[caption id="attachment_94575" align="aligncenter" width="680" caption="Lereng Merapi disorot dari Selatan, dengan jejeran warung sederhana. Ada plang dan juga bendera."][/caption] Ini adalah catatan perjalanan. Sleman, Minggu 6 Maret 2011. Tiga bulan lebih pascabencana erupsi Merapi, kehidupan masyarakat di desa Kepuharjo Kecamatan Cangkringan Sleman perlahan-lahan dipulihkan. Masyarakat kembali pada naluri kebersamaan mereka dengan membangun diri dan desa yang dulu permai. Kebijaksanaan lokal membawa ratusan kepala keluarga di desa ini menatap lebih jauh ke depan sebagaimana penggalan kalimat yang banyak dipasang di kota, "Tutup masa lalu. Tatap masa depan." Di tengah-tengah tandusnya kaki Merapi, beberapa hunian sementara (huntara) dari bahan bambu mulai didirikan oleh tim relawan bekerjasama dengan masyarakat desa setempat. Hamparan tanah bekas sapuan awan panas mengelilingi desa itu. Sementara cekungan dalam kali Gendol yang tak berair membentang berliku-liku di sebelah timur pemukiman yang belum terlalu ramai itu. Para pria desa menyibukkan diri dengan saluran drainase langsung ke bibir kali Gendol, mencangkul tanah, lalu menancapkan beberapa tiang rumah di sekitarnya. Para ibu memilih menyibukkan diri dengan makanan-minuman di meja dagangan yang dinaungi kios-kios sederhana. Beberapa kios jualan di sana nampak masih baru, dengan dinding yang agak terbuka dan atap terpal yang terkepak-kepak diterpa angin gunung. "Ojek mas. Atau mau sewa juga boleh." kira-kira demikian sapaan beberapa warga pria yang berjejer di jalur pendakian menuju desa Kinahrejo. Mereka mencoba menghidupi diri dan keluarga dengan menyewakan sepeda motor mereka bagi para pengunjung yang tak mau capek-capek jalan kaki di lereng yang cukup miring itu. Terpikir oleh saya, mungkin saja beberapa dari sepeda motor itu memiliki nilai sejarah saat para warga dibawa menyelamatkan diri November lalu. Bagaimanapun, saya memilih memuaskan mata menikmati sekeliling dengan berjalan kaki saja. Beberapa bendera kecil berwarna merah nampak disebar di keseluruhan lereng luas itu. Jaraknya tidak terlalu jauh. Satu di antara bendera-bendera itu berwarna putih, tanda menyerah mungkin. Selain bendera, terpancang pula beberapa plang peringatan bahaya, di tepi tebing terjal atau di daerah dengan suhu yang masih panas. Belum sampai menginjak setengah perjalanan mendaki, saya mampir di sebuah warung makanan ringan. Menikmati sebungkus jadah tempe, semangkok mie rebus telur, dan segelas teh panas rasanya beda sekali. Begitu damai, begitu ramah, terlupakan sejenak fakta bahwa tiga bulan lalu di atas tanah ini tidak ada apa-apa kecuali aliran debu panas. Saat berbincang-bincang dengan warga yang juga pemilik warung, saya mendapatkan beberapa informasi. Ternyata, betul dugaan saya bahwa ganti rugi ternak yang mati belum juga diberikan oleh pemerintah. Para warga di Desa Kepuharjo mengaku sudah memenuhi persyaratan ganti rugi berupa membuka rekening salah Satu bank, tetapi yang ada hanya buku rekening saja di tangan mereka, tanpa diisi uang ganti rugi yang dijanjikan sudah lama itu. Selain masalah ganti rugi ternak, warga juga menunggu bantuan logistik dan material bangunan. Berdasarkan pengamatan, memang jumlah huntara di lereng itu masih sangat minim dengan kondisi yang sangat sederhana. Dinding rumah dibangun dengan anyaman bambu, tiangnya pun dari bambu. Tak terbayangkan jika kecepatan angin jauh lebih tinggi dari yang ada sekarang. Kebetulan, saat saya di sana, bertepatan tibanya beberapa mobil Dinas Kehutanan Provinsi DIY yang membawa rombongan. Nampaknya mereka akan memantau perkembangan program penghijauan yang sudah berjalan di lereng ini. "ONE MAN ONE TREE", demikian tulisan di punggung kaos mereka yang didominasi pria setengah baya itu. Memang, beberapa bibit pohon seperti singkong dan jambu mulai ditanam di beberapa area lereng. Selain pekerja kehutanan, datang pula rombongan yang lebih kecil dengan truk tangki bertuliskan "AIR BERSIH". Mereka bergantian mengisi hampir 10 tong air berukuran 500 liter di beberapa titik di situ. Ada yang di sekitar bibir kali Gendol, ada yang di tengah-tengah padang kosong dekat pemukiman sementara. Satu tong air di dekat fasilitas WC Umum tak luput diisi. WC umum yang saya maksud ini unik. Kesannya sederhana karena dibuat dengan bahan bangunan seadanya, akan tetapi sistem drainasenya cukup modern dengan panel tenaga surya sebagai sumber energi listrik dan pengatur aliran air. Saya perhatikan tulisan di dekat panel, "UGM Hidro." Oh bantuan kampus. Di sepanjang jalur pendakian desa berjejer warung-warung yang dijaga perempuan desa. Ada juga warung yang membawa brand terkenal, namun setelah saya tanyakan ternyata pengelolanya orang desa situ juga. Ada kemungkinan beberapa perusahaan UMKM Yogyakarta berinisiatif memfasilitasi bisnis warga desa dengan sistem bagi hasil, seperti yang pernah saya dengar dari teman sesama pengusaha kecil. Inilah Desa Kepuharjo yang kembali berdiri, merajut mimpi desa yang dulu permai, lalu tetap berdasarkan kecintaan terhadap lingkungan mereka di kaki Merapi. Saya membayangkan ratusan pria desa yang bekerja sama membangun huntara-huntara itu bangun gasik setiap hari, memastikan persiapan para istri dan warung lengkap, lalu mereka berangkat bekerja tak jauh dari situ. Para pengunjung yang sebagian besar memenuhi hasrat wisatanya harus bersedia menikmati suguhan pemandangan kerjasama seperti ini.
"Saya tidak takut, Mas. Ini kampung saya, tidak ada alasan takut kalo ada bencana lagi." demikian kata sosok lelaki tua penjaga warung yang saya singgahi tadi.
Semoga ini bukan perjalanan terakhir saya ke desa ini. Saya ingin melihat dan menjadi saksi kemajuan yang dialaminya, dibangun tahap demi tahap oleh warganya sendiri, atas dasar keyakinan akan perubahan hidup setelah bencana Merapi. Uang Rp 7.000,- yang saya bayarkan ke dalam kardus pos jaga dalam perjalanan ke lereng berkesan sangat kecil jika dibandingkan kisaran bantuan yang sejatinya mereka butuhkan untuk hidup lebih panjang. Kalu diperhatikan seksama, tak nampak lagi kesedihan di wajah para penduduk desa ini. Mereka bukan lagi pengungsi. Mereka sama saja dengan warga kota yang berusaha menjajakan barang-barang demi menyambung hidup dan menambah pundi-pundi tabungan. Bedanya, mereka di lereng ini merasakan kenikmatan luar biasa ketika melihat perubahan sedikit-demi-sedikit desa tempat tinggal mereka, hingga akhirnya menjadi lebih indah lagi. Dan saya yakin, mereka akan menghabiskan sisa hidup di sini, di Kaki Merapi. [Afs]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H