Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mahesa

10 Desember 2013   16:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:05 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*

Bulan Mei mendatangkan banyak keberuntungan bagi Puri, setidaknya yang ia rasakan meluap-luap dalam kebahagiaan keluarganya. Bapaknya baru saja pensiun dari bank ketika tiba-tiba mendapat panggilan proyek penanaman modal waralaba dengan prospek milyaran. Ibunya, yang setia sebagai bekerja di rumah, sepertinya mendapat kesenangan baru dengan komunitas sulam dan seni melipat kertas yang mulai diliput televisi lokal. Sebagai anak tunggal, Puri sebetulnya tidak banyak minta. Barang-barangnya hasil beli sendiri walaupun tetap sebagian besar uangnya tetap hasil kiriman. Bersekolah di sebuah Institut Seni di Bantul dari Senin sampai Jumat, ia sering kali punya kesempatan untuk menggeluti hobinya yang, menurut teman-temannya, sedikit aneh.

Puri gemar menelusuri jejak orang-orang “hilang” dalam catatan sejarah, yang belum atau jarang dipublikasikan, baik lewat buku-buku ataupun produk budaya pop. Sewaktu duduk di bangku SMP, seperti terjadi begitu saja, Puri terbengong-bengong mendengar penjelasan guru sejarahnya tentang seorang pemuda misterius yang ikut terlibat dalam perobekan sisi biru kobalt dari bendera yang dulunya dikenal sebagai Prinsenvlag, di Oranje Hotel, Surabaya pada November 1945. Sejak itu, berturut-turut ia mulai mencari nama beberapa pelaku sejarah yang tidak banyak diketahui orang. Semasa SMA ia nyaris kehilangan nilai matematika karena terlalu sibuk mencari nama-nama “tentara tak bernama” yang kuburan simbolisnya jadi marka sejarah di bawah lengkungan monumen Arc de Triomphe Paris. Kali ini, setelah beberapa catatan kebanggaan dan berlipat kegagalan yang membingungkan, Puri mencari fakta tentang seseorang yang belakangan ia ketahui namanya sebagai Mahesa, penderma paling  muda di dalam sejarah kelurahan Keraton Ngayogyakarta.

Puri memilih memanfaatkan pengetahuan dan “kontak rahasia” ibunya untuk menelusuri koridor-koridor kompleks keraton dan beberapa rumah tua di Istana Air Tamansari untuk mencari jejak tentang siapa sebenarnya Mahesa. Di sebuah gang yang tepiannya berdempetan langsung dengan dinding terowongan mengarah ke selatan Keraton, Puri menemukan beberapa fragmen penting dalam bentuk gulungan-gulungan kertas bertanda tahun 1877 sampai 1900. Ini tahun-tahun tepat saat atlet dayung Walter Thijssen lahir di Yogyakarta sampai memenangkan perunggu di Olimpiade Musim Panas. Tak banyak fragmen yang membantunya. Ia kemudian berpisah dengan ibunya yang harus kembali ke Museum Vredeburg, seratus meter ke arah utara dari Keraton, karena baru saja mendapatkan pemberitahuan lewat ponsel bahwa galeri seni paper quilling komunitas sudah mulai menerima tamu. Puri kemudian menemui seseorang bernama Pujo, yang menceritakan sejarah lebih lengkap namun sederhana soal sosok Mahesa.

Laki-laki tua itu duduk di kursi anyaman rotan, menyamankan pantat kurusnya yang hanya ditutup sarung tebal sembari meruapkan asap rokok yang terhisap keluar jendela. Bagian atasnya dilindungi kaus putih dengan lingkaran kerah yang nyaris menyentuh ujung pundak, menunjukkan bekas-bekas selulit yang dulu menandakan gizi. Suaranya parau, tapi kata-katanya cukup dimengerti. Di ruang tamu yang lebih mirip galeri lukisan itu Puri disambut dengan secangkir jahe panas. “Minum dulu, jahe baik untuk pikiran,” ujar laki-laki tua itu menunjuk kepalanya sendiri, sambil menambahkan bahwa ia sama sekali tidak percaya semua suplemen bermerek yang diklaim bisa membuat orang pintar. Kecerdasan terbentuk karena pengendalian pikiran, bukan suplemen. Canggung dengan buku catatan kecil siap di tangan, Puri mengangguk hormat menyambut cerita Pujo.

“Tidak banyak yang tahu cerita ini,” Pujo memulai penjelasannya setelah dua isapan yang menghabiskan batang rokok kreteknya. “Juga, memang belum pernah ada yang tanyakan ini langsung ke saya, termasuk orang semuda Mbak Puri ini.”

Puri tersenyum-senyum malu, meski di dalam pikirannya ia berkata itu jelas karena ia sendiri dianggap orang yang aneh karena mau bersusah-susah mempelajari hal-hal di luar ketertarikan umum masyarakat lokal. Masyarakat di tempatnya tinggal terlalu visioner, justru mereka melihat terlalu banyak hal terkait masa depan peradaban ketimbang bagian-bagian penting masa lalu yang membentuk itu semua. Catatannya mulai ditandai beberapa noktah bersusun.

“Saya mencatat beberapa perjalanan sejarah soal Mahesa, Pak. Cuma, saya butuh melengkapi kebenaran soal perjalanan hidupnya yang dermawan dalam kemiskinan.”

“Dermawan dalam kemiskinan?” Pujo menegakkan badan, mengernyitkan keningnya. Bertanya dengan serius soal pernyataan Puri barusan. Namun seperti angin lalu saja, ia malah cepat-cepat berkata. “Apa yang Mbak Puri tahu tentang kehidupan Mahesa?”

Puri tertegun ditanya seperti itu. Ia memang mencatat, tapi ia tak mungkin menceritakan kronologis dengan corat-coret asal seperti itu. Maka ia lagi-lagi gugup dan meminta waktu sebentar. “Em… menurut saya begini.”

“Ceritakan saja dulu. Nanti saya tanggapi, mana yang benar dan mana yang tidak benar.” Pujo kembali bersandar, dan menyalakan rokoknya. Gestur seperti itu cukup jelas menggambarkan sikap menunggu-nunggu. Maka mau tidak mau, Puri menceritakan kisah itu juga. Ia menghela napas panjang, menggerak-gerakkan pulpennya, kemudian menegakkan badan. Setiap katanya bisa jadi bahan pembuktian sejarah.

“Nama lengkapnya masih simpang-siur,” Puri memulai hipotesisnya. “Tapi demi kemudahan katalog, saya memasukkannya ke kelompok bernama keluarga Darmo, segaris dengan silsilah tokoh-tokoh awal pemilik tanah yang kini dibanguni toko obat Thay An Tjan. Lahir sekira antara tahun 1867 sampai 1878 --saya masih berusaha cari bukti tentang tahun-tahun ini-, konon masa muda Mahesa tidak begitu terbuka bagi kalangan para pedagang pasar Bering. Ia dianggap preman, dan masa lalunya tidak banyak yang tahu. Ia tinggal berpindah-pindah dari satu pos jaga ke pos jaga lainnya dan selalu menghindari bahaya pertempuran. Setelah bertobat, pemuda ini mulai hidup dari upah jasa kuli panggul semasa tinggal bersama seorang duda tua bernama Partono, petani kentang yang tak bisa lagi ke mana-mana dan butuh perawatan harian. Mahesa dibolehkan tinggal serta dan sebagai balas jasa, ia selama delapan jam sehari bolak-balik pasar untuk bekerja dan membelikan makanan perawatan Partono. Perjalanan hidup Mahesa mulai merangkak ketika ia bertemu beberapa pekerja Kantor Asuransi Nill Maattschappij yang waktu itu merangkap sebagai kantor De Javasche Bank; dan setelah ia menikahi Rusmini, anak pedagang lurik yang tertutup.

Mahesa dan Rusmini tinggal di sebuah rumah berdinding bambu di Lodji Ketjil dan mereka dengan cepat dikaruniai seorang anak. Karena Rusmini dilepas bapak-ibunya untuk hidup bernafkah sendiri, Mahesa bertanggung jawab untuk makan dan pakaian istri-anaknya. Karena merasa pendapatannya tidak cukup itulah ia kembali ke pasar Bering, dan coba mendapatkan pekerjaan serabutan. Upahnya nasi dua gentong tiap minggu dan mungkin beberapa singkong dan ikan kering kalau beruntung. Sewaktu Rusmini mau melahirkan nasi mereka tinggal setengah, cuma cukup untuk makan dua hari. Waktu itu Yogyakarta bagian selatan sedang panas-panasnya karena pengaruh perebutan Surakarta ternyata turut membawa hiruk-pikuk ke Yogyakarta. Pasar beberapa kali tutup, dan banyak orang kelaparan dan sakit. Mahesa yang merasakan penderitaan orang-orang itu --mungkin karena memang pengalaman masa lalunya yang begitu dekat dengan orang-orang sulit-- memutuskan untuk membantu orang-orang kelaparan dan sakit. Dari sebagian hasil kerjanya di pasar dan bahkan sebagian tabungannya, ia menyumbang kepada beberapa tetangganya, bahkan orang-orang yang tidak ia kenal. Istrinya Rusmini sempat kecewa dan melarangnya, tapi ia tetap ngotot. Katanya ‘manusia ditetapkan rezekinya, dan itu datang dari orang-orang paling dekat.’ Mahesa tidak bisa tidur menyaksikan atau mendengar tetangganya ada yang tidak bisa makan, persis cerita para Nabi, meski tak ada bukti cukup soal agama apa yang dianut Mahesa waktu itu.”

Puri mengambil jeda untuk minum dan menghela napas panjang sebelum kembali melanjutkan ceritanya. Di depannya, Pujo menatap dengan pikiran terfokus, tak menghitung sudah berapa batang rokok yang terdampar di asbaknya. Cuma sesekali ia rapikan uban yang agak mengganggu karena menjuntai ke bagian samping daun telinganya.

“Bulan demi bulan Mahesa melakukan derma itu sampai namanya dikenal seantero pasar. Ada banyak pedagang yang mencarinya setiap pagi tatkala ia tidak muncul membawa pikulan. Atau sesekali para pedagang berkongsi untuk membawakannya buah-buahan sisa tidak terjual jika tahu anak muda itu jatuh sakit dan tidak bisa keluar rumah. Ada banyak pedagang baru yang mengaku bisa melanjutkan hidup karena pertolongan Mahesa. Mendengar itu, Rusmini sedikit bangga dan kebanyakan tidak habis pikir. Keadaan rumah tangga dan rumah papan mereka biasa-biasa saja, anaknya kadang kali mengeluh kelaparan dan malu, tapi Mahesa tetap saja melarang jatah untuk orang-orang miskin itu diambil bahkan oleh anaknya sendiri. Begitu sampai akhirnya Bering menjadi pasar lebih besar, Mahesa tetap bekerja. Hingga akhirnya usianya menginjak enam puluh empat, ia berhenti. Bukan apa-apa, tapi karena memang kakinya sudah sering kesemutan dan ke mana-mana ia tak bisa tanpa bantuan. Anaknya yang sudah berkeluarga sendiri tinggal jauh di Bantul, Mahesa tidak ingin jauh dari pasar. Ia tak banyak ingat ada berapa keluarga yang ia bantu berjualan sampai mereka sebagiannya pergi dan sukses tanpa kabar. Sebagian pedagang tua yang mengingat --selebih dari sebagian lagi yang sudah duluan mati-- menganggap Mahesa seperti kerabat, anak mereka sendiri. Ada banyak rumah bersedia menampung Mahesa ke manapun ia pergi. Oleh orang-orang pemerintah, namanya disembunyikan dari ketenaran, tapi mereka paham betul bahwa Mahesa tidak tergantikan. Beberapa tahun kemudian Mahesa meninggal di rumahnya  --yang kini sudah hilang jejak di Lodji Ketjil, mendahului istrinya yang melepas dengan damai, anak, menantu dan dua cucunya yang waktu itu diberi nama atasnya.”

Puri berdeham, meminum beberapa teguk jahe yang kini mendingin, membiarkan ketegangan di pita suaranya perlahan-lahan melonggar. “Itu saja yang saya tahu, Pak. Saya belum mengunjungi keturunannya langsung, masih mencari jejak-jejak mereka yang nyaris tidak terlacak.”

Setelah menyimak penjelasan panjang itu, Pujo mengangguk-angguk. Antara masih mencoba paham ataukah mencocokkan beberapa detil, yang jelas ia menangkap antusiasme yang luar biasa dari gadis di depannya soal tokoh Mahesa. Apa yang dilihatnya adalah sebuah rasa ingin tahu yang besar tentang sejarah yang oleh orang lain akan dilupakan, atau dianggap hanya akan menghabiskan waktu berharga jika ditelusuri. Atau mungkin, gadis ini menyimpan rasa ketertarikan yang kuat tentang sosok Mahesa itu sendiri, model laki-laki yang nyaris mustahil ditemukan di masa sekarang. Diam-diam Pujo menaruh hormat pada Puri, yang tidak ditunjukkannya begitu saja kecuali dengan air muka yang lebih meriah. Mungkin sedikit senyuman bagi Puri, tapi tetap ia ingin mengajukan hipotesisnya sendiri. Mungkin, sedikit perbandingan untuk kisah-kisah yang belum dibahas.

“Kembalilah kemari jika Mbak Puri sudah mewawancarai keturunan Mahesa langsung,” kata orang tua itu tiba-tiba, membuat Puri mengernyitkan dahi. Bukan itu yang ia cari ke kampung terpencil di Kauman. Bukan kernyitan dahi dan aturan jadwal wawancara tambahan. Ia meminta konfirmasi, apakah cerita yang dituturkannya mengandung kebenaran sejarah atau tidak.  Meski begitu, ia yakin tidak akan pulang dengan kekecewaan, melihat posisi duduk Pujo yang kini beringsut semakin tinggi, seperti hendak menyampaikan sesuatu yang penting.

“Perlu Mbak Puri ketahui,” Pujo berujar dengan jelas dan hati-hati, terlihat dari matanya yang menyorot serius. “… masa muda Mahesa tidak seindah yang Mbak Puri temukan.”

Puri kemudian terperanjat, nyaris ia kehilangan pegangan pada alat tulisnya, dan kembali mencari-cari ketepatan cerita yang baru saja dirampungkannya. Ia berpikir bahwa mungkin manusia memang tidak ada yang benar-benar baik. Itu kodrat sederhana sebagai jiwa yang hidup di dunia. Tapi, bagaimana Mahesa yang di dalam pikirannya selama ini tercermin sebagai model laki-laki bertanggung jawab pada sekitarnya, masih memiliki celah pada kehidupan yang memang selalu tidak sempurna ini. Bagaimana celah manusiawi itu justru diungkit-ungkit pada pemaparan sejarah seperti ini? Apapun itu, ketertarikannya tidak berhenti. Ia memprotes dengan mimik kusut, tapi menunjukkan tantangan bahwa ia harus tahu apa yang sebenarnya dialami nama itu. Pujo kemudian melanjutkan kalimatnya yang menggantung.

“Mahesa itu perampok!” Pujo menunjuk jari, langsung ke arah jantung Puri yang kini semakin tak percaya. Kemudian, setelah memastikan kalimatnya barusan masuk ke pikiran tamunya, laki-laki tua kembali tersenyum ramah. “Dia mencuri dari saudagar-saudagar kaya yang baru keluar dari bank, dia merampok dari orang-orang Cina yang punya harta melimpah, dan di banyak kasus ketahuan mencopet dari noni-noni yang kerap pamer perhiasan di jalan. Mbak Puri tidak percaya itu kan? Tapi itulah yang terjadi. Mahesa melakukan derma itu bertahun-tahun, memang benar. Tapi, karena orang yang diberinya kehidupan jumlahnya begitu banyak, tak banyak yang menceritakan ke anak cucu tentang bagaimana sebenarnya Mahesa mendapatkan sejumlah uang dan beras yang diberikannya itu.” Setelah mengatakan itu Pujo kembali bersandar, membakar batang keempat yang kemudian diisapnya dalam-dalam, bagaikan menelan asap itu kenikmatan yang setara ekstase pikiran.

Puri nyaris mengucek kertas di tangannya. Giginya menggeretuk, hatinya seperti tercabik-cabik. Pikirannya kalut, antara tidak percaya dan berusaha mencari lebih banyak kebenaran. Melihat posisi alis dan kemantapan yang terpancar dari air muka Pujo narasumbernya, gadis itu yakin ia tidak menggali dari sumur yang salah. Ia merasa, entah bagaimana, perkataan orang tua inilah yang benar. Akhirnya setelah menerima kenyataan itu ia mengendalikan diri, mengatur napasnya, kemudian kembali melihat catatannya. “Jadi, apa yang salah dari penuturan saya tadi?” tanyanya pasrah.

“Tidak ada,” ujar Pujo. “Mahesa mencuri hanya dari orang-orang kaya yang tamak. Yang kikir, yang sering menindas orang-orang pribumi atau orang-orang miskin. Ia tak suka kesenjangann di mana orang jas suka menginjak-nginjak dagangan orang di pasar tetapi takut sayuran mengotori sepatu-sepatu mereka. Untuk kesemua penuturan Mbak Puri tadi, hampir semuanya benar, kecuali …. Oh satu hal, Mahesa itu pecinta seni. Di waktu-waktu senggang dia mencoba-coba seni melipat kertas yang lima puluhan tahun kemudian baru masuk ke Nusantara dibawa orang-orang Jepang. Mahesa adalah seorang pencari ilmu yang ulet, persis seperti Mbak Puri.” Laki-laki tua itu tersenyum bangga. “Carilah keturunan-keturunan asli Mahesa, dan kembalilah kemari. Saya akan temani Mbak Puri belajar tentang bagaimana sejarah itu sebenarnya terbentuk.”

**

Puri mencoret-coret kertas di kamarnya sendiri. Cara akrab baginya ketika kekalutan menghampiri pikiran dan rasa penasaran membuai-buai perasaan. Ia melihat ke banyak sketsa laki-laki tinggi berambut tebal yang ia tempel di kamarnya, suasana pasar, dan beberapa sketsa kota Yogyakarta tua sebagaimana risetnya berkembang bertahun-tahun. Ia masih sulit percaya bagaimana risetnya berkembang panjang tetapi justru luput menemukan kebenaran-kebenaran mendasar. Terlebih, karena ia hampir salah menafsirkan tindakan manusia di masa lalu, dan menyesuaikan kenyataan-kenyataan pahit di balik murninya sifat dasar manusia yang sebenarnya pada waktu itu. Tiga jam mengurung diri, akhirnya pintunya diketuk. Yang masuk adalah sang ibu, dengan hasil pajangan kertas lipat yang baru. Kerajinan tangan itu berbentuk lukisan suasana pasar yang serba sibuk, dengan tiga orang tua perempuan dan bakul serta sebatang beringin yang jadi penanda latar. Bingkainya dilapisi gabus dan kayu ringan yang dicat hitam, bersemat pita di satu sudutnya. “Buat Puri, mungkin cocok dengan minatmu yang akhir-akhir ini banyak keliling pasar,” ujar sang ibu ramah. Puri menerima bingkisan itu kemudian memeluk ibunya, berterima kasih dengan bahasa muda yang girang.

“Bagus tidak?” tanya ibunya kemudian. Puri terdiam sejenak, melihat-lihat lukisan itu, menghela napas, berpikir mungkin akan lebih indah jika di dalam lukisan itu ada sosok laki-laki tinggi dengan rambut tebal yang membungkuk di pinggir jalan. Atau duduk tersenyum di antara ibu-ibu penjual yang bahagia dalam perjalanan hidup. Akan tetapi bayangan itu tak memintanya untuk menuntut perubahan apa-apa di masa kini.

“Sudah cukup, Ma. Terima kasih.”

------------------------------------

Ilustrasi: Pasar Beringharjo tahun 1910 - jogjaicon.blogspot.com.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun