Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mayoritas Senyap

21 Juni 2012   22:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:41 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (hwaairfan.files.wordpress.com)

[caption id="" align="alignnone" width="472" caption="Ilustrasi (hwaairfan.files.wordpress.com)"][/caption] *

“Saya tidak membela siapapun, saya netral. Kami netral!”

Kalimat yang sulit dipercaya, keluar dari mulut pemimpin kelompok warga yang akhirnya pergi dari tempat kejadian. Diskusi itu resmi dibatalkan demi keamanan. Meskipun panitia bersikeras bahwa tema yang diangkat adalah diversifikasi kultural yang sangat dekat dengan nilai-nilai kemasyarakatan Tanah Air, tetap saja kepolisian Resor Sleman memilih membubarkan acara. Tidak ada izin gangguan, dalih  mereka. Juga karena pembicaranya, Peterscoon J. Zein, mualaf yang juga seorang pemerhati hubungan antaragama, tak pernah dilaporkan sebagai tamu dari negara lain.

Sebetulnya warga sekitar sebelumnya tenang-tenang saja. Adem ayem, karena sebelumnya telah beberapa kali diselenggarakan acara yang mengundang pembicara “asing”. Bedanya kali ini, datang dua kelompok warga lain yang membawa bendera laskar pembela agama tertentu, lengkap dengan pakaian seragam mereka yang mencolok. Arya, sang ketua panitia, menginstruksikan rekan-rekannya untuk mengutamakan keselamatan pembicara dan segenap undangan. Saat suasana kembali senyap, ia baru sempat merapatkan tubuhnya di salah satu dari beberapa kursi yang sudah tergeser jauh dari tempatnya semula. Evaluasi lebih awal. Beberapa lampu dimatikan agar tidak memancing amarah kelompok tertentu. Ratusan personel berjaga dan garis polisi telah dibentangkan. Sang pembicara telah digiring ke Kantor Kedutaan Besar negara asalnya. Menteri terkait telah dikabari.

“Para petugas itu tidak tahu apa-apa, kawan.” Arya membuka topik ketika beberapa rekannya yang perempuan masih terisak, mencampuradukkan perasaan kaget, takut, juga trauma. Diserang mendadak oleh sekelompok ormas memang bukan kali pertama mereka alami, tapi yang ini, jauh lebih menyakitkan. “Kita diobrak-abrik di rumah sendiri, di depan tamu sendiri. Lucunya, yang mengobrak-abrik adalah orang kita sendiri, dan disaksikan tetangga kita sendiri.”

“Aku sendiri tidak habis pikir. Apa yang dipikirkan warga sekitar sini dengan aksi ormas-ormas ini. Bukankah tadi siang kita berbincang akrab dan ringan saja dengan mereka?”

Rapat mendadak berubah jadi forum yang lebih cocok jadi sesi mencurahkan perasaan. Untuk sesaat mereka saling pandang. Pernyataan berbeda berasal dari perasaan yang sama. Negeri antah berantah pun tak sampai separah ini, pikir mereka. Untuk malam itu, mereka mengalihkan acara menjadi renungan singkat sebelum kembali ke rumah masing-masing dengan amarah yang terpendam.

Dua bulan setelah pembubaran diskusi di Teras Kalicode itu, Arya duduk sambil membaca halaman depan KOMPAS. Berita itu membuatnya tertawa merendahkan. Entah kepada dirinya sendiri, berita yang dibacanya, atau foto pejabat kepolisian yang bergaya di dalam gambar bercetak besar itu.

KONSER LADY GAGA RESMI DIBATALKAN

Alasan yang sama. Aparat mengklaim mayoritas masyarakat Indonesia tidak menyetujui konser itu. Alasannya sederhana: dapat merusak moral bangsa.

Cih! Mengumpat sendiri kemudian lanjut membaca. Pikirannya berjalan seperti mempertanyakan kaum mayoritas yang dimaksud dalam berita itu, yang suaranya diklaim sepihak oleh Kapolri sampai diamini oleh Menteri Dalam Negeri. Mereka tak sekalipun menyebutkan siapa pihak yang sebenarnya paling keberatan konser itu diselenggarakan. Siapa lagi, ormas-ormas tertentu.

“Kali ini MUI dan Mendagri sependapat dengan kami. Jadi batalkan saja konser itu!” kata pentolan ormas di salah satu televisi pada siang harinya. Reporter televisi itu mengangguk dan mengiyakan saja. Tidak mampu menanyakan lebih jauh, tak seperti biasanya ketika mereka kritis menyerang ormas-ormas dengan penggiringan opini publik dengan sangat kuat.

“Sudahlah mas, kita ini sebetulnya paham,” tiba-tiba seorang berkulit Cina menyeletuk. Warung angkringan lumayan ramai menjelang waktu istirahat siang. Ratusan pekerja mulai dari toko sampai mal berhamburan ke jalan-jalan mencari tempat bersandar dan beberapa pengisi perut yang lapar. Arya terkesiap. Kalimat yang saling menyambung, pikirnya. Ia tersenyum sembari meratakan campuran gula pasir di dalam larutan teh hangat. Dua lipat kertas koran telah jadi sampah di depannya.

“Kalau mau dipikir-pikir, kita semua ini tidak suka dengan aksi para ormas itu. Tapi kita diam saja!” Orang Cina itu terus berkomentar. Ada amarah yang meleleh dari sudut bibirnya. Diusap satu-dua kali.

“Maksudnya, Pak?” Arya terpancing juga pada akhirnya.

“Itu karena kita mayoritas, tapi senyap!”

“Senyap?”

“Iya senyap. Apa lagi kalau bukan itu kata yang tepat. Sama seperti pembubaran diskusi Zein bulan kemarin. Saya yakin warga di situ tidak disuap ataupun dihasut oleh ormas anarkistis itu, tapi mereka maju. Menyatakan suara, tapi tak jelas berdiri di pihak mana! Mereka ingin masuk televisi saja. Berpendapat bahwa ‘ini lingkungan kami, jangan berisik!’. Kira-kira itu maksudnya.”

Arya mengangguk sambil tersenyum ringan. Angin berhembus segar tapi pikirannya tak sedikitpun lega. Dua teguk lagi teh hangat itu terasa seperti air cuka di tenggorokannya. Membakar dari dalam.

“Kita juga bisa jadi mayoritas senyap, Pak.”

Orang Cina itu terdiam. Matanya menatap anak muda yang menyeletuk di depannya. Setelah menghela napas dan melihat ke arah penjaga warung yang juga masih sangat muda.

“Ya, saya kira orang tua seperti kami bisa duduk dan menunggu kalian yang muda-muda bertindak. Kami ini sudah tua, meski juga tergolong mayoritas, tapi kami tidak kuat. Senyap bagi kami adalah wajar, masa kami telah lewat. Sekarang masa kalian yang muda. Jangan seperti orang tua.”

“Maksud bapak?”

“Ya apa gunanya kalian diam saja jika dipermalukan oleh orang sendiri? Apa kalian tidak malu dengan generasi sebelum kalian yang meruntuhkan Soeharto? Yang alasan utamanya hanya karena mereka bosan?”

Arya tak bergerak.

“Sekarang ini, kebebasan berekspresi kalian dibelenggu. Aparat berpihak pada siapa sekarang ini jelas, pada mereka-mereka itu! Yang tidak bisa mereka atasi! Lalu kalian mau diam saja begini? Kalian masa kini, senangnya hanya mengumpat lewat media, lewat kolom-kolom komentar, lewat status-status laman tidak jelas. Bukan begini yang dibutuhkan masyarakat.”

Kali ini Arya melempar senyum. Penerimaan pendapat, meski ia sendiri tak tahu harus membalas kalimat itu dengan dalih apa. Orang ini sedang mengembalikan amarah lama dari masa lalunya yang dibelenggu Orde Baru, pikirnya.

“Maaf, ‘dik. Saya mengganggu makan siang kalian. Permisi.”

Orang itu berlalu pergi. Tangannya mengepal ketika badannya jauh melangkah. Arya memerhatikan sejenak sosok itu. Tua, tak tampak kaya, dan sepertinya sedang murka. Ketika pandangannya kembali tertuju pada gelas tehnya, ada lagi kalimat yang mengejutkannya.

“Sam Lee, alias Joko Kirmanto. Dia mantan wakil menteri, sekarang jadi kolektor uang-uang tua.” Penjaga warung angkringan itu berkomentar juga pada akhirnya. Berkata begitu saja sembari merapikan susunan nasi kucing yang sempat berantakan.

Arya merasa seperti orang bodoh seketika. Di dalam pikirannya kini, bagaimana bisa mantan pejabat negara era lama itu mengumpat soal masa lalu, masa penting ketika ia mungkin masih menjabat dengan gagah di belakang meja? “Kenapa berhenti jadi wakil menteri, pensiun?” tanyanya kemudian.

Ketoke mundur, waktu itu.”

“Oh.” Arya mengangguk paham. Ia berusaha menyergap pandang lagi sosok yang akhirnya menghilang di ujung gang terjauh itu, tapi sia-sia. Kata-kata Sam Lee itu telah memenuhi kepalanya kembali dengan banyak pertanyaan.

Mayoritas senyap.

Arya terus berpikir ketika membaca banyak berita. Ia juga melahap baca semua komentar di forum-forum internet terkait pelarangan konser yang dikeluarkan oleh Mabes Polri itu. Satu jam mengamati tanpa henti, barulah ia menemukan jawaban pasti tentang perkataan orang tua itu barusan.

“Jadi ini, persoalan mengapa kita kalah melawan anarkistis dan segolongan orang sombong.”

Minggu berikutnya, halaman tengah sebuah harian nasional sudah memasang judul besar-besar opini yang mempertanyakan konsistensi berpikir masyarakat.

MAYORITAS SENYAP, KITA DI PIHAK MANA?.

Ini bukan tentang benar yang salah, tapi tentang kita yang wajib memilih satu pihak di antaranya. Ini tentang siapa kita yang mayoritas, yang menentang segala penindasan atas nama agama. Ini pertanyaan sekaligus jawaban mengapa selama ini kita banyak diam, padahal diam-diam pula mengecam.

Terang saja, banyak peneliti masalah sosial tersenyum membaca tulisan itu. Dan anak muda yang jadi penulisnya, tetap saja menopang dagu di depan televisi. Ia tak berhenti mencari jawaban.

*

15 Mei 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun