[caption id="" align="aligncenter" width="570" caption="Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Tedjo Edhi Purdijatno. (Foto:Kompas.com/Icha Rastika)"][/caption]
Oke, oke. Kita terima bahwa komentar menteri setingkat menko atas Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi pendukung KPK yang ia sebut “enggak jelas” dan “kekanak-kanakan” adalah bentuk kebebasan berpendapat dirinya sebagai warga, dan mungkin tidak mewakili kementeriannya. Akan tetapi baik itu sebagai pejabat atau seorang “bapak”, ada konteks lebih besar yang dilupakan seorang Tedjo Edhi Purdijatno ketika menyinggung hal ini, yang membuat komentar wujud kegemasannya itu lantas tidak relevan.
Menteri kok jd lelucon, gak jelas blss RT @VIVAnews Menteri Tedjo Jadi Lelucon di Media Sosial http://t.co/NsRgJFLNH9 pic.twitter.com/s07dEpnbhB — BiLLY KHAERUDIN (@BiLLYKOMPAS) 25 Januari 2015
Jangan2 Tedjo itu singkatan Tedak Jowellass he he cc @endrisutarto @ulinyusron — Arif Satria (@arif_satria) 25 Januari 2015
Jangan ah.. Lumayan buat hiburan kan? :) RT @gunarko_fhm: Buat petisi yuk agar metri tedjo di ganti @budisujatmiko @PartaiSocmed — Partai Social Media (@PartaiSocmed) 25 Januari 2015
Menkopolhukam Tedjo Edhi Purdijatno, 62, adalah seorang Laksamana TNI yang pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) selama 2008 hingga 2009, setelah mengomandani setidaknya tiga KRI berbeda semasa kariernya. Beliau didapuk sebagai menteri lewat jalur politik (Partai NasDem) dan menerima bintang jasa dari tiga negara berbeda (Singapura, Malaysia, Thailand).
Sama seperti kebanyakan pejabat senior (apalagi setingkat jenderal bintang empat), gaya komunikasi Tedjo sedikit-banyak masih diramu dari kebiasaan bahasa komando dan retorika politik tahun 1980-an. Berfokus pada esensi, kerja nyata dan perintah yang jelas, kira-kira begitu. Yang dilupakan Tedjo Edhi adalah bahwa ia hidup dan menjabat menteri publik di masa free of speech telah dijamin selebar mungkin, era media sosial, di mana penyatuan pendapat dan pengumpulan kehendak dapat terjadi hanya dalam hitungan menit.
Di masa 1990-an, aksi “turun ke jalan” baru terjadi setelah persiapan berbulan-bulan, setidaknya dua atau tiga pekan. Konon menurut catatan beberapa saksi, aksi ’98 juga sebetulnya sudah dimulai sejak setidaknya tujuh bulan bahkan dua belas bulan sebelum Suharto turun tahta. Kegamangan publik di era media sosial kini dipicu begitu mudah, terlepas dari keterbatasan jejaring komunikasi (jarkom) dan birokrasi politis lainnya. Mengumpulkan seratus-dua ratus orang bisa dilakukan hanya dengan sepucuk gambar berkata-kata.
Jadi saat Menkopolhukam Tedjo Edhi mengomentarinya sebagai (orang-orang) “enggak jelas” dan “kekanak-kanakan”, konteks besar yang luput dipikirkannya adalah bahwa pengerahan massa sebesar itu bukanlah sesuatu yang benar-benar direncanakan, apalagi dimaksudkan untuk hal-hal dan atau alasan yang tidak jelas. Lain halnya jika komentar itu ditujukan di waktu pemilu yang nuansa politisnya sangat kental. Di depan netizen, yang melakukan hal nyata, komentar itu kehilangan relevansinya.
Era Twitter meninggalkan pola pemikiran instan kebanyakan penggunanya (yang didominasi 18 hingga 30 tahun). Solidaritas medsos sudah sering menemui kritik yang mengatakan bahwa “percuma Anda berkoar-koar di timeline tetapi tidak berbuat nyata. Atau, “percuma kampanye lewat ganti foto profil tapi tidak beri sumbangsih berarti”. Kritik-kritik atas kebebasan berpendapat era digital inilah yang berusaha diantisipasi oleh netizen atas suatu kasus, tidak terkecuali Penangkapan Deputi KPK Bambang Widjojanto kemarin.
Tidak lagi simbolis
Heboh kampanye “dukung KPK” Jumat kemarin sebenarnya tidak sebesar dan semeriah sewaktu KPK “dikriminalisasikan” lewat tandem deputi Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Atau yang terbaru, tuduhan kriminal atas penyidik Novel Baswedan yang “mengundang” tiga ratusan orang mendatangi KPK di jam-jam malam sama seperti Jumat kemarin.
Apa yang terjadi Jumat lalu adalah bentuk otokritik netizen terhadap kampanye antikorupsi masif mereka yang dulu-dulu, yang hanya terbalut pendapat-pendapat simbolis sebatas ganti foto profil dengan #SaveKPK atau sekadar rangkaian cuitan (chirpstory) atau meme. Lagi pula, tidak mungkin yang dibilang "kekanak-kanakan" itu melibatkan para sesepuh yang terbukti selalu walk the talk dan serius mengemukakan pendapatnya: seperti Romo Frans Magnis Suseno atau Denny Indrayana.
Aksi mendatangi Kantor KPK berusaha meninggalkan jejak jelas dalam sejarah bahwa netizen Indonesia yang sering “mengganggu” trending topic dunia adalah mereka yang benar-benar punya pendapat, pendirian, keyakinan, dan pandangannya sendiri-sendiri.
[caption id="" align="aligncenter" width="570" caption="Massa yang menamakan diri Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi menggelar aksi dukungan terhadap pemberantasan korupsi dan anti-kriminalisasi penegak hukum di Kantor KPK, Jumat (23/1/2014). Foto: Kompas.com/Roderick Adrian Mozes"]
Mereka yang turut mendukung KPK di Kuningan sampai ikut menjemput Bambang Widjojanto di Bareskrim Mabes Polri pagi buta itu adalah mereka yang juga membuktikan hak suara mereka dalam bingkai politik, hukum, dan keamanan. Aksi mereka adalah pergerakan sipil yang tidak perlu dibayar, dan karena itu tidak perlu diundang dengan modus macam-macam. Sebagaimana yang diakui Deputi Pencegahan KPK Johan Budi, “Mereka (massa) tidak diundang, tetapi datang sendiri menunjukkan dukungannya kepada KPK dan Pak Bambang.” (Kompas.com)
Luapan semangat yang sama dapat kita pelajari lewat aksi #OccupyHK yang menghebohkan pemerintahan Hong Kong dan mengguncang dunia politik Republik Rakyat Tiongkok tahun lalu. Ada pula tagar #Ferguson yang mengkritik aksi kekerasan oleh kepolisian di Amerika, atau yang terbaru, selentingan tagar #JeSuis yang akhirnya diadopsi banyak aksi beragam tujuan setelah muncul di Paris pekan-pekan lalu.
Inilah yang tidak dipikirkan Bapak Tedjo Edhi. Sebagai komunikasi birokrasi dan sisa-sisa kebiasaan rantai komando memang terkadang membuat seseorang bahkan tidak menyadari bahwa zaman telah berubah, bahwa anak-anak muda zaman sekarang lebih cerewet, dan bahwa massa masa kini lebih sporadis dan sulit dibendung hanya dengan kritik bercap “enggak jelas”.
Saran saya, Bapak Tedjo Edhi aktif deh di Twitter, atau setidak-tidaknya, Kemenkopolhukam baiknya bikin akun yang dengan tulus berkomunikasi dengan publik internet yang juga adalah subjek berdemokrasi ini. Sebagaimana berhasil diwujudkan @KPK_RI, @KPI_Pusat, @KPU_RI, atau @IstanaRakyat.
Jika publik berusaha menenggelamkan diri mereka secara kolektif dalam pergumulan masalah-masalah polhukam--padahal seharusnya bisa bersantai mengurusi pacar atau pekerjaan yang terbengkalai, maka alangkah baik birokrat dan pejabat publik juga mesti menyambut hangat tanda ini sebagai tanda demokrasi yang semakin matang, di mana publik negara kita diacungi jempol kepeduliannya oleh banyak negara, meskipun harus “bersentuhan” dengan tembok basah yang namanya politik dan hukum.
Dan kalau para menteri yang kami panggil “bapak” ini merasa terlalu tua atau terlalu kaku untuk berkomunikasi dengan rakyat dan netizen-nya, tidak perlu khawatir. Biar kami ajari, bagaimana berbicara sesama netizen dengan benar.
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H