Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mana Lebih Mendesak: Rokok atau Seks?

12 Desember 2011   01:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:29 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Anak Sekolah Merokok (fadly-exotick.blogspot.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="630" caption="Ilustrasi Anak Sekolah Merokok (fadly-exotick.blogspot.com)"][/caption] Menarik mempelajari data yang dikeluarkan pada 2011 oleh Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI terkait statistik perokok. Sebagaimana dilaporkan oleh Lipsus "Suara Anak Indonesia" Kompas.com, terdapat 40,3 juta anak berusia 0-14 tahun di Indonesia terpapar asap rokok. Berbagai persentase lain yang semakin mengkhawatirkan memunculkan pertanyaan, sebenarnya mana yang lebih mendesak: Pendidikan Antirokok atau Pendidikan Seks? Sebagaimana diketahui dalam 2011 ini salah satu isu sentral yang menjadi kontroversi di dalam domain Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah penting/tidaknya pendidikan seks untuk masuk kurikulum sekolah secara nasional. Beberapa pihak mengatakan bahwa pendidikan seks mendesak dan harus segera diterapkan, sementara di pihak lain justru mengatakan bahwa pendidikan seks belum relevan dengan sistem pengajaran di sekolah-sekolah. Di samping itu, rokok lebih dikenal secara global sampai ke pelosok-pelosok negeri, yang berarti, secara implisit rokok masih lebih populer daripada masalah seks. Indonesia menduduki peringkat ke-3 jumlah perokok terbanyak di dunia di bawah Cina dan India. Data International Union Againts Tuberculosis and Lung Disease mengungkapkan, jumlah perokok di Indonesia mencapai 65 juta jiwa atau sekitar 28% dari total penduduk pada 2011. Rentang usia terbanyak perokok adalah 15-19 tahun. Pada medio 2007-2010, terjadi kenaikan jumlah anak perokok berusia 10 tahun sebesar 28,2%. Coba dibandingkan dengan penderita HIV/AIDS, sampai bulan Juni 2011 secara kumulatif jumlah kasus AIDS sebanyak 26.483 jiwa atau kurang dari 0,o1% total penduduk yang mencapai 290 juta jiwa. Jumlah kasus baru pada triwulan II tahun 2011 sebanyak 6.087 orang. Nampak jelas perbandingan efek pertumbuhan perokok dengan penderita kasus HIV/AIDS. Rencana dimasukkannya pendidikan seks ke kurikulum pembelajaran dasar di sekolah-sekolah saat ini kemudian perlu dikaji ulang, apakah betul-betul mendesak atau tidak. Bagaimana dengan potensi penularan asap rokok yang dari data di atas justru paling berpotensi pada anak-anak usia sekolah? Anak-anak Indonesia sangat rentan terpapar asap rokok, baik sebagai pelaku langsung atau penghisap pasif. Kita jadi teringat kasus S, bocah lima tahun yang hidup sebagai perokok aktif. Usianya masih lima tahun, akan tetapi bahkan orang tuanya sendiri tak bisa memaksanya untuk berhenti merokok. S adalah satu dari banyak contoh anak usia dini yang menjadi perokok aktif. Bagaimana dengan di sekolah-sekolah? Tentu saja faktanya lebih sering kita lihat di sekeliling kita. Ironisnya, Deklarasi Suara Anak Indonesia yang menekankan pentingnya menghindarkan anak-anak dari paparan asap rokok justru digagalkan oleh protokoler kepresidenan  dua tahun berturut-turut , 2010 dan 2011. Deklarasi yang mewakili sikap anak-anak dari 33 provinsi di Indonesia tersebut dibatalkan 15 menit sebelum acara Peringatan Hari Anak Nasional. Sungguh tak bisa dipercaya. Sementara pemerintah buru-buru menyusun rencana sistem pendidikan seks ke dalam bentuk pengajaran formal, anak-anak Indonesia terus terpapar asap rokok dari berbagai sudut lingkungan. Keluarga, sekolah, tempat-tempat umum, bahkan di kantor-kantor instansi pemerintahan asap rokok potensial menyebarkan penyakit yang dibawanya. Sementara berdasarkan survey, potensi terbesar penularan virus HIV datang dari orang dengan rentang usia di atas 25 tahun, bukan anak-anak. Pertanyaan besar kemudian muncul. Apakah pemerintah (ternyata) pro terhadap progresivitas industri rokok? Hasil temuan tim lipsus Kompas mengejutkan, karena pada kenyataannya rokok sudah berjaya di Istana Negara sejak rezim Soeharto. Waktu itu, bahkan muncul beberapa kemasan rokok yang khusus dipesan untuk staf dan tamu kenegaraan. Kemasan rokok berlabel Dirgahayu Kemerdekaan RI bahkan Lambang Garuda Pancasila sempat menarik perhatian beberapa jurnalis istana. Berdasarkan hasil penelusuran, ternyata rokok-rokok tersebut disuplai oleh setidaknya dua perusahaan rokok ternama berinisial G dan B. Tidak itu saja. Bahkan, Lembar Berita Acara Detik-detik Proklamasi pada 17 Agustus 2011 menampilkan logo salah satu merek rokok yang sedang laris saat ini. Jubir Kepresidenan Julian Aldrin Pasha kepada Kompas.com menjelaskan, wajar saja istana menerima dukungan dari perusahaan rokok, sama dengan beberapa perusahaan lain yang rutin terlibat dalam acara-acara kenegaraan. Ada apa? Masalah mendesaknya pendidikan antirokok atau antitembakau di Indonesia adalah pekerjaan rumah tersendiri bagi pemerintah. Hanya saja, belum terlibatnya Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional Pengendalian Tembakau Dunia menjadi pertanyaan satu kata, "Kapan?" Sementara tahun demi tahun, anak-anak kita terpapar asap rokok. Bahkan kawasan antiasap rokok yang sempat diterapkan di beberapa daerah pada kenyataannya masih mengandung pelanggaran. Semoga arah kebijakan pemerintah, terkait pendidikan kesehatan bisa lebih realistis dan strategis. Logikanya, jika kenaikan jumlah perokok jauh lebih tinggi daripada kasus HIV/AIDS, mengapa Bahaya Asap Rokok tidak digadang juga untuk masuk kurikulum pendidikan formal? Fakta Angka Rokok (Sumber: Info Grafis Kompas):

  • 52,3% perokok menghisap 1-10 batang rokok per hari
  • 2 dari 5 perokok saat ini menghisap rata-rata 11-20 batang per hari
  • 76,6% perokok merokok di dalam rumah saat bersama keluarga
  • 1,7% perokok mulai merokok pada usia 5-9 tahun
  • Rumah tangga perokok terkaya menghabiskan 7% dari total pendapatannya untuk membeli rokok
  • Rumah tangga perokok termiskin menghabiskan 12% dari total pendapatannya untuk membeli rokok
  • Rata-rata individu perokok menghabiskan Rp 216.000,- untuk membeli tembakau
  • Rata-rata individu perokok menghabiskan Rp 2.592.000,- untuk membeli tembakau
  • 54,1% penduduk laki-laki berusia di atas 15 tahun merupakan perokok tiap hari
  • Pada tahun 2007, penduduk berumur di atas 10 tahun yang merokok sebesar 29,2% dan angka tersebut meningkat menjadi 34,7% pada 2010 untuk kelompok di atas 15 tahun

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun