Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kursi Berkaki Tiga (3)

7 Juli 2012   14:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:12 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13415092671936491163

Mesty Annisa Ismail, Win, seorang pembantu, Kei si bungsu, dan Ny. Sonia Ismail.

Adam berada di tengah keluarga yang menunggu misteri atas kematian tuan rumah.

(Sebelumnya ....)

Sore hari saat sinar matahari masih hangat, Adam sudah kembali berada di depan gerbang rumah itu. Win membukakan pintu dan langsung menyilakan masuk meski di halaman itu masih ada genangan air di sana-sini. Nyonya rumah nampak lebih santai dengan terusan lembut batik Solo berwarna ungu. Rambutnya dibiarkan terurai dan lembab, segar seperti keramahan yang ditunjukkannya.

“Anda benar-benar pekerja keras, Pak Adam,” sapanya kepada tamu yang sudah tersenyum dari jauh.

“Terima kasih. Di zaman sekarang ini kerja tidak hanya soal penghasilan, kan.”

Sonia nampak terpukau dengan balasan Adam, dan langsung meminta tamunya itu menunggu di ruang tamu. Sang nyonya rumah lalu berjalan ke salah satu koridor rumahnya yang langsung menghubungkan ke sayap timur. Tak lama kemudian ia sudah kembali lagi dengan seorang gadis.

“Ini Mesty, anak saya yang satunya lagi.”

Adam bangkit, menyapa kemudian menjulurkan tangannya. “Nisa.”

Gadis itu terkejut dengan sapaan dari Adam. “Bagaimana Anda tahu nama saya?”

“Mesty Annisa Ismail, tapi lebih senang dipanggil Nisa,” jawab Adam sambil tersenyum. “Pak Win yang memberitahu saya.”

“Oh.”

Kemudian gadis itu dan ibunya sudah duduk kembali. Nisa masih ketus karena mengaku sedang menyelesaikan tugas kuliahnya.

“Maaf kalau kedatangan saya mengganggu,” kata Adam. “Tadi pagi saya sudah kemari, dan saya kemari lagi sore ini untuk menuntaskan penyelidikan saya.”

“Penyelidikan apa?” tanya Nisa gesit. “Tentang kematian ayah?”

Adam mengangguk sambil melipat bibirnya. Anak itu lantas memprotes kepada ibunya yang berusaha menjelaskan. “Tidak perlu investigasi atau apapun. Ayah sudah mati, tidak ada gunanya disesalkan!”

Adam tergelak dengan jawaban anak itu. Situasi batin yang jelas mengalami keterkejutan yang kurang menyenangkan, meski di balik kemarahannya anak itu nampak mengendalikan diri dengan baik.

“Silakan periksa saja kamarku, semuanya. Tidak ada apa-apa.”

“Baik. Akan saya periksa sekarang.” Seru Adam tiba-tiba yang nampaknya membuat Nisa dan Ibunya terkejut bersamaan. “Sekarang?”

“Ya. Kapan lagi? Saya harus segera melaporkan penemuan saya kepada Anda, bukan?” jawab Adam kepada nyonya rumah. “Ayo. Semakin cepat misteri terungkap, semakin cepat rumah ini bisa hangat kembali.”

Setelah berunding singkat, akhirnya Nisa memandu tamunya mengelilingi bagian rumah lain, termasuk kamarnya.

Ukuran cukup luas untuk seorang mahasiswi tingkat dua. Dua jendela besar di sebelah utara yang langsung menghadap taman samping, juga dua jendela yang lebih kecil di sebelah timur tempat beberapa tumbuhan bambu membayang dari luar. Kain penutupnya berwarna krem memantapkan nuansa lega di ruangan itu meski dihiasi dua lemari besar dan ranjang ukuran ganda. Kertas berserakan di karpet dekat alat pencetak sementara beberapa laci di meja belajar nampak terbuka.

“Nisa jurusan apa?”

“Komsi.”

“Apa itu?”

“Komputer dan Sistem informasi?”

“Oh, ya. Cocok untuk kepribadian sepertimu.”

“Maksudnya?”

Adam hanya menjawab dengan senyuman, yang, sepertinya membuat anak itu dongkol. “Silakan lihat-lihat. Saya mau menyelesaikan tugas.”

Lima menit lamanya Adam berkeliling dan melangkahkan kaki telanjangnya dengan hati-hati karena takut mengotori karpet di bawah. Dilihatnya gelas-gelas keramik dan beberapa kristal yang ditata di dekat cermin. Mengamati boneka lumba-lumba dan beberapa patung kecil tanpa menyentuhnya, meraba permukaan meja belajar, mengggeser kursi, menikmati siraman cahaya lewat lubang ventilasi, dan memeriksa apa saja yang ada di dalam laci.

“Sempurna,” katanya pada akhirnya. Ia melangkah ke arah pintu.

“Sudah kan?”

“Iya, sudah. Terima kasih, Nisa. Oh, satu lagi.”

“Ya. Apa?”

“Nisa suka mengoleksi ponsel ya? Di sini ada tiga … dan di situ …”

“Saya punya enam ponsel, Pak. Sebagiannya untuk keperluan penelitian program. Apa itu aneh?”

Adam mengangguk. “Cukup masuk akal bagi saya.”

Setelah berterima kasih yang tak berbalas, Adam membungkuk lalu keluar. Pintu ditutup kembali. Di dalam kamar itu, Nisa membiarkan  bibirnya lemas bersamaan saat senyumnya lesap.

“Ada petunjuk?” tanya Sonia saat menyambut kembali di depan kamar.

“Cukup,” kata Adam.

“Apa lagi yang Anda ingin periksa, Pak Adam?”

“Pembantu Anda.”

“Mari lewat sini.”

Mereka masuk ke dapur dan menemui Asih, perempuan paruh baya yang sedang menyiapkan makan malam. Adam minta ditinggalkan berdua saja lalu Sonia mengatakan bahwa ia akan berada di ruang tamu jika sudah selesai.

“Terima kasih atas kepercayaan Anda,” kata Adam.

Setelah sepuluh menit, Adam sudah kembali berada di ruang tamu. Sebentar ia keluar lagi berjalan ke taman sebelum duduk di sofa tamu. Senter dan buku catatan dimasukkan nyaris bersamaan ke saku dalam jaketnya. Kepalanya terangkat dan helaan napasnya lebih teratur.

Nyonya rumah duduk dengan tangan saling menggamat. Matanya berisi penantian akan jawaban yang ditunggu.

“Saya minta lima belas menit untuk menyusun laporannya, Bu Sonia. Oh iya dan satu hal lagi, saya minta tolong …”

Sonia menyanggupi semua yang diminta investigator itu.

“Kalau begitu kita sudah siap. Untuk jawaban atas misteri kematian suami Anda. Sebuah trik lama yang sangat cerdik. Terbukti mengelabui seisi rumah, dan menyisakan prasangka negatif kepolisian. Dengan hasil ini, saya nyatakan memang benar Tuan Iyus Ismail dibunuh. Oleh orang di dalam rumahnya sendiri.”

Sonia tak bisa bicara apapun atas pernyataan itu.

(Selanjutnya ...)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun