Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kota Cerdas dan Faktor Manusia

14 Mei 2015   15:02 Diperbarui: 29 Agustus 2019   16:17 1303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas membagikan brosur E-ticketing Transjakarta sebagai bagian dari kampanye efisiensi transportasi menuju kota cerdas. Kompas.com/ Wisnu Widiantoro

Sejak awal saya tidak begitu setuju dengan istilah“Kota Cerdas” yang dengan begitu terbatas diidentikkan dengan “membuat warga cerdas”. Saya baca beberapa artikel, berita dan opini, yang seakan-akan mengklaim tingkat kecerdasan sebuah kota bisa diukur dari seberapa otentik pemenuhan kebutuhan pendidikan formal bagi warganya, entah itu dengan perpustakaan publik, program pelatihan, beasiswa silang, atau bentuk insentif pendidikan lainnya. 

Meski begitu, saya sungguh percaya bahwa faktor manusia, jika boleh dikatakan seperti itu, tetap menjadi inti pembentukan Kota Cerdas yang sebenarnya, sebagai unsur penting dari misi globalsmart city yang pada intinya adalah tentang perencanaan dan pembaruan sistem tatakelola menjadi lebih ubiquitous alias berbasis konektivitas pelayanan sekaligus efisien dari segi biaya dan waktu. 

Faktor manusia dalam Kota Cerdas merupakan subjek besar dari cetak biru bagaimana kota mendahulukan unsur keterlibatan kolektif sejak merencanakan visi, merancang tata ruang hidup yang lebih ramah, perekrutan unsur digital, aplikasi perangkat lunak (software) pada perangkat keras (hardware) yang memudahkan transportasi dan transformasi, sampai monitoring kebijakan dan penilaian evaluatif.

Sejenak saya begitu kagum bagaimana Singapura dengan begitu sigap menerapkan kota cerdas hanya dalam dua puluh tahun, setidaknya menurut kepala kontraktor Albert Foo yang mengakui bahwa faktor penting kota Singapura menjadi cerdas dan efisien adalah karena perencanaan perangkat aturan yang melibatkan semua pihak secara adil dan terbuka, disertai kepatuhan penerapannya tanpa pengecualian. 

Bandingkan saja dengan Jepang yang menurut Prof. Dr. Toshio Obi, presiden International Academy of Chief Information Officer, Waseda University pada pembukaan Asia-Africa Smart City Summit di Bandung beberapa waktu lalu yang mengatakan, “Tokyo butuh satu generasi untuk membangun kota ‘canggih’ dan serba-teratur seperti dilihat sekarang,” menambahkan bahwa ibu kota Negeri Matahari Terbit itu baru benar-benar merintis pengelolaan efektif dan efisien di semua lini kota mereka sejak tahun 1980. 

Kini, studi pemeringkatan Waseda malah menempatkan Singapura, bersama-sama Finlandia, dalam urutan teratas negara yang terdepan dalam menerapkan open government data dan cyber security, dua bagian penting dari sebuah kota cerdas yang visioner.

Hanya saja, baik Singapura maupun Finlandia merupakan negara-kota yang secara teritorial berukuran relatif kecil dengan penduduk tak lebih dari enam juta jiwa (2014). Manajemennya tidak banyak berbenturan dengan matematika aglomerasi dan populasi yang besar. Sementara Tokyo, sebagai kota dengan kepadatan tertinggi di dunia, mengatur hidup tak kurang dari 32,5 juta jiwa, dan mereka tetap berhasil menjadi kota cerdas sebagai percontohan secara global. 

Oleh karenanya dalam penilaian subjektif saya, Tokyo jauh lebih matang dan jauh lebih kuat keberhasilannya dalam koridor demografi manusia, menjadi inspirasi banyak negara dengan gejala ledakan populasi yang sama, termasuk Indonesia yang kini masuk tahapan ujicoba. Sungguhpun, masalah perkotaan di Indonesia punya ciri khasnya sendiri karena hidup dalam teritori yang jauh lebih luas dan keragaman (heterogenitas) yang lebih kompleks.

Ketika diartikan bahwa smart city adalah digital city, faktor keragaman manusia juga bisa jadi kendala bagi kota-kota di Indonesia. Jakarta dikenal sebagai kota paling aktif di dunia secara teknologi sosial (Twitter, Facebook, Path, Waze, dan perangkat sosial digital lainnya). Akan tetapi, Jakarta malah tidak termasuk lima kota yang disiapkan menjadi Kota Cerdas menurut PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), perusahaan penyedia layanan digital terkemuka.

Alasannya mudah ditebak, kecanggihan tekno digital orang-orang Jakarta tidak bisa membuktikan tatakelola pemerintahan dan infrastruktur mendasar bagi warganya apakah cerdas atau tidak. Masyarakat Jakarta begitu majemuk dan sulit ditebak. 

Masalah infrastruktur, tata ruang dan perumahan, serta manajemen proyek dan limbah Jakarta berantakan selama bertahun-tahun, maka pertimbangan itu menjadi logis mengapa masyarakat Jakarta yang dianggap “canggih-canggih” malah terdepak dari potensi penilaian kota cerdas di Indonesia. Jakarta “yeskota digital secara person-per-person, tetapi “no” secara kolektif dalam struktur tatakelola.

Enam kota cerdas yang sedang disiapkan menurut Telkom adalah Bandung, Bogor, Surabaya, Makassar, Banda Aceh, dan Balikpapan (Kompas Properti, 23/4/2015). Meski begitu, apakah kota-kota ini akan berhasil menjalankan unsur-unsur penting kota cerdas atau tidak, belum bisa dipastikan. Bandung dan Bogor sudah berjalan dan nampaknya baik-baik saja, tetapi empat kota lainnya masih akan dilihat hasilnya. 

Ciri tiap kota berbeda, dan penerimaan masyarakat akan perangkat dan tata kelola yang ubiquitous belum tentu berjalan baik, di samping sangat bergantung pada manajemen strategis dan konsistensi pemerintah daerahnya.

“Kita harus hati-hati dengan istilah kota cerdas atau smart city. Jangan sampai kemudian para pemimpin kota fokus hanya pada aksesori. Bahaya jika klaim politis kota cerdas seolah menjadi hanya kebenaran, dan mengabaikan perencanaan pembangunan mendasar kota yang sebenarnya,” begitu kata akademisi Bernardus Djonoputro, ketika dimintai pendapatnya oleh wartawan properti Kompas.com Hilda B. Alexander. 

Bernardus adalah Ketua Umum Ahli Perencana Indonesia (IAP) yang telah lama mengamati isu pembangunan kota cerdas. Kota cerdas adalah konsep besar yang kompleks dengan banyak struktur tubuh, tetapi secara sempit kerap diartikan sekadar pembangunan kecerdasan manusia atau kota berbasis digital. 

Jauh berbeda dengan tujuan besarnya yakni kolektivitas perancangan dan tatakelola berkelanjutan, clash of digitalization pada kota hanya akan menciptakan “dunia instan yang dipicu oleh media sosial dan internet”, di mana teknologi hanya menyentuh sebagian kecil populasi dari sekian banyak elemen kota.

Smart City atau Smart Community?

Meski belum ada definisi baku yang disepakati soal kota cerdas, setidaknya pengertian yang dikemukakan ilmuan dari firma konsultan tata ruang kota, Dan L. Sullivan dan Lore A. Frost menjadi definisi kategoris yang paling mudah dipahami indikatornya. 

Menurut Frost dan Sullivan (2014), ciri-ciri sebuah kota cerdas dapat diukur dari delapan indikator kecerdasan: 1.tatakelola pemerintahan (smart governance), 2. tatakelola energi (smart energy), 3. manajemen bangunan (smart building), 4. cerdas mobilitas (smart mobility), 5. infrastuktur (smart infrastructure), 6. cerdas teknologi (smart technology), 7. layanan kesehatan (smart healthcare), dan 8. cerdas warga (smart citizen). 

Smart governance meliputi perencanaan pembangunan strategis dan bantuan digital dalam penerapan kebijakan (mis. e-budgeting D.K.I. Jakarta) dalam membuat inisiatif program ramah lingkungan dan hemat bagi penganggaran, subsidi, dan program lain sesuai roadmap pembangunan berkelanjutan. Kota-kota yang sudah melakukan ini antara lain Jakarta, Bandung, dan Surabaya.

Smart energy meliputi penggunaan teknologi digital dan terapan untuk membangun tata kelola energi baik di pemerintah ataupun swasta menurut standar minimum Advanced Meter Infrastructure, manajemen distribusi, sistem transmisi tegangan tinggi, dan pemerataan akses. (Gurstein, 2014)

Smart building bertumpu pada gedung hemat energi dan tataguna hijau, dengan fasilitas dan kendali pintar berbasis komputasi digital, semisal pada kendali nyala lampu, tutup-buka pintu, akses suhu dan udara bersih pada ventilasi, akses cahaya, konsumsi energi dapur, juga fitur keamanan otomatis dan ketahanan terhadap bencana.

Smart mobility banyak membahas basis teknologi pada kebutuhan kendaraan hemat energi dan rendah emisi, berkapasitas besar tapi dengan daya paling hemat dan nilai ergonomis paling baik. Aplikasi bahan bakar gas pada TransJakarta atau inisiatif sepeda berkekuatan listrik hijau di Amsterdam jadi contoh.

Smart infrastructure meliputi teknologi pintar dan otomatis yang diterapkan pada sistem bangunan dan kendali infrastruktur, makro dan mikro. Bentuknya bisa pada klaster energi perkotaan berdasarkan tingkatan jalan, jalur transportasi dengan digitalisasi pelayanan, manajemen air dan limbah, sampai integrasi telekomunikasi dalam pemantauan operasionalnya (bentuk sederhananya mis. National Traffic Management Center di Mabes Polri, Command Center di Bandung, dsb.)

Smart technology  bertumpu pada kemampuan menghubungkan perumahan, kantor, pemerintah dan swasta, personal dan lembaga dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komuinkasi. Di luar itu ada pula inisiatif pengembangan teknologi pintar untuk kawasan rural/desa, pemantauan titik-titik strategis seperti pintu air dan atau titik banjir, penginderaan jauh wilayah air dan hutan, serap optik untuk daerah terpencil dan transportasi antarpulau, dan sebagainya. 

Smart healthcare memungkinkan warga mengakses layanan kesehatan dengan mudah menggunakan teknologi genggam atau komputer rumah, layanan darurat (emergency) dengan integrasi peta kota dan GPS, serta perbantuan digital dalam penyusunan kebijakan di bidang kesehatan (semisal pembaruan data jumlah pasien endemik atau korban memerlukan bantuan kesehatan di wilayah bencana menggunakan data realtime atau sumber terbuka/crowdsourcing).

Smart citizen sendiri merupakan upaya progresif mengedukasi publik tentang gaya hidup ringkas, ramah lingkungan dan berbasis teknologi hijau. Menurut Gurstein (2014), elemen ini memungkinkan warga terbantu dalam hal ketepatan waktu berangkat bus, manajemen jam kerja bersama demi kesehatan dan produktivitas (family time), serta pengakraban warga dengan fitur-fitur dari kota cerdas lainnya, seperti akses trotoar ramah penyandang disabilitas, penghematan air dan listrik, arus lalu lintas yang mendahulukan moda transportasi publik, teknologi presensi sidik jari, uang elektronik, dan sebagainya.

Gerbang Mass Rapid Transit (MRT) yang menghubungkan stasiun bawah kota dengan pusat-pusat bisnis Singapura. Negara kecil ini telah lama melibatkan publiknya dalam perencanaan pembangunan kota, termasuk penerapan aplikasi-aplikasi digital untuk pembangunan Kota Cerdas. (Kompas.com/Hilda B. Alexander)
Gerbang Mass Rapid Transit (MRT) yang menghubungkan stasiun bawah kota dengan pusat-pusat bisnis Singapura. Negara kecil ini telah lama melibatkan publiknya dalam perencanaan pembangunan kota, termasuk penerapan aplikasi-aplikasi digital untuk pembangunan Kota Cerdas. (Kompas.com/Hilda B. Alexander)

Yang patut dihindari adalah potensi konsep kota cerdas sifatnya hanya top-down, atau dari pemerintah ke masyarakat. Padahal seharusnya dalam praktik efisien seperti Tokyo dan Singapura, keterlibatan people, citizen atau warga masyarakat akan begitu menentukan kelak, jika perencanaan tata kelola kota yang berkelanjutan jadi diterapkan. 

Dari pemikiran ini pula banyak pakar mengemukakan ide tambahan smart community, atau setidak-tidaknya penambahan elemen community ke dalam setiap dari delapan indikator kota cerdas menurut Frost dan Sullivan di atas. 

Smart community governance, misalnya, akan membantu warga terlibat dari sejak penganggaran kota, pemetaan anggaran belanja, pelatihan dan pendidikan akuntabilitas, sampai hak bagi warga untuk memberi nilai dan mengevaluasi kinerja pemerintahnya lewat perbantuan teknologi digital. 

Begitu pula dengan smart community infrastructure, yang berarti pelibatan warga masyarakat kota memberikan masukan sebanyak-banyaknya soal bagian jalan atau jembatan mana, misalnya, yang layak didahului perbaikan atau pengembangannya, memunculkan badan-badan diskusi publik yang sifatnya kolaboratif dengan pemerintah dan pengembang. 

Smart community planning and resources melibatkan warga dalam pemetaan kebijakan publik dan sumber daya data pemerintah kota, sumber energi, dan kapasitas pelayanan air bersih sebagai sumber daya tidak terbatas yang dikelola bersama. 

Kemudian smart community citizenship di mana interaksi sosial warga secara digital menjamin keakraban dan kesatuan visi dengan pembangunan kota oleh pemerintah, akuntabilitas dan sharing data publik, serta partisipasi warga dalam program mitigasi bencana lewat komunitas-komunitas muda atau mereka yang tinggal di kawasan perdesaan. 

Moda bus massal di Yogyakarta, TransJogja telah lama mengenalkan uang elektronik sebagai metode pembayaran dengan alat pemindai elektronik di setiap haltenya. Pinjam foto @RatihalRasyid
Moda bus massal di Yogyakarta, TransJogja telah lama mengenalkan uang elektronik sebagai metode pembayaran dengan alat pemindai elektronik di setiap haltenya. Pinjam foto @RatihalRasyid

India, yang baru saja mengumumkan ambisinya membangun 100 kota cerdas selesai pada 2030, kini banyak mengadopsi sistem poling untuk menjaring aspirasi warganya (yang padat dan terpencar-pencar di desa sebagaimana Indonesia) dalam perencanaan pembangunan infrastruktur dan teknologi kota. Melalui aplikasi ponsel dan jaringan internet desa pemerintah mengumpulkan bahan pertimbangan, semata-mata sebagai upaya melibatkan warga dalam perencanaan dan pengawasan pemerintahan.

Smart community muncul sebagai roh karena smart city bekerja hanya sebagai perangkat (tool). Warga Jakarta mungkin sebentar lagi akan diwajibkan menggunakan semua moda transportasi publik dengan menggunakan uang elektronik, tetapi di sisi lain warga sebagai community atau masyarakat harus secara sadar mengapa efisiensi pembayaran bus itu begitu penting di masa-masa mendatang. 

Warga Bandung dan Yogyakarta juga begitu aktif menyuarakan keluhan mereka terkait fasilitas dan pelayanan publik kota lewat Twitter, sebagai cara menyeimbangkan konsep pemerintah yang mungkin selama ini hanya berlaku dari atas ke bawah. Hasilnya, penyelenggaraan transparansi program pemerintahan mengalami kemajuan, bahkan dengan hanya melibatkan warga lewat Twitter dan laman poling publik.

Toshio Obi dari Jepang tadi juga berpikiran sama, bahwa Tokyo memerlukan satu generasi untuk membangun kota cerdas karena banyak bergulat di membentuk pola pemikiran warga, beralih dari cara hidup lama ke efisiensi yang baru. Bernardus Djonoputro dari IAP juga percaya bahwa kota cerdas, jika dibangun di Indonesia, sejatinya bukanlah tujuan, melainkan manajemen kota yang mengakomodasi ruang hidup nyaman, aman, dan berkelanjutan. Semua hal ini begitu warga-sentris, bertumpu pada faktor manusia yang akan terlibat banyak. 

Meskipun investasi pada teknologi digital dibutuhkan banyak, kota cerdas akan butuh investasi waktu agar warga memahami secara perlahan namun pasti, mengapa kota-kota Bandung, Bogor, Surabaya, atau Banda Aceh harus berjalan efektif efisien seperti kota-kota Singapura, Barcelona, Eindhoven, atau Incheon. 

Tiga elemen penting Kota Cerdas menurut ITB-Kompas, yakni people, ICT, dan governance beserta elemen-elemen praktisnya. Sumber: Materi publikasi IKCI Kompas-ITB, April 2015.
Tiga elemen penting Kota Cerdas menurut ITB-Kompas, yakni people, ICT, dan governance beserta elemen-elemen praktisnya. Sumber: Materi publikasi IKCI Kompas-ITB, April 2015.

Karena sejatinya kota cerdas hanyalah perangkat, maka subjek utamanya adalah manusia itu sendiri. Saya mengamati banyak kota dan melihat betapa sulitnya mengajak warga secara kolektif mencintai transportasi publik, trotoar yang bersih, atau lahan parkir yang terotomatis karena berbagai alasan. 

Jika Kompas dan ITB berupaya memperkenalkan Indeks Kota Cerdas Indonesia dalam tiga sumbu penting (people, ICT, governance) sebagai upaya memotivasi pemerintah banyak kota untuk menerapkan tatakelola yang lebih cerdas, maka tantangan bertahun-tahun mendatang adalah merasakan hasil kota cerdas sebagai bagian dari perbaikan kualitas hidup warga, peningkatan wawasan teknologi dan lingkungan yang lebih baik, dan sebagai upaya memperbaiki transparansi kota agar semua pembangunan, mulai dari jalan aspal, trotoar, manajemen pintu air, kawasan wisata, sampai limbah bangunan berjalan sebagai misi bersama, transparan dan berlaku menyeluruh sebagai tangkalan cerdik atas pesatnya laju urbanisasi.

Dan dalam prosesnya itu, warga masyarakat terlibat secara penuh, dan percaya mengapa kota cerdas bukanlah mitos, tetapi perangkat untuk memperbaiki kehidupan generas-generasi mendatang.

Ilustrasi Smart Community (telstra.com.au)
Ilustrasi Smart Community (telstra.com.au)
Baca juga: Gerakan Nontunai dan Peluang Kota Cerdas.

*

 


Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun