[caption id="" align="aligncenter" width="570" caption="Poster kampanye perayaan 40 tahun Taman Mini Indonesia Indah (Kompasiana.com/Humas TMII)"][/caption]
Waktu itu kelas lima SD, di perpustakaan saya baru saja merasakan minat baca yang bertunas, dengan dua buku kesukaan: Ensiklopedia Bahasa Indonesia dan Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap (RPUL). Ensiklopedia agak sulit kala itu karena banyak istilahnya yang saya tidak mengerti (terutama nama-nama latin flora-fauna), tetapi RPUL, dengan nikmat saya cerna karena banyak pengetahuan di dalamnya yang juga dibahas dalam kelas.
Tahun 1999, dari RPUL saya pertama kali menghapalkan nama-nama rumah dan gambar pakaian adat se-Indonesia (waktu itu masih 27 provinsi). Saat itu pula saya pertama kali membaca tentang Taman Mini Indonesia Indah, taman luas yang banyak rumah adatnya. Rumah Limasan, Rumah Gadang, bahkan Hanoi dan Tongkonan. “Pagelaran adat semua provinsi di satu tempat”.
Bagi anak sekolah di daerah timur, Jakarta di masa itu, adalah sebuah tempat yang jauh, “ibu kota negara”. Pusat pemerintahan. Tempat Garis-Garis Besar Haluan Negara disusun. Tempat gedung-gedung tinggi terbangun. Tempat presiden tinggal. Dan Taman Mini Indonesia Indah yang dilengkapi anjungan-anjungan adat 27 provinsi itu, ada di sana. Pun dari situ saya ketahui bahwa gagasan membangun taman bertema “Indonesia Mini” datang dari Siti Hartinah, Ibu Tien, istri Presiden Suharto. Perempuan Jawa dan ibu negara yang meninggal dunia dan pemakamannya diberitakan di semua televisi dan radio tiga tahun sebelumnya.
“Cita-cita membangkitkan rasa bangga kita terhadap Tanah Air, dengan kekayaan alam, kebudayaan dan adat Indonesia yang beragam,” begitu kira-kira alasan Ibu Tien saat menyampaikan gagasannya membangun taman Indonesia Mini dalam Rapat Kerja Gubernur, Bupati dan Wali Kota seluruh Indonesia Istana Negara, 30 Januari 1971.
Mengingat posisinya sebagai istri presiden dan pemilik Yayasan Harapan Kita--pihak penanggungjawab yang merupakan lembaga swasta, kritik terhadap gagasan Ibu Tien datang dari berbagai kalangan. Kesulitan ekonomi yang dialami negara dianggap tidak cocok dengan ide membangun taman budaya seluas 150 hektar. Dan pembiayaan berasal dari swasta akan menimbulkan potensi “politik balas budi” nantinya. Sang suami, tentu saja, membela sang Ibu Negara, memerintahkan Menteri Dalam Negeri Amir Mahmud mendampingi proyek ini dan mengupayakan dana serta ide tambahan, terutama soal bangunan dan pakaian adat, dari para gubernur se-Indonesia.
Setelah pergulatan panjang dengan ide dan gagasan, termasuk berbagai penolakan dari kelompok aktivis dan mahasiswa, Taman Mini Indonesia Indah rampung setelah pembangunan selama tiga tahun, dibuka secara resmi oleh Presiden Suharto pada 20 April 1975. Setelah Ibu Tien meninggal dunia pada 1996, Taman Mini makin dikenal dengan berbagai bangunan dan anjungan khas, termasuk Masjid At Tien yang diturunkan dari nama mendiang Ibu Negara. Bahkan setelah Suharto lengser pun, Taman Mini masih diteruskan perawatannya oleh presiden-presiden berikutnya, dengan berbagai museum ilmu pengetahuannya, teater dan bioskop raksasa, juga anjungan-anjungan adatnya, hingga saat jumlah provinsi kita sudah 34 hari ini.
Saat saya akhirnya menginjakkan kaki ke Taman Mini Indonesia Indah bulan November tahun 2014 lalu (yang berarti 15 tahun sejak saya membacanya dari RPUL), kesan yang timbul dalam pikiran saya adalah kesungguhan. Dengan kondisi negara sulit ekonomi, potensi kerusuhan menyeruak kala itu, dan dengan waktu pengerjaan hanya tiga tahun, bangsa kita berhasil membangun taman beragam adat yang belum pernah ada di belahan dunia manapun. Mungkin saja pemerintahan Suharto mendapat pujian besar, secara politik dan nonpolitik, atas proyek ini, tetapi gagasan yang datang dari seorang Ibu Negara patut dikenang sebagai keberanian dan kecintaan pada adat-adat Tanah Air. Konon, Ibu Tien begitu mencintai adat Jawa sampai semua bagian pemerintahan dan kediamannya diwarnai dengan ornamen-ornamen tradisional.
Saya tidak sempat berkeliling Taman Mini, bahkan belum sekalipun memasuki teater Keong Emas dengan layar IMAX-nya yang dahsyat itu. Tapi bahkan dari pelataran Sasono Budoyo dan berdiri di bawah Tugu sambutan, saya merasakan kehangatan kampung halaman, kedekatan budaya yang bermacam-macam di tengah kerumunan orang.
Ini adalah buah besar dari pohon keanekaragaman Indonesia yang termashur, kokoh dan berdiri pada akar yang sama. Tidak salah jika mantan Pemimpin Inggris Raya, mendiang Margaret Thatcher sempat menyeletuk, “Yang saya sesalkan dari kunjungan saya (ke indonesia) adalah singkatnya kunjungan itu.” (Kompas, 10 April 1985 ditayangkan ulang Kompas.com 8 April 2013) Ditemani Presiden Suharto dan Ibu Tien, The Iron Lady berkeliling anjungan adat di Taman Mini selama kurang lebih satu jam pada hari panas 9 April 1985, dalam lawatannya mempererat hubungan ekonomi, teknologi dan industri kedua negara.
Tercatat beberapa kepala negara sahabat pernah diajak berkeliling Taman Mini, termasuk Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad, Presiden Filipina Ferdinand Marcos, beberapa presiden dari benua Amerika, sampai imam-imam besar dari Semenanjung Arab. Bahkan, pemimpin Gereja Katolik Roma Paus Yohanes Paulus II menyelenggarakan pertemuan pentingnya dengan para pemimpin umat Katolik, anggota DPR-MPR, juga menteri-menteri kabinet di Taman Mini pada pagi tanggal 10 Oktober 1989. Menteri Agama masa itu, K.H. Munawir Sjadzali terkenal dengan sambutannya, “Memang benar Islam merupakan mayoritas di negeri ini, tetapi kami tidak mengenal istilah mayoritas dan minoritas.”
Taman Mini jadi pelataran untuk banyak pihak memperingati keberagaman, toleransi, dan kebanggaan terhadap perbedaan. Tentu alasan yang sama mengapa kunjungan Paus Yohanes Paulus II turut bertempat di Taman Mini, bukan cuma karena tempat itu luas dan representatif, tetapi juga mewakili penyatuan berbagai latar suku, adat, agama. Di banyak sisi, Taman Mini menjadi penanda bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar, bermartabat, dan menjaga betul kebanggaannya sebagai gabungan dari banyak Nusa.
Terlepas dari rekreasi kebudayaannya yang begitu kental, Taman Mini sebagai tempat wisata terikat dengan kebutuhan nilai strategis dan ekonomis. Sebuah taman bertema (theme park) yang memungut bea masuk dari pengunjung mesti menjual tidak cuma lansekap yang unik, tetapi juga pengalaman yang berharga. Itulah mengapa banyak slogan wisata kini menggunakan kata experience-- merasakan dari luar ke dalam. Sewaktu pertama kali memasuki Taman Mini November silam itu saya mendapatkan kesan bangga tadi, tetapi juga masih sejumlah catatan yang sejenak saya tandai.
Dari sisi pengunjung, jelas Taman Mini mewakili apa yang dibutuhkan kebanyakan liburan keluarga: tempat yang luas, sejuk, wahana rekreasi yang beragam, dan tiket masuk yang terjangkau. Hingga hari ini jumlah pengunjung bulanan Taman Mini mencapai 120 ribu hingga 270 ribu. Kebanyakan memang masih berupa wisatawan domestik, datang dari daerah terdekat dari Ibu Kota. Tantangannya, sebagai theme park budaya terbesar di dunia, Taman Mini harus bersiap menyambut dibukanya pasar wisata lebih luas seiring Pasar Bebas 2015.
Saya merangkum beberapa komentar publik pelancong berdasarkan ulasan tentang Taman Mini Indonesia Indah di laman wisata TripAdvisor. Menariknya, bahkan para wisatawan mancanegara memuji Taman Mini sebagai “gambaran Indonesia secara komprehensif dalam taman miniatur”. Beberapa terang-terangan menyebutnya sebagai “Indonesia Mini”, sebagaimana diistilahkan semasa Ibu Tien dahulu.
Pelancong bernama akun HIstorylove, asal Mumbai, India, menulis, “Atraksi serta daya tariknya ditampilkan dengan baik dan informatif,” secara khusus memuji elok dan “spektakular”-nya pemandangan Kepulauan Indonesia Mini dari atas kereta gantung seharga tiket kurang dari US$2 (Rp 20.000,-). Pelancong lain, anthonysingapore, asal Singapura, menyinggung beragamnya konstruksi bangunan yang ia saksikan, menandai Taman Mini sebagai “tempat yang tepat untuk fotografi”.
Beberapa pelancong bahkan terang-terangan menyebut betapa Taman Mini menarik minat banyak orang untuk datang. Princhesz dari Sydney mengaku telah sedikitnya empat kali mengunjungi Taman Mini dan telah mengajak banyak rekannya ikut. “… dan mereka menyukainya,” tulisnya.
ShannieKay dari Korea Selatan menulis “excellent place to explore the outdoors.” Isuki88 dari Kuala Lumpur secara khusus menuliskan pengalamannya “Lima jam menjelajahi Indonesia”, lewat museum ber-arsitektur Bali yang menyimpan berbagai pengetahuan. Terakhir, HaksiRanchi seorang kontributor senior pada laman panduan wisata dunia itu bahkan menganggap Taman Mini sebagai “contoh kecil bagaimana bangsa Indonesia hidup secara lokal, tersebar dan menyatu”.
[caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="Penampilan Tari Jaipongan di Anjungan Jawa Barat, Taman Mini Indonesia Indah, Juni 2011. (Kredit Foto: Gunawan Kartapranata/Wikipedia Indonesia)"]
Tidak salah pula jika banyak pelancong merasa negara mereka perlu juga membangun taman serupa Taman Mini, sebagaimana ditulis seorang pengguna bernama akun Manichem09, asal Hyderabad, India. “Saya mengunjungi Taman Mini Indonesia Indah pada November 2007….. Di tengah kampus, ada danau besar dengan taman-taman yang menawan. Anda dapat menyaksikan pertunjukan tarian langsung dari berbagai macam suku. Tempat yang bagus sekali. Saya harap India juga memiliki Taman Miniatur semacam ini yang menunjukkan keragaman budaya masyarakat India.”
[caption id="attachment_375666" align="aligncenter" width="500" caption="Kutipan seorang pelancong Australia di laman panduan wisata TripAdvisor membahas Taman Mini Indonesia Indah. Dikutip pada 29 Maret 2015."]
Meski menuai banyak pujian, Taman Mini juga ternyata masih punya celah untuk dikritik. Pengguna Princesz asal Sydney tadi mencatat sulitnya menemukan tempat makan yang bagus di area seluas 150 hektar. Juga, kondisi toilet yang “butuh perhatian khusus”. Selain itu, ada masalah-masalah seperti beberapa bagian yang “terlalu padat” sementara lainnya terlalu sepi. Ada juga keluhan ketidakberaturan yang ditunjukkan pengunjung lokal (mungkin menyangkut sampah sisa makanan, pedagang kakilima, atau semacamnya). Pelancong bernama akun Expert1travel yang mengaku berkunjung Maret 2015 berharap semakin banyak wisatawan “barat” yang datang ke tempat ini.
Saya sendiri sebagai wisatawan domestik, turut merasakan kesenangan sekaligus kegusaran soal apa-apa yang perlu diperbaiki dari Taman Mini. Ita tidak perlu kunjungan berkali-kali untuk menyadari bahwa Taman Mini juga bermasalah dengan kebiasaan wisata kita yang belum teratur dan belum tertib soal sampah. Sewaktu berjalan menuju Sasono Utomo, saya bahkan melihat para petugas mondar-mandir menyapu kotoran bungkus nasi yang berserakan di atas rumput, atau sopir-sopir yang tidur bertelanjang dada di area terbuka.
Di beberapa tempat saya mendapati rambu penunjuk arah yang rusak dan dicoreti, penjaga loket yang tertidur dan atau merokok di dekat anak-anak, serta toilet gedung utama yang lampunya mati sehingga untuk pipis kita harus membuka pintu sedikit agar cahaya dari luar bisa sedikit membantu.
[caption id="attachment_375667" align="aligncenter" width="560" caption="Ruang Terbuka pelataran Sasono Utomo, Taman Mini Indonesia Indah dipadati pengunjung domestik di hari libur. Foto diambil pada 22 November 2014. (@FandiSido)"]
Pesan Wisata yang Besar
Seperti banyak tempat wisata lain, Taman Mini memerlukan upaya terus-menerus memelihara semua bagiannya, dari yang besar hingga yang kecil, dari yang penting seperti denah lokasi sampai tempat sampah toilet. Menyambut keterbukaan pasar wisata semakin lebar tahun ini, Taman Mini wajib bersiap memberikan nilai lebih dari sekadar ekspektasi tempat hiburan dan sumber pengetahuan.
Kesan dan pesan yang disampaikan dengan lugas oleh banyak pelancong mancanegara terhadap Taman Mini tentu saja bernada apresiatif, setidak-tidaknya menganggap bahwa dalam hal pariwisata, Indonesia punya banyak sekali tawaran selain pantai pasir putih di Bali atau pesta adat nun jauh di pegunungan Tana Toraja. Di Taman Mini, representasi wisata budaya Indonesia sejatinya bukanlah miniatur, tetapi duta penting untuk turut memperkenalkan pariwisata banyak daerah.
Mungkin anjungan Sumatra Utara kecil dengan menampilkan Ulos dan tarian Sigale-gale, tetapi yang “dijual” sebenarnya lebih luas dari hamparan Samosir di Danau Toba. Mungkin yang nampak hanya Tongkonan, tetapi yang dijual sebetulnya sinergitas pariwisata dari ujung selatan Sulawesi sampai ujung utara di Kepulauan Bunaken, dari penganan khas Coto Makassar sampai Panada Gorontalo bahkan Papeda dari Papua. Taman mini merekreasi secara nyata apa yang ditawarkan industri pariwisata Indonesia di tahun-tahun mendatang: tidak cuma penampilan, tetapi juga atmosfer, dinamika serta kredibilitasnya sebagai tujuan devisa.
[caption id="" align="alignright" width="284" caption="Rumah Gadang di Anjungan Sumatra Barat, Taman Mini Indonesia Indah, Agustus 2010. (Kredit Foto: Gunawan Kartapranata/Wikipedia Indonesia)"]
Apalagi, Kementerian Pariwisata sudah menargetkan kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia tahun-tahun mendatang bisa mencapai angka 20 juta pelancong, dan menembus 19 pintu masuk utama. Taman Mini memainkan perannya menunjukkan keaslian karakter pariwisata Indonesia yang khas dan tidak ada di negara manapun: kaya akan adat, tradisi yang kental dengan perayaan, dan eksotisme geografis terbuka untuk siapapun. Taman Mini akan sangat membantu Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Papua yang mana pemerintah-pemerintah daerahnya sedang berjuang keras mengejar pendapatan pariwisata minimal setara Jawa dan Bali.
Di usianya yang memasuki 40 tahun, Taman Mini Indonesia Indah sedang menapaki masa-masa keemasannya bertepatan dengan tantangan pariwisata dan simposium budaya dunia yang makin ramai. Pasar Terbuka Asia sedang datang bersama meriahnya para pelancong asal Timur Tengah dan Australia di pintu-pintu masuk kita. Sudah sewajarnya jika Taman Mini menyiapkan “dirinya” jauh lebih baik dari sejak dicetuskan sebagai ide pertama kali pada tahun 1970 silam dari sebuah kediaman hangat di Jalan Cendana. Jauh lebih kaya sejak saya membacanya di RPUL semasa SD.
Meski dibangun atas prakarsa dan tanggung jawab sebuah yayasan swasta, Taman Mini kini adalah aset bangsa, dijual sebagai bagian dari “komoditas bernilai tinggi” setiap lawatan kepala negara atau duta-duta pariwisata kita. Taman Mini spesial karena memelopori taman rekreasi bertema keragaman adat-budaya. Sejujurnya, Taman Mini merupakan konsep baku yang sulit ditiru, karena dibangun dengan pengumpulan pengetahuan arsitektur yang begitu ketat, pemahaman ide etnis-lokal yang kental serta melalui proses konstruksi yang teratur. Tercatat, negara yang akhirnya meniru konsep Taman Mini hanya Filipina, dengan “Miniature Village”-nya, juga digagas oleh mantan Ibu Negara mereka Imelda Marcos.
Kini, tigapuluh empat provinsi sudah mempertunjukkan kekayaan Indonesia di pelataran Taman Mini Indonesia Indah. Bukti penting bahwa keragaman kita berbuah semakin banyak dengan nilai-nilai semakin luas, berdampingan dan bersisian. Kekayaan lokal kita akan dihubungkan dengan visi-misi internasional. Dan karena visinya mempererat kebersatuan budaya inilah, Taman Mini telah memaniskan banyak kesan, dan tugasnya kini adalah mematangkan banyak pesan. Pesan kita sebagai bangsa yang beragam namun bersatu. Pesan bahwa kita punya segala sesuatu untuk menyambut kunjungan demi pengetahuan dan pariwisata produktif.
Taman Mini menanggung tanggung jawab sebagai Taman Peradaban Internasional dan Wahana Perdamaian, gelar penting dari sederet gelar bernuansa Pendidikan-Kebudayaan-Peradaban yang diraihnya. Di Taman Mini juga kini terbangun plaza KTT Nonblok yang menampilkan prasasti perdamaian serta tiang bendera dari 186 negara. Pada tahun 2015 ini pula Indonesia akan menjamu tamu-tamunya dalam peringatan penting Konferensi Asia Afrika. Saya pikir, tidak ada tempat lebih cocok untuk menunjukkan simbol-simbol komprehensif perdamaian dunia milik Indonesia, kecuali Taman Mini Indonesia Indah. Citarasa dan pesona abadi yang lahir dari lokalitas yang teruji.
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H