Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kemacetan dan Kearifan Lokal

2 Mei 2013   11:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:15 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1367474072262453351

[caption id="attachment_258521" align="aligncenter" width="558" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption] Memang kemacetan itu mengecewakan. "Mengejutkan," kalau kata TripAdvisor ketika mengeluarkan tinjauan perjalanan paling buruk di dunia. Tapi dari sekian banyak sisi buruk dari kemacetan, tetap saja ada hal-hal baik yang bisa dipelajari. Paling tidak, sebagai identitas dan kearifan lokal yang mengingatkan kita tentang banyak hal. Biar kemacetan tak melulu membuahkan keluhan. Dalam sebuah tulisan beberapa waktu lalu "Berkendara di Era Medsos" saya menyisipkan latar cerita tentang tiba-tiba macetnya sebuah pertigaan jalan di bagian utara kota Jogja. Waktu itu jam 12 siang saat sinar matahari sedang terik-teriknya. Lampu APILL mati dan ratusan kendaraan berdesakan di tengah persimpangan. Mau tidak mau, tiga "orang biasa" turun ke tengah-tengah dan mengurai kemacetan, lantaran polisi memerlukan hampir 1 jam untuk tiba di lokasi. Tak banyak gambaran saya tuliskan dalam cerita itu, tapi faktanya bahkan seorang uzur turun mengurai kemacetan, berpeci dan efektif. Pengendara manut dan mulai teratur, mungkin karena takut kualat. Nah, hal-hal kecil yang sering kali luput tatkala kita terjebak macet sebetulnya bisa jadi bibit pengetahuan soal bagaimana kearifan lokal (masih) bekerja. Untuk semua kejadian yang tidak menyenangkan. Jakarta --sebagaimana bisa dimengerti-- mungkin agak sulit memahami ini lantaran cakupan kotanya yang terlalu besar, masyarakatnya yang sangat beragam. Belum lagi karena jalan-jalan protokol yang jauh dari pusat pemukiman. Akibatnya kemacetan ya paling-paling soal menumbuhkan kesabaran, meyakinkan anak bahwa ia tidak akan telat tiba di tempat les pianonya, atau pura-pura tuli setiap kaca mobil diketuk pengemis. Warga Jakarta tak terlalu ambil pusing meski kotanya semakin semrawut, karena tidak punya banyak pilihan. Jogja yang jalan-jalan protoklnya terbilang kecil bisa lebih menyesuaikan. Ketika terjebak macet di persimpangan Tugu atau jalur ringroad utara dekat UGM, hanya beberapa meter dari jendela kendaraan kita bisa melihat warung-warung lesehan sedang buka, pengemis yang (secara tidak sadar) menggugurkan hak dasar anak, atau saling berbincang antar-pengendara sepeda motor. Di banyak hal lain kita jadi sadar betapa pemuda-pemuda jalanan tak sepenuhnya menganggur, berjualan asesori kaca mobil, peta kota atau tahu Sumedang. Tak banyak bunyi klakson, tak banyak caci maki. Kearifan lokal yang membentuk lingkungan sosial Jogja tetap mengedepankan saling menghormati. Minimal, saling tunggu giliran di lampu merah. Dan ini mau tidak mau dipelajari oleh para pendatang. Di beberapa kota lain saya kira juga sama. Pernah saya terjebak macet hampir dua jam di dalam bus kota Semarang yang panas. Padahal belum sempat keluar dari terminal, tapi sudah harus berkutat dengan kemacetan ruas jalan depan Terboyo. Oleh seorang perempuan muda saya dikasih tahu bahwa memang hampir setiap hari jalan keluar dari terminal itu macet, apalagi di jam-jam karyawan pulang. Saat itu saya baru tahu bahwa warga commuter Semarang harus mengakrabkan diri dengan atmosfer kawasan industri yang begitu berat. Di kota kampung halaman saya Makassar, kemacetan lebih pada tidak siapnya infrastruktur mengantisipasi ledakan jumlah kendaraan dan pembangunan pusat bisnis (kurang lebih sama Jakarta, lah). Karena Makassar sudah mendeklarasikan dirinya sebagai metropolitan Indonesia timur, mau tidak mau banyak pendatang bisnis harus berkutat dengan macetnya jalanan, walaupun aspal dan jalur drainase belum rampung. Pengendara aktif akan mudah mengenali jalan-jalan di Perintis Kemerdekaan menuju Kampus Unhas, perumahan yang dekat sekali dengan Tempat Pembuangan Sampah Akhir di Antang, ataupun geliat wisata senja di sekitar Pantai Losari. Masyarakat kadung paham bahwa tak sepenuhnya angkutan umum pete-pete yang jumlahnya ribuan itu jadi biang kemacetan, karena mereka tak punya banyak pilihan apalagi menyinggung sedia atau tidaknya moda transportasi massal. Orang Makassar paling sering kasih tip bagi para pendatang yang tak mau terjebak macet begini: hapalkan jalan-jalan tikus. Maka diteroboslah gang-gang sempit oleh deru-deru sepeda motor matic. Tapi, karena kemacetan jugalah saat ini banyak doktor-profesor Makassar mulai hijrah sementara ke Jakarta, belajar penanggulangan dan mencari inti permasalahan. Beasiswa disebarkan untuk jurusan-jurusan perencanaan kota, teknik sipil dan sejenisnya. Memahami kemacetan sebagai masalah bersama sebetulnya sudah bentuk kearifan juga. Bahwa kemacetan bukanlah kesalahan pemerintahan berjalan; bahwa kemacetan bukan hanya untuk menyalahkan musim hujan; ataupun bahwa kemacetan bukanlah masalah yang tidak bisa diakhiri. Kalau TripAdvisor menempatkan Jakarta sebagai satu dari 10 kota paling dibenci di dunia, toh tingkat wisata mancanegara ke negara kita ini masih membawa nilai kearifan untuk menengok ibu kota. Kita juga jadi mengerti mengapa seorang wisatawan mancanegara langsung bisa merasakan tangguhnya kehidupan orang Jakarta dalam waktu rata-rata 7,84 detik saja. Epidemic of Malls, mereka menyebutnya. Kita juga pahami, mengapa pemerintah Jakarta harus belajar mengelola kearifan masyarakatnya menghadapi masalah harian. Sama seperti yang diperjuangkan di Jogja, Padang ataupun Makassar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun