[caption id="attachment_183125" align="aligncenter" width="630" caption="Suasana lereng gunung Merapi di desa Kepuharjo, Sleman. Foto diambil awal 2011 menggunakan Samsung C3510 "Genoa". (Afandi Sido)"][/caption] Saya baru menggiati fotografi amatir beberapa bulan ini. Itupun karena kebetulan ada kamera Canon DSLR 550D yang bisa dipakai bergantian dengan adik. Nah, dalam sela-sela pencarian banyak referensi foto ini, saya tertarik dengan foto jurnalistik. Ya tentu saja, itu kelompok fotografi yang dibalut nilai-nilai jurnalistik, terlepas dari apakah itu diterbitkan oleh seorang jurnalis profesional atau bukan. Kalau diperhatikan saksama, sebuah foto jurnalistik yang baik sudah bisa mewakili sebuah artikel yang bernilai jurnalisme tinggi. Berita foto, begitu laman-laman sering menyebutnya. Tragedi Sukhoi Superjet 100 yang jatuh di Gunung Salak 8 Mei lalu tetap meninggalkan duka mendalam. Tanpa mengurangi rasa empati kepada keluarga korban, saya mengangkat contoh salah satu karya jurnalisme foto yang menurut saya begitu mewakili perasaan kita semua. Baik itu keluarga korban, para relawan, koordinator SAR, atau bahkan masyarakat awam yang pertama kali melihat foto itu. Coba lihat saja foto berikut, ada cerita apa yang seakan-akan disampaikannya dengan begitu mendalam. [caption id="attachment_183121" align="aligncenter" width="620" caption="Proses evakuasi jenazah korban Sukhoi di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta 15/5/2011. (Kompas.com/Roderick Adrian Mozes)"]
[/caption]
Foto yang sederhana namun mendalam, bukan?
Kompas.com adalah satu dari sedikit portal berita yang menurut saya kuat dalam pesan gambar jurnalismenya. Nah, dalam foto di atas, rasa salut saya tidak terbendung untuk fotografer Roderick Adrian Mozes, yang memang terkenal sebagai juru foto jurnalistik andal. Sudut pengambilan gambar, teknik penentuan waktu jepretan, dan pencahayaan semua nyaris sempurna menyampaikan bagaimana pentingnya momen itu. Membuat kita menerka-nerka bagaimana perasaan prajurit TNI menggotong kantung jenazah korban, serta tanggung jawab mereka kepada keluarga yang menunggu di pos DVI.
Memang jurnalis foto profesional dituntunt bekerja sempurna, dalam artian kualitas dinomor-satukan. Lalu bagaimana kalau amatiran, yang ternyata saya temukan juga bisa melahirkan foto-foto sekelas dengan jepretan jurnalis profesional. Berikut saya bagikan beberapa contoh yang sengaja saya simpan sebagai referensi dalam satu folder khusus di komputer. Kredit foto terlampir.
[caption id="attachment_183122" align="aligncenter" width="630" caption="Foto karya Aries Rachmandy, Mei 2011. "]
[/caption] Dalam foto kedua ini, Aries Rachmandy, orang yang belum sempat saya ajak berkenalan langsung, mengirimkan foto hasil jepretannya untuk lomba fotografi amatir yang diselenggarakan Canon Indonesia. Saya kira sekarang lomba ini sudah menutup pengumpulan karya juga pemilihan via voting. Mengapa saya pilih ini? Karena pertama, Aries bukanlah jurnalis foto profesional, setidaknya itu tercermin dari profilnya di beberapa jejaring sosial. Yang kedua, karena lomba ini mewajibkan semua gambar adalah hasil jepretan kamera saku! Dan hasilnya dilihat, penuh cerita juga. Bahkan ini menurut saya sangat pantas bertengger di laman-laman berita utama yang bertema pendidikan dan ironinya. [caption id="attachment_183126" align="alignnone" width="630" caption="Foto "Pendidikan di Mata Kamera" karya Benny Perdana"]
[/caption] Foto kedua yang saya pilih adalah karya Benny Perdana, menunjukkan dua anak sekolah dasar yang sedang berjalan di tengah rel kereta api berbentuk jembatan. Dari keterangan gambar, Benny menyatakan ini adalah proses berangkat sekolah. Dan entah dengan sengaja mengikuti atau bagaimana, saya menilai foto ini tetap bernilai berita yang kuat. Dari ratusan foto lomba ybs yang saya lihat, hanya dua-tiga yang memenuhi kriteria jurnalistik, setidaknya menurut pandangan saya, sekali lagi. Saya mendapati fakta yang keren. Adalah bahwa, foto jurnalistik itu adalah ihwal pesan dan momentum. Pesan akan tersampaikan oleh konten gambar atau kejadian yang kita pilih sebagai berita. Sedangkan, momentum tersampaikan baik tergantung cara kita menyisipkan konteks di dalam foto itu. Pemilihan waktu, komposisi, dan sebagainya. Wah, tentu teori fotografi yang lebih baku bisa menjelaskan ini panjang-lebar secara lebih baik. [caption id="attachment_183129" align="aligncenter" width="620" caption="Foto amatir "Menembus Rob" karya Anggit Tinarbuka A. W. (via CanonIndonesia)"]
[/caption] Intinya, foto jurnalistik punya kolomnya sendiri, dan fotografer berita-berita jurnalistik patut diapresiasi sendiri. Foto yang meninggalkan pesan butuh lebih dari sekadar keterampilan menggunakan kamera. Foto jurnalistik butuh kepekaan perasaan, kekuatan mental, kecermatan memilih waktu, serta visi penyampaian pesannya. Saya jadi ingat
tulisan Kang Pepih yang membicarakan dilema jurnalisme foto dengan kemanusiaan. Yang menurutnya, yang jadi kewajiban fotografer tetaplah menyampaikan pesan, terlepas dari dia akan tergeser dari nilai humanisme. Tapi, itu sudah terlalu tinggi kan? Saya akan terus mengagumi fotografi jurnalistik. Ingat, foto jurnalistik yang saya maksud bukan hanya yang lahir dari tangan jurnalis profesional, tetapi semua bentuk karya foto yang ditujukan untuk menyampaikan berita kepada publik. Ada sesuatu, yang membuat foto-foto justru menjadi kuat, dan dalam banyak hal bisa membuat sebuah artikel sepenting apapun menjadi hambar tanpanya. Seperti itulah kekaguman saya. Sebagai sedikit bagi hasil jepretan sendiri yang "jadul", sengaja saya pasang foto di paling atas itu. He he he ....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Inovasi Selengkapnya