Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membangun Yogya untuk Manusianya

9 September 2014   17:39 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:12 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi jalan Malioboro di puncak musim liburan (Tribunnews/Bramasto Adhy)

[caption id="" align="aligncenter" width="565" caption="Kondisi jalan Malioboro di puncak musim liburan (Tribunnews/Bramasto Adhy)"][/caption]

Pada September 1754, Gubernur V.O.C. untuk wilayah Jawa Utara Nicolaas Hartingh berhasil mendesak Kerajaan Mataram untuk melepaskan Semarang dan Lasem menjadi kota pelabuhan dan perniagaan logam. Kedua distrik koloni ini kemudian dibangun maju sebagai pusat bisnis kota pesisir. Satu pusat distribusi dan satu pusat produksi. Sementara sisa Mataram di selatan, yang lewat Perjanjian Giyanti setahun kemudian dibagi dua menjadi Surakarta dan Ngayogyakarta, disebut “kota dalam” alias pedalaman. Bagi kapal-kapal Belanda, gelombang teduh Laut Jawa lebih menguntungkan ketimbang ombak ganas Samudra Hindia. Kerajaan terbesar di Jawa Tengah pun dibiarkan tersudut antara kosmosis Kraton dan kelemahan pertahanan manusianya.

Akan tetapi, kosmosis Kraton Ngayogyakarta yang dulunya berpusat di Kotagede itu menyimpan rahasianya sendiri. Sumbu khayal yang menghubungkan Gunung Merapi, Keraton dan Laut Selatan membuat iri orang barat manapun waktu itu. Bentuk kawasan berprinsip mikrokosmos dan makrokosmos yang dilahirkan dari primbon Jawa sama sekali lain dari cara berpikir ahli tatakota Belanda yang senantiasa mengandalkan kanal-kanal dan benteng.

Mereka tidak tahu bahwa keempat bastion (menara pertahanan di pojok, mikrokosmos) Kraton Ngayogyakarta sempat bertahan 30 jam dari serangan pasukan Inggris sebelum akhirnya takluk karena kalah jumlah pasukan, pagi hari bulan 19 hingga 20 Juni 1812 (sumber). Mereka juga tidak tahu bahwa para pelarian setelah Kraton jatuh, termasuk anggota keluarga dan para abdi Sultan, berkumpul di Masjid Gede Kauman (bagian makrokosmos), dan tidak satupun tentara Kaukasia itu boleh mengganggu mereka di sana.

Akan tetapi, masa itu yang berbicara adalah hukum perang. Siapa yang menang menentukan nasib yang kalah. Faktanya, bastion-bastion Kraton Ngayogyakarta (kini dikenal sebagai Pojok Benteng) memang dirancang bukan untuk pertahanan militer, melainkan sekadar menara pantau, dan pembatas wilayah pekarangan sang Sultan di empat penjuru. Sama halnya barisan dinding pagar dan paritnya di tiap-tiap sisi. Kemenangan orang-orang Kaukasia di masa itu murni karena Kraton tidak menyiapkan diri untuk pertumpahan darah.

[caption id="" align="alignnone" width="500" caption="Peta persebaran sisa Kerajaan Mataram setelah Perjanjian Giyanti (Wikimedia Commons, sumber dari Historical Atlas of Indonesia, Robert Cribb)"]

Peta persebaran sisa Kerajaan Mataram setelah Perjanjian Giyanti (Wikimedia Commons, sumber dari Historical Atlas of Indonesia, Robert Cribb)
Peta persebaran sisa Kerajaan Mataram setelah Perjanjian Giyanti (Wikimedia Commons, sumber dari Historical Atlas of Indonesia, Robert Cribb)
[/caption]

Dalam perkembangannya, kota Yogya dengan pusat di Kraton didasarkan pada bagaimana manusianya hidup dan berkembang. Orbitnya planet-planetnya jelas dengan pusat tatasurya pada Sultan dan Keluarganya. Golongan pemerintah dan para abdi, bersatu dengan priyayi di ndalem; kelompok pendatang dari Arab berasimilasi budaya dengan warga-warga Islam di kampung Kauman di sebelah barat. Di ring lebih luar, pengusaha Tionghoa diberi ruang di Malioboro dan Kranggan untuk berdagang, sementara selebihnya hingga ke garis tepi, dengan komposisi paling besar hidup kalangan pedagang pribumi, petani dan nelayan. Penataan sentrifugal ini bertahan hingga setidaknya 1900-an awal, saat Vredenburg sudah berdiri dan gaya kuasa militer mulai merecoki pola hidup masyarakat.

Kini, semua pola kosmis bangun-bangunan serta kawasan di pusat kota Yogyakarta itu tidak sesakral dulu. Setelah 2000-an Kraton tak lebih dari lingkungan teduh pusat kekuasaan yang sifatnya simbolis, teralienasi dari pola aliran pembangunan baru di sekelilingnya. Kerajaan Mataram tak lebih dari sejarah. Simbol-simbol Keraton terhalang kotornya peletakan baliho, kotak-kotak berlampu, dan kabel-kabel melintang. Kosmosis tatakawasan yang dulu dikagumi Belanda itu kini justru ditelan oleh lalulintas tak teratur terdiri dari motor, sepeda, becak, andong, mobil, dan bus yang berlomba menguras dompet pendatang. Kraton yang dulunya pusat pertahanan, kini justru berusaha bertahan dari gempuran peradaban di sekelilingnya. Harga-harga barang dan jasa menempel di pagarnya.

Nampaknya, cara orang-orang pasca-Belanda membangun Yogyakarta jauh berbeda. Kala penjajahan usai dan kota dikuasai sepenuhnya oleh kita, pembangunan tidak lagi banyak memakai prinsip-prinsip “pembagian jatah” antargolongan manusia semacam di atas.

Dari Malioboro, kini para pedagang Tionghoa terdesak hingga ke kampung Ketandan di antara gang-gang kecil di sisi timur, sementara di Kranggan mereka bersaing dengan kantor-kantor bisnis besar. Kawasan Kauman sendiri masih bertahan sebagai pusat kegiatan keagamaan. Selebihnya, tidak banyak yang bisa terlihat. Pembangunan Yogyakarta yang bertumpu pada kebaikan pada investor menenggelamkan marka-marka kehidupan orang-orang yang hidup di situ berpuluh-puluh tahun dan bergenerasi. Gedung-gedung swasta mengangkangi garis khayal kosmis dan Kraton tak bisa berbuat apa-apa.

Dahulu, benteng Vredenburg dibangun Belanda dengan maksud menghalau serangan mendadak petani dan nelayan dari pedalaman, juga untuk membuktikan bahwa mereka bisa membangun sesuatu yang melebihi kemegahan Kraton. Di masa kini, orang pribumilah yang mempertontonkan keangkuhan semacam itu. Hotel dan apartemen yang berdiri banyak di kota Yogya hari ini menggeser orang Yogya sampai ke pinggiran. Lantai-lantai mengkilap itu dipoles bukan untuk rakyat golongan ring 2, 3, atau 5 yang dulu diatur Sultan untuk hidup dan makan dari tanah Mataram.

Komersialisasi pembangunan yang membelit kota Yogyakarta tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Investasi mesti berjalan dan pembangunan gedung-gedung di kota meski terus menemukan peluang. Sisa daya tarik Yogya rupanya masih lebih dari cukup bagi para pendatang untuk mampir, menghabiskan uang atau bahkan menanamkan modal. Bentuk penjajahan telah berubah.

Pada dasarnya semua ulangan. Dulu Kraton diserbu orang-orang Tionghoa dan Arab yang berdagang karena daya tariknya yang luhur dan etos kerja yang menguntungkan. Hanya saja, hari ini pemerintah kota dan daerah di Daerah Istimewa tidak menyiapkan perangkat yang sekuat kosmosis Kraton di masa-masa awalnya. Pemerintah daerah kelabakan dengan gedung-gedung komersial yang terlanjur dibangun, sementara sebagian perangkat hukumnya belum jadi.

Bertetangga dengan Kraton, Slemanlah yang paling tidak siap dengan komersialisasi. Lihatlah baliho-baliho berlampu tinggi yang mengotori Jalan Affandi, yang oleh pengamat ISI Sumbo Tinarbuko dikampanyekan sebagai bentuk penyampahan visual.

Sementara khusus untuk bangun-bangunan, hingga saat ini Sleman ternyata belum menelurkan aturan khusus mengatur apartemen dan gedung huni bertingkat lainnya. Padahal, bahkan pusat-pusat perbelanjaan hingga kondotel saat ini banyak berkepompong di sana siap menetas. Bahkan di jalan inspeksi sekitar Babarsari hingga Pogung di dekat UGM sudah dikavling pagar seng oleh pengembang. Investor cerdik betul menyasar kawasan dengan celah aturan paling rapuh. Mereka tahu instruksi penangguhan pembangunan yang baru saja diteriakkan pemda hanya gertak sambal. Aturan bakunya belum tentu jadi dalam 2014.

Di kota Yogya, pesatnya pembangunan fisik mulai membikin gerah. Protes dari warga sekitaran Jalan Mangkubumi perihal air tanah yang susut ditunjuk-hidungkan ke hotel-hotel minimalis baru yang belakangan menjamur. Pemerintah kota dalam akhir Agustus kemarin rajin menggelar inspeksi mendadak terkait hak pemanfaatan air tanah. Tiga hotel lalu disegel sumurnya karena dianggap tidak memiliki itikad baik untuk penyelamatan air (sumber). Apakah itu cukup bagi rakyat kota Yogya?

Membangun ruang untuk orang

Dalam buku Model Baru Perancangan Kota yang Kontekstual, arsitek yang juga peneliti kota asal Swiss Markus Zahnd mengkritik tatakelola kota Yogyakarta --seperti kebanyakan kota besar di Indonesia yang mengarah ke metropolitan, menyebutnya sebagai “dangkal dan monumental”. Dangkal, karena pembangunan fisik (hotel, perumahan, perkantoran) berjalan parsial tanpa merancang pembentukan lingkungan kawasan. Monumental, karena dari periode pemerintahan satu dan selanjutnya, pembangunan parsial ini dilakukan sekadar menjejakkan warisan pembangunan. Bahasa ‘keberlanjutan’ jadi pemanis lidah semata.

Hal mendasar yang disorot Zahnd di Yogyakarta (bersama dengan Semarang), adalah bahwa pembangunan yang terjadi setelah abad ke-20 (ia istilahkan sebagai postmodern) di bagian kota tidak mengikuti karakter asli kota di masa lalu. Kosmosis Kraton dan Kauman dikepung dari segala penjuru oleh pembangunan gaya metropolitan yang akrab dengan Jabodetabek, membuat banyak gaya lingkungan dan arsitektur asli Jawa semakin ke pinggir dan tersembunyi. Hotel-hotel dan apartemen dibangun dengan gaya postmodernis, sementara karakter Jawa hanya dijadikan bumbu atau ornamen.

[caption id="" align="alignnone" width="418" caption="Denah Keraton Yogyakarta (tembi.org)"][/caption]

Seakan diarahkan untuk berkembang sebagaimana kota metropolitan lain di Indonesia, Yogyakarta pun mengalami pergeseran paham soal apa yang sebenarnya ingin dibangun sebagai pemandangan orang-orang yang hidup di dalamnya. Menurut Zahnd, kota Yogyakarta ikut-ikutan menderita pembangunan yang bertumpu pada massa (gedung, fisik, fasad) dan bukannya void (ruang-ruang). Banyak bangunan baru yang dibuat secara sendiri-sendiri oleh pengembang, sementara pemerintah selalu kalah beberapa langkah untuk mengatur tata ruang di sekitar. Pengembang berlomba menggerakkan bidak-bidaknya, pemerintah alpa menentukan putih-hitam papan caturnya. Tidak mengherankan jika air tanah susut dan sumur-sumur warga kering, lalulintas macet, dan drainase terhambat. Warga memprotes sendiri ke pihak hotel, di saat pengembang sudah pindah ke caplokan lainnya.

Munculnya berbagai aksi, baik lisan maupun tulisan soal merosotnya kualitas ruang di kota Yogyakarta dan Sleman mudah dilihat dan dipahami bahkan oleh mata awam. Pembangunan hotel, apartemen dan kondotel setelah tahun 2007 seperti keran yang baru saja dibuka, dan sangat mungkin berlangsung terus sampai setelah Pasar Bebas Asia 2015.

Tingkat kunjungan wisatawan ke Yogyakarta di tahun 2012 sudah mencapai 3,5 juta orang, dengan proyeksi pertumbuhan hingga 10% per tahun. Dengan prosi lebih dari 96%-nya merupakan wisatawan domestik (sumber). Bisa dibayangkan bagaimana persaingan harga properti, jasa penginapan, dan bangunan bisnis yang ditawarkan pengembang. Belum lagi, penetrasi masyarakat Jabodetabek, Sumatra, Kalimantan dan Indonesia Timur yang sebagian memilih menetap. Kawasan pemukiman mesti berada di ruang terpisah dengan kawasan bisnis.

Pertanyaannya: Mengapa hingga saat ini pemerintah Yogyakarta belum menambah kapasitas jalan?

Proyek pembangunan jalan layang non-tol Janti dan baru-baru ini Jombor (selesai 2013 lalu) sama sekali tidak memengaruhi perbaikan kualitas lalulintas di tengah kota --sepertinya tujuannya memang bukan demikian. Menyadari arus wisata dan bisnis dari Jawa bagian barat meningkat via Semarang, Yogyakarta memberi akses untuk mobil-mobil pribadi lewat jalan layang Jombor. Proyek ini menghabiskan uang negara Rp 114 milyar dan direstui Kementerian PU dan Perhubungan, disebut-sebut sebagai “awal dari rangkaian proyek jalan layang yang secara bertahap akan mengelilingi Yogya” (sumber).

Padahal kalau pemerintah Yogyakarta serius membenahi, mestinya yang jauh lebih penting adalah memastikan arus lalu lintas di kota, dan kawasan sekitarnya lancar. Malioboro di hari-hari puncak liburan dilalui hingga 36 ribu kendaraan, sementara rencana pembersihan kawasan pedestriannya masih jauh dari harapan. Di jalan-jalan lain yang tidak begitu “menjual”, jalan-jalan rusak karena penggalian saluran drainase/IPAL/serat optik sementara lebarnya dari dulu tetap sedemikian. Kota Yogyakarta belum melakukan apa-apa mengantisipasi lonjakan sepeda motor yang mendekati angka 2 juta unit setiap tahun.

Paradigma pembangunan kota harus kita perbaiki, kembali ke arah dan jalan yang benar. Pemerintah kota dan daerah selama ini banyak bereaksi tapi jarang menginisiasi, termasuk berkaitan masalah-masalah penataan ruang kota. Jika inisiasi dipersiapkan sedini mungkin, maka lonjakan permintaan kawasan bisnis ataupun jumlah kendaraan di jalan Yogya bisa dihadapi tanpa ketinggalan langkah oleh mereka yang bermotif uang dan keuntungan. Kota Yogyakarta mulai bertindak berdasarkan “bagaimana membangun ruang untuk orang, dan bukannya membangun jalan untuk kendaraan” (move people, not cars).

Gubernur Jenderal V.O.C. yang paling sohor sebagai pembangun kota mungkin hanya Thomas Stanford Raffles, yang membeli sebidang luas tanah di semenanjung timur Sumatra dari Kerajaan Johor pada 1819. Wilayah bernama asli Tumasik yang dulunya tidak dianggap karena dibangun oleh seorang pelarian Majapahit, Parameswara, di tangan Raffles terbangun megah sebagai pusat keuangan, bisnis perkantoran, dan drainase. Tumasik menjelma menjadi pelabuhan yang cantik yang diperluas dengan reklamasi. Singapura hingga sekarang memecundangi tanah Indonesia di seberangnya dengan lampu-lampu terang dan pergerakan orang yang begitu dinamis.

Tapi tentu tidak ada kata terlambat. Jika sekarang Yogyakarta diseret untuk berpenampilan metropolitan yang megah tapi tak bernyawa, maka tugas orang-orang Yogyakarta adalah mempertahankannya dengan segala daya upaya. Identitas Kraton dan kosmosis Jawanya yang berabad-abad itu tidak seharusnya dijual, tetapi dipakai untuk membangun ruang untuk manusia-manusia penerus kekuasaan. Yogya sebagai rakyat pernah berhasil mengusir Inggris dan Belanda. Di masa kini pastilah bisa mengatur jalan hidupnya sendiri tanpa didikte para pembangun yang tidak punya apa-apa selain uang dan kecenderungan oportunistis.

*

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun