PERCAYA PADA SI CEBOL? JANGAN DODOL!
Anhar mencopot kertas itu dengan sekuat jari-jarinya. Kukunya sampai rusak karena bergesekan dengan permukaan tembok kasar yang semennya terkelupas di sana-sini. Orang-orang melihat dari jauh tanpa berani melarang. Tentu saja, karena pemuda ini ketua kampanye tim pemenangan, yang juga putra tertua dari Mamduh, kandidat nomor dua. Belasan sobekan pamflet berserakan di pinggir aspal, satunya dibawa di tangan terkepal saat Anhar berlalu.
“Boi! Boi!” panggilan itu dari jauh.
Pemuda pembawa sobekan pamflet itu berbalik lantas terbelalak. Senyumnya sumringah membuyarkan kekesalan yang hampir mendidih di kepalanya barusan. Ia jalan berbalik arah dengan langkah cepat, kemudian menyambut orang sebaya yang menyapanya dari sebuah ojek tadi. Mereka lalu duduk di sebuah bangku panjang dekat lemari kecil penyepuh emas. Orang lalu-lalang dengan kesibukannya masing-masing. Pasar tumpah punya banyak sekali dinding tembok untuk ratusan pamflet kampanye. Alasan mutlak mengapa Anhar begitu mengidolakan tempat itu.
“Anhar Mamduh!” orang yang baru tiba itu menyapa sambil menunjuk-nunjuk. Anhar balas memeluk dan menggoyang-goyangkan tangan mereka yang saling menjabat. Akhirnya dua teman lama ini duduk mengobrol di kursi panjang.
“Elos! Tambah kekar badan kau!” memuji basa-basi dengan logat Batak yang diingatnya sering dipakai temannya ini.
“Ah, kau ini. Begini-begini saja aku. Kau apa kabar Anhar? Mau ada kampanye ya?”
Lalu Anhar mengangkat pamflet itu. Elos melihatnya sambil mengernyitkan dahi, tersenyum lalu menggeleng. Pamflet itu memuat kata-kata yang menghina fisik bagi orang yang tingginya tidak seberapa.
“Inilah politik, Elos. Kau tidak tahu kejutan busuk apa yang ada di dalamnya. Orang melakukan apa saja untuk menang di mata orang-orang,” kata Anhar dengan tatapan nyaris kosong seperti memantul buyar di layar televisi kecil di depan mereka.
Televisi berserak-serak saat seorang Cina pemiliknya mengetuk-ngetuk demi sinyal. Gambar kembali berwarna ketika gambarnya menampilkan kandidat politikus yang mendaftarkan diri sebagai bakal pemimpin ibu kota.
“Padahal ini Cuma pemilihan kepala desa. Ayahku juga mengajukan diri karena dipaksa masyarakat. Lalu si Sumarno ini, pesaingnya, dengan sangat kotor menyebarkan hujatan lewat ini. Memangnya orang-orang tak bisa membaca? Semua juga tahu ayahku memang tak setinggi orang-orang kebanyakan. Tapi jangan bilang cebol itu lho! Policik!”
Elos terperangah dengan semangat idealis yang seperti menyembur dari semua lubang kepala Anhar. Tapi ia bisa mengerti. Ia pun beberapa kali menyimak pergolakan politik yang begitu membingungkan. Menyeka jauh-jauh keluhuran makna politik yang dulu disuarakan Socrates, sebuah buku usang yang pernah dibacanya di perpustakaan Leiden.
“Banyak orang yang tak sadar dirinya sedang berpolitik, Anhar.” Elos berkomentar begitu saja saat matanya ikut tertarik menatap televisi. Politikus dengan perut tambun itu sepertinya sudah kalah sebelum ia berbicara di belakang mikrofon. Tapi Anhar seperti tak begitu ingin membahas kalimat terakhir Elos. Pembicaraan mereka akhirnya beralih ke hal-hal yang lebih santai, misal seputar Yana cewek masa SMA yang sempat mereka taksir bersamaan. Atau kenakalan masa kuliah saat membolos dari kelas Kewarganegaraan demi konser dangdut gerebek pasar. Tertawa dan saling menepuk punggung.
***
Hari pemilihan.
Elos menyempatkan diri mampir, sekadar memberikan dukungan moril kepada rekannya Anhar. Ia tentu menjaga jarak dan membiarkan anak dan bapak itu meladeni pertanyaan beberapa wartawan kampung yang mewawancarai mereka di balai desa. Sementara yang disebut Sumarno sang pesaing itu dengan gagah saja naik ke becak lalu bersafari keliling kampung dikawal puluhan motor pendukungnya.
Elos duduk di serambi rumah, tapi oleh seorang tante Anhar dipersilakan beristirahat di kamar teman lamanya itu sembari menunggu pemilihan selesai. “Terima kasih, kak,” balas pemuda itu sopan.
Pemuda itu melepas sepatu, lalu langsung menjajal kasur tunggal di dalam kamar yang tak seberapa luas. Ada foto Anhar di sana-sini. Penampilannya memang garang dan begitu tegap berwibawa. Tentulah ia akan jadi politikus juga di masa depan seperti bapaknya, pikir Elios.
Tapi apa yang didapatinya di bawah ranjang benar-benar membuat Elos tak percaya. Sudut kertas itu jadi satu-satunya sasaran comot karena udara kamar itu begitu pengap dan panas. Kipasan dengan kertas bekas tentu akan sedikit menyegarkan, pikir Elos. Tapi yang tak dinyana olehnya adalah bahwa ternyata kertas itu adalah segambar pamflet setengah jadi yang menampilkan gambar Mamduh, ayah Anhar. Calon kepala desa nomor pemilihan 2.
Pamflet dicetak di kertas biasa. Bertuliskan besar-besar kalimat yang pernah ia lihat dan baca dari dekat sebelumnya.
PERCAYA PADA SI CEBOL?
Lalu dalam sekejap Elos memasang sepatunya dan keluar dari kamar itu. Ditinggalkannya kertas tak berlipat itu di tengah kasur.
Dua mesin cetak tersembunyi dengan kabelnya tersembul dari balik pintu lemari. Botol-botol tinta itu bahkan berbaris di meja pendek dekat ranjang, nyaris tak disadari. Lalu beberapa lembar pamflet siap tempel bertumpuk dan tertutup selembar kertas folio miring di dekat jendela.
Langkah Elos cepat meninggalkan rumah, keluar melewati gang, meninggalkan suara-suara petugas TPS yang menghitung hasil suara pencoblosan. Mengulang-ulang sebuah nama disambut tepukan dan sorakan orang-orang sedesa.
Inilah politik, Elos. Kau tidak tahu kejutan busuk apa yang ada di dalamnya.
Tiba-tiba perkataan Anhar beberapa hari lalu itu kembali mengiang di telinganya. Pemuda Batak itu mantap meninggalkan desa, dan mungkin, teman lamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H