Atas kenyataan siapa pembunuh sebenarnya,
Mereka semua harus mendengarkan fakta yang mengejutkan.
Kegelapan mendadak membuat Sonia agak gemetar. Dipegangnya tangan pembantunya kuat-kuat, matanya mengerling kemudian menjajak setiap sudut ruang tamunya sendiri. Sementara si anak bungsu berlari mencari kaki ibunya sebagai pegangan, si sulung justru duduk mematung dan memegang tali tasnya. Yohanes sudah duduk kembali di sofa ketika Adam berdeham. Cahaya tunggal memenuhi ruangan itu.
Senter kecil yang berkilau di genggaman investigator itu menjadi pusat perhatian mereka semua. Setelah memastikan semuanya sudah siap, Adam melangkah ke pintu utama, melirik keluar sebentar, kemudian mengangguk dan kembali lagi.
“Baiklah. Karena ruangan sudah gelap. Mari kita pindah ke luar. Ada sesuatu yang menunggu kita di sana.”
Mereka yang kebingungan melangkah lebih hati-hati mengikuti Adam yang berjalan dengan badan tegap dan senterh mengarah ke bawah. Mereka lalu disambut oleh Win yang sudah berdiri di dekat sebuah tembok di sisi timur rumah itu. Lampu jalan di luar sudah menyala meski sisa cahaya matahari memungkinkan mereka untuk melihat jelas seisi taman yang lembab itu.
“Pak Win, kenapa ada tiang jemuran di sini?”
Sopir itu memegang tangan di depan perutnya sambil menunduk, berniat membalas pertanyaan majikannya tapi malah didahului oleh Adam.
“Saya yang memintanya menyiapkan ini, Bu. Kalau Anda tidak keberatan …,”
Sonia mafhum. “O, tidak Pak Adam. Saya kaget saja, lalu, tali ini untuk apa? Dan meja ini?” Lagi-lagi Sonia menuntun yang lainnya untuk bertanya dalam hati.
Tiang jemuran itu tidak terlalu tinggi. Hanya beberapa senti di atas kepala Yohanes yang paling tinggi di antara mereka. Bahannya yang terbuat dari serat besi tidak begitu berat hingga Adam bisa memindahkannya lebih mudah. Di puncaknya ada palang kecil yang melintang pendek, membuatnya menyerupai bentuk huruf T. Di palang puncak itulah ada benang yang melitang tertempel dan ujungnya terikat pada bagian tengah sebuah telepon genggam tua di tangan Win.
“Taruh ponselnya di meja, Pak Win,” seru Adam sembari menunjukkan isyarat tangan agar sopir itu meletakkan ponsel ke atas sebuah meja berbidang kaca yang diletakkan sebelumnya. Adam lalu mengeluarkan karet tebal dari sakunya, memasangnya di pegangan laci meja, dan menyambungkannya dengan ujung benang itu. Dengan posisi demikian, benang melintang lurus dan menghubungkan tiga titik. Pegangan laci, puncak tiang, dan ujung satu di tembok yang membuat nyonya rumah kembali menunjuk-nunjuk.
“Itu … meteran listrik kan?”
“Iya betul,” jawab Adam. Ujung benang di titik dekat dinding itu sebetulnya melekat di sebuah tuas saklar meteran listrik. Cincin kecil berwarna perunggu terikat di ujung simpul membuat benang itu begitu fleksibel memegang saklar. Adam lalu mengambil cincin itu dari tuas saklar hingga ikatan benangnya juga ikut.
“Beginilah trik yang dilakukan pelaku untuk mengelabui seisi rumah. Sebentar.”
Lalu Adam memasang cincin berikat benang itu lagi ke saklar listrik, memastikan benang tertarik kencang, memosisikan ponsel agak jauh dari tiang, kemudian mengeluarkan satu ponsel lagi dari sakunya.
“Pak Win, mainan yang tadi saya minta, mana?”
Win kemudian bergegas menuju posnya, lalu kembali dengan membawa sebuah mobil-mobilan seukuran genggaman tangan dewasa. Mobil-mobilan itu nampak baru karena sopir itu baru saja membuka plastiknya.
“Gelas berisi air,” seru Adam lagi.
Nyonya rumah, kedua anaknya, dan juga Yohanes dibuat hanya sebagai penonton atas pertunjukan yang lebih mirip percobaan kelas sekolah.
“Memang ini mekanisme fisika. Kita lihat nanti apakah cara ini bekerja.”
Di atas meja kini lebih ramai. Karet gelang yang terikat pada pegangan laci di sisi jauhnya kini tertindih roda mobil-mobilan yang di atasnya berdiri gelas dengan pemberat. Di belakang mobil-mobilan itu, menempel persis telepon genggam yang tadi sudah disiapkan.
Telepon berdering. Sejurus kemudian, ponsel itu bergetar, bergerak-gerak dan membuat rantai reaksi yang mengejutkan.
“Mamah, mobil-mobilannya bergerak majuu…!” seru si bungsu menarik-narik ujung baju ibunya. Di balik mereka Nisa memanjangkan leher sementara Yohanes hanya menopang dagu dengan lengannya bersilang di depan dada.
Saat getaran ponsel itu makin panjang, tiba-tiba terdengar bunyi pantulan karet yang tiba-tiba terlepas dari regangannya. Terpental dan menarik benang yang terikat pada lingkarannya dengan begitu kuat. Karet tebal yang terbuat dari serat terajut memang bisa menarik gaya yang lebih besar, sampai-sampai gelas di atas tongkang mainan itu nyaris menumpahkan isinya. Adam menahan laju mobil-mobilan itu ketika terdengar bunyi detakan yang mengejutkan semuanya.
Listrik menyala.
“Ini?”
Yohanes menunjuk sekeliling karena rumah itu mendadak terang.
“Pak Adam, apa maksudnya ini?” tanya Sonia semakin tidak keruan. Rasa penasarannya sudah meluap. Mendengar reaksi itu Adam lalu berbalik badan dan menepuk tangannya sendiri. Saat senyumannya terangkat dan matanya menatap lurus ke arah majikan itu, ia akhirnya memantapkan ketegasannya.
“Bu Sonia, suami Anda dibunuh oleh anak Anda sendiri.”
Terperanjat. Cepat-cepat Win menutup telinga si bungsu ketika pembantu juru masak itu justru menutup mulutnya. Sonia memegang keningnya sementara Yohanes coba mendekat. Di saat bersamaan itulah Adam mengarahkan telunjuknya ke seseorang yang berdiri paling jauh di antara mereka.
“Nisa. Kaulah pelakunya.”
Sonia menatap anaknya dalam-dalam, sempat ingin memaki namun kalimatnya tertahan. Rasa keibuannya masih ada meski emosinya tak tertahankan. “Apa? Tapi kenapa …”
Adam melangkah mendekat ke gadis yang menunduk dan tersenyum itu.
“Trik semacam ini, dengan posisi seperti ini, hanya bisa dipraktikkan oleh orang yang berada paling dekat dengan meteran listrik. Yaitu kau. Kamarmu terletak persis di balik dinding ini. Trik tadi bisa kaulakukan dari dalam kamarmu. Tiang jemuran ini adalah palang ventilasi kamarmu, sementara ponsel yang dan mainan di atas meja itu semua contoh barang yang buktinya masih tersimpan di dalam laci mejamu, kan? Benang tertarik dari ujung meja belajarmu di dalam, keluar melewati ventilasi, kemudian cincinnya terpasang di saklar listrik. Semuanya mudah karena kau hanya perlu menghubungi telepon genggammu sendiri dari luar sana. Saat bergetar, persis seperti inilah yang terjadi.”
Gadis itu tak menjawab. Terus tersenyum.
“Karet yang cukup kuat untuk menarik benang hingga mengangkat saklar meteran listrik hanya dimiliki oleh gadis dengan rambut yang tiap harinya diikat sepertimu. Sedangkan ponsel itu sudah jelas kau punya beberapa yang berukuran besar. Praktikum elektronik, tentu saja. Kau ahlinya. Itulah juga mengapa polisi dan juga saya sempat terkecoh ketika mengira ayahmu meninggal karena mesin pompa air yang stekernya dilepas ibumu saat pertama kali menuju TKP. Yang terjadi sebetulnya adalah, waktu kau menyadari ayahmu akan melakukan kegiatan kuras kolam rutinnya, dan dia melangkah keluar rumah untuk menurunkan saklar listrik, kau diam-diam dengan kelincahanmu, mengangkat kabel lampu pompa yang lainnya, mengelupasnya, kemudian menyelupkannya kembali ke dalam akuarium. Saat ayahmu kembali ke dalam rumah dan listrik sudah padam, kau keluar dan bahkan sempat berpapasan dengan beliau. Satu-satunya kecerobohan yang dilakukan ayahmu adalah hanya mengeluarkan dua kabel yang agak ringan, tanpa memperhitungkan alat lebih berat yang justru kau kelupas kabelnya. Kabel itu terendam di dalam air dan, saat mekanisme barusan bekerja, itulah yang mengeluarkan listrik aktif dan membunuh korban seketika. Arus pendek terjadi, dan rumah ini kembali gelap gulita. Ibumu yang menemukan ayah menggelepar kemudian menggunakan nalurinya memutus hubungan listrik dari steker, tanpa menyadari bahwa sesungguhnya waktu itu sambungan listrik sudah padam. Bukankah begitu yang terjadi, Nisa?”
Diam.
"Kesadaranku awalnya buram. Tapi setelah melihat kursi itu ..."
Mata mereka kemudian tertuju pada kursi berkaki tiga yang menempel ke tembok pembatas taman dengan jalan.
“Semua fakta yang awalnya sebatas analisa, akhirnya terhubung secara ajaib, seperti magnet yang menemukan kutubnya.”
Sonia, Yohanes dan pembantu itu menatap kursi yang terdiam bersandar di tembok.
"Kursi berkaki tiga inilah yang aneh, karena menurut Pak Win telah berpindah secara ajaib sore saat kematian korban. Ternyata, Nisalah yang memindahkannya. Setelah keluar dari rumah, ia perlu memasang kancing berikat benang itu dengan saklar listrik. Menyadari tubuhnya tidak sampai, ia memakai kursi yang sudah hampir dibuang itu, merapatkan bagian bidang duduk ke dinding luar kamarnya untuk menggapai meteran. Tentu kursi itu jadi stabil meski hanya dengan tiga kaki. Kau ke atas sana, memanjat, menyelesaikan trikmu, dan mengemballikan kursi itu dengan ceroboh, tidak pada tiang ketiga, melainkan tiang keempat, yang lebih dekat dengan meteran. Itulah kesalahan fatalnya."
Gadis itu tertawa hingga wajahnya terangkat menghadap langit. Sonia dan si bungsu dibuat takut oleh tawanya yang membuat sepasang pundaknya terangkat beberapa kali.
“Orang itu brengsek, Bu. Mengapa kau begitu polos tidak menyadarinya?”
Kalimat itu membuat suasana hening sesaat.
Dalam kebingungan yang memuncak Sonia menggeleng dan bertanya sengit, tapi anak itu justru menjelaskan seperti tanpa rasa menyesal. “Ayah sudah lama punya permainan busuk dengan banyak perempuan, dan itu semata-mata karena kebodohannya sendiri mengikuti …”
Tiba-tiba Adam melihat benda berkilau keluar dari tas. Ia langsung melompat dan kemudian terdengar teriakan. Nisa mengerang kesakitan karena pergelangan tangannya dipegang erat oleh Adam. Sebilah belati bermata dua jatuh ke tanah, dan langsung ditendang. Win yang seperti mendapatkan keahliannya bertahun-tahun sebagai petugas keamanan langsung memungut pisau itu, membuat Nisa murka dan meronta-ronta.
“Yohanes! Kubunuh kau!” teriak Nisa.
Sementara Yohanes yang menggeleng terkejut langsung pucat. Napasnya cepat tapi ia sadar telah lolos dari bahaya.
“Nisa, tidak ada gunanya kau membunuh satu orang lagi. Kesalahanmu sudah cukup sampai di sini!” seru Adam dengan sengit, membuat gadis itu terdiam. Menangis menghadap tanah.
Di balik kaki ibunya, si bungsu Kei menatap tanpa mengerti sepenuhnya.
Sonia menatap Yohanes, tanpa tahu jelas semurka apa pikirannya terhadap orang itu. Almarhum suaminya tak pernah bercerita hal-hal buruk, itulah yang membuatnya terkejut dan sadar betapa banyak rahasia yang tidak diketahuinya selama ini, dan justru anak sulungnya yang bertindak di luar kekuatannya sebagai bagian dari keluarga kecil yang diam.
Nisa memukul-mukul tanah. Sementara Adam sudah kembali bangkit. Gadis itu tidak akan kemana-mana. Win dan pembantu juru masak saling tatap dengan prihatin. Yang jelas, mereka berdua masih akan bekerja di rumah itu. Menemani sang majikan dalam suasana yang jauh lebih sepi dari sebelumnya.
Mobil polisi menjemput tersangka tepat saat bulan berada di timur kubah langit. Beberapa perwira meminta maaf.
***
Dua hari berikutnya, Adam kembali duduk di kamarnya menghadap jendela. Hari cerah menjelang sore, membuatnya cukup tenang menyelesaikan bab terakhir Even Anglels Ask dengan secangkir capuccino di atas meja rendahnya. Saat tinggal tersisa tiga halaman, ponselnya bergetar di atas meja. Bergeser ke samping dengan teratur hingga menempel ke cangkir.
Pesan masuk.
Pak Adam, trims atas pnyelesaiannya. Kami sudah lbh lega. Nisa kooperatif dan polisi mpertimbangkan masa percobaan untukny. Anak itu ditahan, tapi sy msh bisa mengunjunginya u/ ngobrol, meski ia tak bnyk bcra. Mhon doanya. Mav klo sy tdk mbantu bnyak slm penanganan kasus. Salam.
Dalam hati Adam tersenyum. Ia masih berpikir seberapa kuat seorang istri menanggung beban seberat itu, dan Nyonya Sonia Anggraini membuktikan dirinya sendiri, setelah membuktikan keyakinannya. Kekuatan hatinya untuk menerima dua tragedi dalam satu kenyataan yang sama.
Dan lagi, sejatinya klien itu tak perlu minta maaf. Bayaran yang dikirimkannya melebihi perkiraan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H