sepi. Lokasi kamar jenazah yang tipikal berada di sudut belakang melengkapkan kesan menyeramkan rumah sakit yang dibangun pada tahun 1901 itu.

“Cepat, lewat sini,” seru Hilmi sambil melihat sekeliling.

“Kita punya izin kan?” tanya Adam penasaran.

Kapten itu mengangguk.

“Lalu apa yang Anda takutkan?”

“Apa? Saya tidak takut apa-apa.”

Adam dan Eno saling pandang sejenak mengamati bahasa tubuh yang aneh ditunjukkan Kapolsek itu. Jarak kamar jenazah hanya beberapa langkah dan menempel persis dengan pagar sebelah selatan kompleks. Tidak ada jendela depan. Pintu yang dilindungi dengan terali besi, seakan-akan mengantisipasi agar penghuninya tidak berkeliaran di malam hari. Pemikiran yang aneh, pikir Adam geli. Saat pintu diketuk, mereka bertiga langsung masuk tanpa banyak bersuara.

Andreas, begitu dokter forensik itu memperkenalkan dirinya. Rambut lurus disisir ke samping. Wajah pucat lebih karena kelelahan. Tak sedikitpun terbersit raut ketakutan di wajahnya. Sepertinya pengalaman membalut kedua bola matanya agar tetap tajam dan tegas di balik kacamata berlensa tebal.

“Otopsi sudah selesai,” komentarnya begitu mengajak ketiga tamunya melakukan tur singkat di ruangan yang tak lebih luas dari ruang kelas sekolah dasar itu. “Data yang tidak lengkap tidak memungkinkan kami melakukan analisis post-mortem dan ante-mortem. Korban ini pendatang, agak sulit menemukan latar belakangnya.”

“Sudahlah, Pak Andreas. Itu tugas kami. Tugas Anda hanya menemukan penyebab kematian.” Hilmi langsung menyela sambil melihat jam di pergelangan tangannya. “Pak Adam, silakan. Eno, Apa yang kau lakukan di sini? Bergunalah sedikit, jaga di luar sana.”

Eno dengan senyum kecut tentu saja mengikuti perintah atasannya. Adam mengangguk menyemangati sebelum pandangannya berfokus pada tubuh korban yang nampak kaku tertutup selimut putih bersih.

“Sudah dicuci. Pegang saja tidak apa-apa, seperlunya.”

Adam tergelak mendengar seruan Andreas menyilakan. Di benaknya belum pernah sebelum ini melintas bahwa tangannya akan menyentuh kulit perempuan yang tak lagi bernyawa. Rambut hitam diluruskan sampai bahu. Bibir lebih menghitam daripada merah, menandakan pembekuan darah yang memasuki tahap akhirnya. Kulit mengeriput karena pendingin udara. Kuku-kukunya pun biru gelap seperti beberapa bagian tubuhnya yang menampakkan urat yang mengikuti fase alamiah terjadinya kematian yang menyakitkan. Adam mendekatkan matanya ke bagian leher korban. Terdapat garis gelap yang lebarnya kira-kira lima sentimeter. Lalu pandangannya pindah ke ujung kaki, menyeka telapak kaki korban dengan ujung jarinya. Dingin. Setelah memeriksa semau hati, ia berdiri mematung sambil bersilang dada. Matanya nanar melihat mata almarhumah Ratna Siregar. Perempuan cantik yang sayangnya harus mati dengan cara yang mengejutkan.

“Bagaimana?” tanya Hilmi. Kapten polisi itu nampaknya harus melakukan sesuatu lagi. Kunci mobil di tangannya bergerak-gerak.

“Oh. Semua sesuai dugaan, Pak Hilmi. Pemeriksaan yang dilakukan tim Anda sangat baik.”

“O, tentu saja. Memang begitulah seharusnya.”

Adam  manggut-manggut saja. Setelah melempar senyuman dan kakinya mengarah ke pintu, ia kembali ke ranjang jenazah, memeriksa bagian ujung jari telunjuknya, lalu pindah ke bagian kaki, ia dekatkan matanya ke semua bagian kaki mayat itu. Diangkat pelan-pelan, kemudian diturunkan lagi.

“Apa yang Anda lakukan?” tanya Hilmi penasaran.

“Dokter,” tanya Adam tanpa memerdulikan pertanyaan yang diajukan padanya. Ketika dokter itu membalasnya, ia bertanya lagi. “Perkiraan penyebab kematian korban apa?”

Dokter itu bingung selama tiga detik sebelum akhirnya menjawab. “Jeratan di bagian leher, tentu saja.”

“Benda tumpul kah?”

“Saya yakin seratus persen. Tanda-tanda traumanya menandakan desakan hebat di hampir semua bidang tenggorokan. Sudah pasti itu karena kain.”

“Apakah ada luka terbuka yang Anda temukan?”

“Luka terbuka? Tidak ada.”

Adam mengangguk sambil menghela napas. “Siapa yang memandikan mayat?”

“Maksud Anda mencuci sebelum diotopsi?”

“Ya.”

“Staf saya.”

“Di mana dia sekarang?”

“Sudah pulang, saya kira. Dia belum banyak tahu soal otopsi. Selebihnya semuanya saya yang menyelesaikan.”

Lagi-lagi Adam mengangguk. “Baiklah kalau begitu.”

Di luar kamar jenazah, Eno asyik bermain dengan permainan susun  balok di perangkat genggamnya. Duduk meluruskan kaki di kursi putih yang terangkai dari kayu berikat. Lampu di beberapa bagian taman sudah dinyalakan ketika matahari perlahan meringkuk ke peraduannya. Jam lima. Ketika nyaris saja Eno menyelesaikan level ketiga dari permainan isengnya itu, pintu terbuka dan Kapten Hilmi berjalan keluar diikuti Adam dan dokter forensik itu. Ponsel nyaris terjatuh tapi polisi muda itu  cukup gesit untuk menyembunyikan hal-hal kecil. Ia menekan tombol ‘putuskan panggilan’ sekenannya kemudian memasukkan ponsel itu ke dalam saku celananya. Sikap sempurna seketika.

“Saya kira penyelidikan kita sudah komplet, kan Pak Adam?”

Adam tersenyum mendengar kalimat Hilmi ketika mereka sudah berada di koridor menuju pintu keluar. Eno ikut di belakang ketika kapten dan investigator itu diantarkan oleh dokter forensik menuju ujung koridor.

“Ya, kecuali kalau kasus ini dilanjutkan ke tahap penyidikan.”

“Penyidikan? Apa maksud Anda?”

"Apa ada kandungan aneh yang ditemukan di dalam potongan roti itu?"

"Tidak ada."

"Bagus. Berarti jelas sudah."

"Apanya yang jelas? Anda ini seperti sedang bermimpi."

“Penyidikan, Pak Hilmi. Itu menurut saya.”

“Tunggu dulu.” Langkah kapten Hilmi berhenti. “Anda menganggap ada tersangka dalam kasus ini?”

Adam memasukkan kedua tangannya ke saku celana sambil terus berjalan pelan. “Menurut saya begitu. Entah menurut Anda. Bagaimana?”

Polisi itu mengernyitkan dahi. Pandangannya menyusuri setiap bidang ubin yang berdebu. Apa yang tidak ditemukan oleh tim penyelidiknya sehingga orang asing ini bisa menyimpulkan hal lain? Langkahnya dilanjutkan dengan irama yang makin cepat.

Saat mereka sudah kembali ke mobil, Eno lagi-lagi bertanya. Mencoba mengumpulkan remah-remah pengertiannya sendiri.

“Jadi?”

“Apa?”

“Siapa pelakunya?”

“Orang itu.”

“Idham?”

Adam tersenyum. Sinar matahari  keemasan memantul di kulit wajahnya. Butir-butir keringat menyeruak keluar bagaikan bunga-bunga kecil keemasan.

(Selanjutnya ...)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun