[caption id="" align="alignnone" width="600" caption="Suasana malam hari di Jalan Malioboro, Yogyakarta. Kawasan wisata belanja kerajinan tangan dan kuliner ini bertambah padat pada saat hari libur nasional dan akhir pekan. (Kompas.com/Fikria Hidayat)"][/caption] Yang menghidupkan bisnis adalah pilihan orang-orang. Setidaknya ungkapan Bob Sadino saat mengomentari UMKM di Indonesia beberapa tahun lalu itu bisa dibenarkan secara kasat mata. Dalam persaingan pasar usaha, yang menentukan keberhasilan target pencapaian bisnis adalah mengerti apa yang orang butuhkan, apa yang orang pilih untuk menggelontorkan uang. Maka tidak mengherankan jika bahkan jenis usaha yang kelihatannya kecil diam-diam menyumbangkan Pendapatan Domestik Regional Daerah terbesar. Tengok saja di Yogyakarta, beberapa usaha “kelas dua” yang nyata-nyata lebih dicari daripada beberapa yang menyuguhkan barang premium. Berkunjung ke Yogyakarta, Anda perlu berkeliling beberapa saat, atau minimal bertanya kepada teman di mana restoran “kelas atas” yang pelayanannya mantap sekaligus disukai orang. Tak banyak. Akan tetapi coba tanyakan, di mana tempat makan enak, maka hampir pasti Anda akan ditunjukkan puluhan titik pedagang kaki lima yang bisa dinikmati tanpa harus membayar mahal. Orang mencari kualitas bagus dengan harga lebih merakyat. Tidak mengherankan jika pada tahun ini saja industri UMKM subsektor kuliner menyumbang lebih dari 33% PDRB yang totalnya mencapai 1 triliun rupiah. Fakta sama yang membuat Menteri Perekonomian Hatta Rajasa mengakui pentingnya mempertahankan sektor usaha pedagang kaki lima. Rupanya kemenangan industri kuliner kelas dua tidak hanya terjadi di Yogyakarta. Hal serupa bisa dilihat dari statistik pendapatan daerah bruto beberapa daerah lain yang dikenal mengandalkan UMKM dan kuliner sebagai daya tarik wisata domestik. Jakarta meraup 23.699 miliar rupiah pada pendapatan usaha jasa perhotelan-kuliner pada triwulan I 2012; Jawa Timur 464 triliun, Bandung ekivalen 10% dari PDRB; dan Samarinda lebih dari 104% pada 2010. Kecenderungan pemahaman pasar industri kelas dua saat ini semakin inklusif. Orang-orang tak lagi melulu mengejar gengsi dalam berbelanja. Orang kaya bisa saja makan di restoran berkelas sekali setiap minggu kemudian pada hari-hari kebanyakan mencari jajanan menengah ke bawah. Maka jadilah bisnis-bisnis Ayam Goreng Gethuk. Sop Ayam Pak Min, Bakso Lapangan Tembak dan Warung Super Sambal sebagai bisnis naik daun yang menggeliat di antara stagnannya jenis-jenis usaha kelas atas. Di luar sektor kuliner pun demikian. Batik mendongkrak pasar busana dan menempatkannya pada urutan tertinggi penyumbang pendapatan sektor industri kreatif di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sementara untuk sektor jasa dan properti beberapa usaha seperti paket tur wisata, penyewaan kendaraan dan hiburan meningkat seiring meningkatnya tingkat permintaan. Meski pada kenyataannya terjadi pula peningkatan kebutuhan hidup, pasar kelas dua menyeimbangkan secara natural. Banyak PKL murah di Yogyakarta saat ini yang pelayanan serta penyuguhannya serasa premium meski harganya sedikit lebih mahal. Orang-orang dengan daya beli tinggi punya pilihan lebih luas atas jenis usaha atau layanan yang tersedia di beberapa kota favorit wisata. Di Yogyakarta yang “apa saja ada”, banyak orang rela mencari sampai ke jalan-jalan kampung dan gang kecil di dekat sawah sekadar untuk mendapatkan suasana makan malam yang hangat, murah dan tak bertele-tele. Anda bisa duduk melantai beralas tikar tanpa harus malu atau canggung. Makan di pinggir jalan adalah gaya lama yang kembali baru seiring pelayanan usaha pedagang kaki lima yang mengejar nilai di samping harga. Pemasaran rakyat Lalu bermunculanlah strategi-strategi pemasaran yang ditujukan menggaet pangsa pasar lebih luas untuk bisnis-bisnis murah. Sudah lama orang mengenal "nasihat selera" dari mulut ke mulut. Banyak rumah makan laris karena jenis pemasaran rakyat ini, mengalir dari teman ke teman, dari komunitas ke komunitas. Tidak mengherankan jika restoran tanpa dinding beratap bambu bisa lebih ramai pengunjungnya daripada restoran berjendela kaca besar dengan sambutan ala hotel. Kemudian muncul media sosial. Berbekal akun gratis di Twitter usaha kaus kartun mendongkrak penjualan @Ngartun dan menyumbang ide industri kreatif. Orang-orang, terutama kelas tengah saat ini, menyandarkan preferensi bisnisnya pada setidaknya dua hal: tren dan kebutuhan. Walau di beberapa kasus ada pengecualian, tetapi hal pada urutan pertama di atas terbukti lebih manjur merespon pemasaran murah yang merebak dengan banyak cara. Industri sepatu lukis membawa Kadek Antari (24) membawa bisnisnya ke nilai mozet puluhan juta rupiah dan diapresiasi salah satu bank swasta pemodal UMKM. Jikapun terlalu dini menyatakan sektor/subsektor usaha kelas dua melampaui atau setidak-tidaknya menyamai nilai ekonomi kelas satu, tapi statistik menunjukkan peningkatan itu. Membuktikan bahwa ada lebih banyak waktu bagi orang-orang menengah ke atas untuk menikmati industri barang-jasa menengah ke bawah yang punya nilai lebih baik daripada sekadar harga yang murah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H