Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Membeli Memberi

6 Maret 2011   16:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:01 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Masih tentang Pak Guru. Pada suatu petang pertengahan Februari lalu, aku, beberapa teman kost beserta Pak Guru seperti biasa bercanda saling tertawa di bawah pohon mangga halaman asrama. Suasananya begitu cair. Sangking cairnya, ketawa kami berlima saat itu rasanya melelahkan. Energi lumayan terkuras, begitu pula bulir-bulir air mata sesekali meleleh. Konyol juga rasanya. Beberapa orang lalu lalang pulang kerja atau ngampus di jalan setapak depan. Siul saling bersiullah beberapa teman asrama setiap kali mata mereka menangkap sosok yang menarik, apalagi kalau bukan yang berambut panjang dan bercelana pendek ketat. Itulah mereka, menikmati kenakalan selagi jenggot masih bersih dari lebatnya jambang hari tua. Pak Guru hanya tersenyum sekali kalau hal-hal gila itu terjadi. Senyum pak guru sama manisnya dengan senyum simpul cewek-cewek yang lewat dan jadi sasaran siul tadi. Menjelang gelap, perut benar-benar lapar. Pak guru beranjak dari jok sepeda motor yang sedari tadi didudukinya, lalu berjalan ke arah jalan. Ia lalu melambaikan tangannya tanda memanggil seseorang dari jauh di sana. Oh, rupanya tukang siomay bersepeda yang dipanggil Pak Guru. Belum saya ceritakan. Pak Guru kami ini tidak suka dibilang dermawan, walau kenyataannya kantongnya serasa siaga terus setiap kali kami menyindir atau mengeluh seadanya soal perut. "Sudah itu ambil saja. Siapa yang lapar." Pak Guru memberikan komando. Serasa pintu gerbang terbuka lebar untuk mengenyangkan perut sejenak, berlompatanlah kami ke arah gerobak gandeng biru muda itu. Mas muda menjualnya pun tersenyum penuh menyambut kami. Ia merasakan kegirangan yang sama rupanya. Setelah kami menyelesaikan hajat perut kami, bungkus demi bungkus dibumbui kecap, sambal kacang, lalu saus tomat. Komplit. Aku mencukupi satu porsi, yang lain ada yang menyesal karena mencomot hanya 2 porsi. Pak Guru lalu menghampiri si tukang siomay. Mengambil sebungkus kecil bagiannya, lalu menyerahkan uang. Beberapa lembar uang merah, nampak olehku. Memperhatikan tingkah si tukang siomay yang kebingungan mencari kembalian, Pak Guru mengangkat telapak tangannya. "Tidak usah. Ambil saja kembaliannya, Mas." Benar saja. Si tukang siomay mengangkat topinya, tersenyum lebih lebar daripada sebelumnya, lalu membungkukkan kepala santun. Ia nyelonong pergi. Kayuh sepedanya mantap sekali. Adzan Maghrib mengiringinya.... "Membeli itu terkadang rasanya memberi." Pak Guru membuka pembicaraan lagi. Kali ini dari atas kursi kayu lipat di teras. Posisinya santai, butir-butir siomay ia urutkan keluar dari plastik dengan jari-jarinya. "Kalau kenikmatan memberi sudah tidak bisa lagi diukur dengan uang, maka kayalah hati kita, walaupun yang ada tinggal receh." sambungnya lagi. Kami semua berhenti mengunyah. Salah satu teman memecah keheningan, sendawanya meledak duluan. Kami menoleh ke arahnya, ia tersenyum tanpa dosa. "Pernah merasakan membeli tanpa harus meminta kembalian kan? Itulah membeli memberi." [caption id="" align="alignright" width="194" caption="sumintar.com"][/caption] "Membeli bukan untuk menyelesaikan transaksi saja, akan tetapi memuaskan niat dari hati untuk membantu orang lain. Sebungkus kecil siomay ini hanyalah hadiah kecil dari Tuhan atas pemberian kita itu. Namun bagi si tukang siomay, uang Rp 10.000,- adalah nikmat luar biasa. Kayuh sepedanya jadi lebih semangat kan tadi." Kami tak kuasa berkata apa-apa. Kami ingin rasanya mengiyakan atau membalas perkataan Pak Guru. Tapi kami menyerah, mengalah pada pembenaran kata-kata Pak Guru barusan. Bagaimanapun, itu juga yang kami rasakan. Suara sendawa kembali pecah dari belakang sana, entah siapa. "Uang hanya tetap akan menjadi kertas bergambar, jika ditaruh dan dilipat di dalam saku. Uang baru akan bernilai uang, jika diberikan ke orang lain yang butuh. Ini bukan masalah teori ekonomi, akan tetapi ihwal membeli dan memuliakan rezeki." Pesan-pesan singkat Pak Guru inilah yang membungkam kami berlima. Tak ada kata-kata sanggahan. Hanya mendengarkan kebenaran, tak kurang, tak lebih. Kami pun menghabiskan siomay lalu bergegas mengantre wudhu.

"Uang tidak bisa membeli kebahagiaan, jadi orang-orang memberikannya begitu saja untuk membangun kebahagiaannya sendiri."

Yogyakarta, Februari 2011. _________________ Cerita Sebelumnya: Pak Guru dan Nasi Goreng

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun