Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Menghilangnya Arza Basyahril (3)

30 April 2012   11:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:55 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13351511641779713661

(Sebelumnya ....) Kamar itu cukup luas bahkan bagi dua orang. Karpet hijau tua dengan corak oriental menutupi hampir semua bidang termasuk gang kecil menuju kamar mandi di sebelah kiri setelah pintu masuk. Suasananya menjadi seimbang karena di tengah ruangan tergantung lampu dengan delapan gelas bunga yang banyak ditemukan di bangunan-bangunan peninggalan Jawa. Cermin besar setinggi orang dewasa yang tegak di dekat jendela berukir menegaskan bahwa kamar ini pernah ditinggali oleh orang yang istimewa. Dari balik kaca jendela terlihat jalan kecil yang sepi. Tidak mengherankan jika para tetangga enggan bertamu ke rumah keluarga baru ini karena pagar-pagar tinggi dan halaman yang cukup untuk bermain sepakbola anak. Adam mencoba empuknya sofa kulit yang rendah dan mencicipi apel Malang yang sudah tersedia di atas meja. Sementara Eno langsung memilih satu dari dua ranjang berpasak lengkap dengan tudungan kelambu untuk meletakkan barang-barangnya, kemudian buru-buru menuju kamar mandi. “Sepertinya tuan rumah kita bukan orang biasa ya.” Eno melayangkan komentarnya begitu saja saat sudah kembali berada di kamar. “Rumah sebesar ini, dan pernikahan yang terancam batal. Hm, sepertinya ini akan menjadi petualangan yang seru buatmu.” Namun pada ahirnya ia menyadari telah berbicara sendirian selama beberapa detik terakhir itu. Karena Adam tidak lagi berada di sofa itu ketika televisi justru berpendar-pendar ceria seperti mengejeknya. Ia buru-buru merapikan pakaiannya, mengambil kacamata serta berlari menuju pintu. Baru saja ia akan menarik pegangan, satu dari dua daun pintu kembar itu terbuka dari luar dan Adam dengan meringis masuk ke dalam ruangan kemudian membongkar isi tasnya. Dengan sangat tergesa ia menumpahkan semua isi tas itu ke lantai kayu, mengais-ngais sampai akhirnya menemukan botol kecil dan menumpahkan isinya ke lengan kanannya yang tertekuk. Eno mendekat dari arah belakang dan menyaksikan apa yang menetes ke lantai. “Adam! Tanganmu berdarah! Ada apa barusan?” Adam mengangguk menenangkan kemudian dengan isyarat tangan meminta tolong kepada rekannya itu. Lengan kanan diluruskan kemudian mereka balut dengan perban tebal yang ternyata ada di dalam jaket tebal investigator itu. Ia beberapa kali berusaha mengatur napas ketika akhirnya luka sayatan cukup dalam itu telah ditutup dengan ikatan kencang. Eno cukup terampil dalam menangani luka awal sehingga nyaris tidak ada obat yang terbuang. Adam berterima kasih kemudian merebahkan tubuhnya di atas sofa. “Aku baru saja mandi setengah jam tiba-tiba kamu sudah tidak ada di kamar. Apa yang terjadi?” “Waktu yang singkat, Eno. Tapi ceritanya panjang. Kalau kamu tidak keberatan, aku mau tidur sebentar. Dan kalau kamu mau membantu, tolong untuk sementara jangan keluar kamar dulu. Aku yakin dalam satu jam akan ada panggilan makan malam untuk kita.” Eno baru saja ingin meminta lagi penjelasan, namun akhirnya menuruti. Ia lalu mengambilkan bantal untuk Adam yang lalu dalam beberapa menit sudah jatuh tertidur di sofa. Ia sendiri memilih membaca buku yang tersedia di beberapa rak. Memang kurang dari satu jam kemudian sudah ada ketukan di kamaroleh salah satu pembantu. Makan malam telah siap. Eno terkagum-kagum dengan cara keluarga itu menjamu tamunya. Meja makan panjang dengan delapan kursi bersandara tegak sudah siap di dekat ruang tamu. Mereka terkejut bukan karena megahnya sajian di atasnya, tetapi lebih karena meja itu tidak ada di sana sebelumnya. Adam dengan bahasa isyarat berusaha meminta rekannya untuk senantiasa menghormati penghuni rumah. “Terima kasih, Pak Adam, juga Pak Eno. Telah bersedia membantu kami.” Abdul Malik menyambut sambil berdiri. Tuan rumah itu nampak sebagai tokoh paling ramah. Ia bahkan yang rela menarik kursi untuk  kedua tamunya, sementara lima orang yang lain hanya duduk dan mengedarkan pandangannya kepada makanan pembuka. Beberapa di antara mereka nampak lebih senang dari yang lainnya. Satu-satunya yang nampak murung adalah Marlistya, sang calon mempelai perempuan. Gadis malang itu hanya menaruh dua tangannya saling membelai di atas meja, dan melemparkan satu-dua senyuman sekadar menunjukkan rasa hormat kepada kedua tamu. “Saya yakin Anda berdua sudah bersiap, atau mungkin sudah memulai penyelidikan kasus kami. Tapi pun menjadi kewajiban kami sekeluarga untuk menjamu kalian dengan makan malam sederhana ini,” kata tuan rumah itu lagi. Adam membalas dengan ramah dan menyatakan kesenangannya dengan sambutan yang luar biasa. Saat ia mempertanyakan anggota keluarga yang lain, Abdul Malik tersenyum. “Inilah keluarga inti kami. Anggota keluarga kami tidak banyak. Untuk pernikahan ini pun kami hanya mengundang keluarga dekat dan beberapa tetangga. Kami belum banyak kenal warga di lingkungan baru ini.” “Ini foto terakhir Arza Basyahril.” Sebuah kertas seukuran folio kemudian diterima Adam. Eno juga melihat sosok yang hilang itu. Seorang pemuda dengan postur seperti kebanyakan orang yang besar di tempat sejuk. Kulit putih bersih, rambut tersisir rapi meski tidak begitu trendi. Sikap badan tegap dan senyum yang kelihatan ramah. “Dia kelihatan orang baik,” komentar Adam segera setelah menyerahkan foto itu kepada Eno. “Ya. Dia  yang terbaik untuk anak saya, Pak Adam. Itu yang membuat kami merasa akan sangat kehilangan jika Anda tidak bisa menemukannya.” “Saya mengerti.” Adam kemudian melihat ke arah calon mempelai wanita yang terus saja tertunduk. “Siapa yang menemanimu di kamar, Mar? Maksud saya, keluarga yang perempuan atau tante mungkin? Mempersiapkan diri?” Gadis itu tidak menjawab. Sepintas Adam bisa melihat rasa malu bercampur gusar dari sudut matanya. Pertanyaan itu lalu dijawab oleh sang ayah. “Dia belum bisa banyak bicara, Pak Adam. Tolong temukan saja anak ini, untuk dia.” Adam mengangguk. “Dari mana saya bisa memulai pencarian ini. Maaf, apakah sudah ada tetangga yang melaporkan perkembangan? Maksud saya, mungkin pernah melihat Arza sebelum menghilang?” Abdul berpikir sejenak. “Belum ada. Sejauh ini belum ada, Pak Adam. Kami masih kosong.” “Baiklah kalau begitu. Saya akan simpan foto ini, dan mulai menyelidiki semuanya malam ini juga.” Mereka lalu makan malam dengan berbicara hal-hal yang lebih ringan. Tak biasa, karena justru Adam heran dengan keluarga yang nampak santai itu. Padahal di dalam benaknya, keluarga ini telah kehilangan satu calon anggota yang penting. Marlistya tetap murung meski ia bisa menyuap beberapa sendok nasi ke mulut mungilnya. Gadis itu tak bicara satu kata pun, seakan-akan semua isi hatinya akan disalurkan lewat mulut sang ayah. Tiga anggota keluarga lain di keluarga itu sepengamatan Adam adalah orang yang biasa-biasa saja. Dua orang laki-laki paruh baya dengan sikap yang tidak begitu terbuka, dan satu perempuan yang lebih muda dari Marlistya. Abdul Malik memperkenalkannya sebagai Evelyn, si “adik kecil”. Itu merujuk pada statusnya yang adalah adik tiri dari Marlistya. Abdul mengaku sangat sayang mereka berdua meski ia mengakui mendiang istrinya tak begitu senang dengan keberadaan anak tiri di dalam keluarga mereka. Para tamu menyimak tanpa mempedulikan puluhan orang yang lalu lalang di sekitar meja itu menyiapkan ruangan dan beberapa perlengkapan di halaman rumah. Mereka juga tak begitu peduli dengan bau masakan yang melayang dari arah dapur. “Di mana si kecil satunya lagi?” Adam lalu bertanya begitu saja ketika tangannya berusaha mematahkan cangkang kepiting rebus. Pertanyaan itu mengejutkan semua yang duduk di meja, tak terkecuali Eno. Mereka perlahan-lahan menghentikan kunyahan dan melonggarkan pegangan tangan mereka pada sendok dan pisau. “Maaf, maksud Anda?” Adam menegakkan posisi duduknya sehingga cahaya lampu yang terpantul dari meja menyeka hampir semua bidang wajahnya. Ia lalu membersihkan tangannya dengan serbet lalu mengeringkan bibirnya. Saat menyadari semua memasang wajah penasaran, ia melanjutkan. “Si kecil satunya. Selain Evelyn. Saya yakin ada satu lagi anak kecil di rumah ini.” Adam dan anggota keluarga lainnya saling menatap. Sementara Marlistya berusaha menyembunyikan rasa khawatir dengan menurunkan kedua tangannya dari meja. “Tapi, Pak Adam. Kami belum pernah mendengar tentang anak itu. Keluarga kami hanya ini, dan Evelyn satu-satunya anak kecil di rumah ini.” “Anda yakin?” “Ya. Kalaupun ada, mungkin itu anak tetangga yang datang membantu persiapan di sini. Juru masak kami dibantu beberapa warga di sekitar sini yang sukarela datang. Mungkin saja anak kecil yang Anda maksud salah satu dari anak mereka. Yang jelas, bukan anggota keluarga ini.” Adam lalu berpikir sejenak. Yang lain lalu menunggu, kejutan apa lagi yang akan dikeluarkan tamu itu. “Kalau begitu lupakan saja. Saya mohon maaf, mungkin salah. Mungkin memang anak itu adalah tetangga.” Adam lalu tersenyum kemudian dengan penuh misterius melirik ke arah Eno yang sejak tadi ikut-ikutan memasang wajah bingung. Makan malam itu akhirnya terselesaikan meski pada bagian akhir agaknya antiklimaks. Marlistya langsung berdiri dan oleh Evelyn diantar ke kamarnya di arah belakang. Sementara Abdul Malik memberikan instruksi kepada beberapa pekerja yang melaporkan perkembangan. “Apa yang bisa kubantu, Pak Adam. Dalam penyelidikan ini?” tanya tuan rumah kemudian ketika meja telah bersih. Kini mereka duduk saling berhadapan di salah satu ujung meja. Adam ditemani Eno sedangkan tuan rumah itu didampingi oleh Syam, saudaranya. “Saya kira tidak banyak, Pak Abdul. Kasus ini belum memberikan petunjuk apa-apa bagi saya.” Jawaban itu sempat mengguratkan sedikit kekecewaan di wajah tuan rumah, namun Adam lalu merapatkan badannya ke meja. “Pak Abdul, saya minta tolong sesuatu.” “Tentu saja. Apapun Anda bilang saja.” “Saya tanya sekali lagi. Apa betul tidak ada anggota keluarga ini yang adalah anak laki-laki?” “Tidak ada.” “Anda tidak ingat?” “Memang tidak ada.” “Anak dari keluarga dekat, mungkin? Mereka sudah tiba di sini tanpa sepengetahuan Anda?” “Setahu saya rombongan keluarga dekat baru akan tiba besok siang.” “Kalau Anda, Pak Syam?” Adam melihat ke arah laki-laki yang nampak beberapa tahun lebih muda. Namun tak banyak jawaban yang membantu. Adik dari tuan rumah itu menjawab seperti mengekor kakaknya. “Kalau begitu,” kata Adam ketika kembali bersandar. “Saya yakin Anda akan mengikuti setiap metode penyelidikan saya untuk ini?” “Tentu.” Keduanya mengangguk. “Dan Anda tidak keberatan jika memberikan saya akses ke segala bagian rumah ini?” Untuk pertanyaan itu, kedua tuan rumah sempat saling menatap dan berpikir, tapi jawaban tanda setuju itu akhirnya diberikan juga pada akhirnya. “Terima kasih. Dan selama penyelidikan dua malam ke depan, saya akan didampingi terus oleh Eno. Dia analis forensik yang bisa membantu saya menelusuri banyak petunjuk yang tidak kelihatan.” Eno mengangguk ketika Abdul dan Syam menyetujui permintaan itu. Tapi tiba-tiba sesaat kemudian Syam bertanya tanpa dinyana. “Apa sebenarnya pekerjaan Anda, Eno?” Eno sempat bingung. Tapi Adam yang menjawab sodoran pertanyaan itu. “Dia jurnalis,” kata Adam gesit. “… Independen. Tidak bekerja untuk kantor berita manapun. Eno ini hanya menulis beberapa jurnal untuk koleksinya. Karena itu saya bawa, siapa tahu dia bisa membawa bahan untuk para kriminolog. Anda tahu, dia jalur kiri.” Adam mengedipkan mata lalu disambut anggukan oleh kedua tuan rumah. Investigator itu kemudian mengedipkan sebelah matanya, yang justru membuat perasaan Eno semakin gusar. Saat mereka sudah kembali berada di kamar, Adam bersiap-siap dengan jaket antiairnya dan memasang sepatu kets khusus. Sementara Eno merapikan beberapa barang ke bawah ranjang lalu berdiri dan meyakinkan penampilannya di depan cermin. “Oke, kita mau apa malam ini?” “Penyelidikan,” jawab sang investigator. “Di mana?” “Di rumah ini.” “Lho, bukannya Arza menghilang justru di luar?” “Makanya kita mulai dari rumah ini.” “Kenapa tidak di rumah tempatnya menghilang? Kan tadi Pak Abdul sudah kasih tau tempatnya. Katanya disiapkan juga pekerja yang akan mengantar kita ke sana.” “Tentu saja kita akan ke rumah kecil itu, Eno. Tapi firasatku berkata akan terjadi sesuatu di rumah ini.” Eno berhenti merapikan rambutnya dan memutar badan. “Sesuatu? Apa itu?” Adam tersenyum. “Sudahlah. Ikuti saja instruksiku. Aku sangat membutuhkan bantuanmu agar semua pikiran dan rencanaku berjalan. Sudah kutulis jelas pembagian tugas kita di kertas di atas meja itu. Sekarang jam sembilan lewat lima menit. Pastikan jam tanganmu sama persis jam dan menitnya. Aku mau menyelesaikan urusan kecil dulu di luar. Juga meminta keterangan langsung dari Marlistya. Ada sesuatu di diri gadis itu yang membuatku gusar. Terlalu banyak yang tidak jelas dan samar. Membuat penyelidikan kita seperti mencari koin di lautan. Kalau semua berjalan lancar, kita sudah akan istirahat lagi dengan nyaman di kamar ini tepat jam dua belas malam nanti. Sudah ya.” Lalu dalam beberapa detik pintu sudah ditutup dari luar. Eno terheran, karena Adam justru memasang buku sebagai ganjalan agar pintu tidak rapat. Rekannya itu membisikkan sekali lagi tentang kertas petunjuk yang harus diikuti olehnya di atas meja. Berhati-hatilah. Bila perlu, bawa sengatan listrik yang jadi andalanmu itu. Tulisan penutup dari petunjuk itu membuat Eno menarik napas dalam-dalam. Dengan segera ia lalu merapikan barang-barang, merogoh tasnya dan mengeluarkan beberapa barang, lalu berdiri membelakangi jendela sambil terus mengawasi halaman luar dan pintu kamar. Ia sempat mengirimkan pesan singkat lewat telepon genggamnya yang kemudian ia matikan. Dengan sangat hati-hati, ia lalu mengenakan jaket kulit hitam yang bentuknya persis dengan yang sering digunakan oleh Adam. Alat pemukul sudah siap di tangannya, ia remas sedemikian rupa untuk menguatkan dirinya. Ia sempat tidak percaya akan menghadapi sesuatu yang berbeda jauh dengan bayangan sebelumnya tentang sebuah jamuan makan malam dan investigasi hilangnya seseorang. Hampir satu jam berlalu tanpa banyak bunyi yang terdengar. Hanya sesekali percakapan orang di jalan dan samar-samar suara tawa dari lantai bawah. Eno kembali mengingat-ingat bagaimana ia bsia berada di rumah itu bersama seorang penyelidik independen yang sulit dipahami rencana dan strateginya. Ia berbisik kepada diri sendiri tentang beberapa poin petunjuk dan kronologi duapuluh empat jam terakhir, berusaha mengasah intuisinya sendiri ketika tiba-tiba terdengar suara hebat yang membuatnya spontan menunduk. Kaca jendela itu telah bergetar dan pecah ke lantai. Sebuah benda berat memantul di meja kemudian menggelinding. Eno setelah menarik napas kemudian melihat ke arah halaman di bawah. Tidak ada siapa-siapa di sana, lalu tiba-tiba terdengar bunyi dering telepon genggam yang terdengar entah dari mana. Seperti susul-menyusul, terdengar derap langkah cepat menaiki tangga dan mendekat ke kamar itu. Di depannya, bunyi langkah terseret yang lebih lambat dan ketukan benda keras seperti sedang menghindari sesuatu. (Selanjutnya ...)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun